Semuanya langsung menoleh ke arah di mana suara pintu ruangan operasi dibuka. Kimberly bangkit berdiri dan cepat-cepat untuk menghampiri dokter. Dia sungguh tidak sabar mendengar kabar tentang suaminya itu.
Tangannya mengarah ke arah dokter dan menarik-narik baju dokter dengan kasar. "Dok, bagaimana keadaan Khaibar? Apa dia baik-baik saja?" tanya Kimberly dengan nada yang sungguh berbeda dari biasanya, nadanya terdengar khawatir dan ketakutan. Dokter yang merasa Kimberly keterlaluan dalam menariknya hingga bajunya sedikit kusut, dia pun memberi kode dengan menunjuk-nunjuk tangan Kimberly agar terlepas dari bajunya.
Kimberly lalu melepaskannya dan mengatupkan kedua tangannya tanda minta maaf kepada dokter. "Maafkan atas kelancanganku, Dok, aku hanya sangat khawatir dengan suamiku."
Dokter akhirnya membuka suaranya dengan nafas yang dilenguhkan. "Hmmm baiklah, saya mengerti perasaan yang anda rasakan, alhamdulillah Khaibar baik-baik saja, untungnya hanya terkena lengan saja jadinya aman, peluru sudah berhasil kami ambil dan luka sudah kami jahit kembali, mungkin sekarang masih belum sadar karena pengaruh obat bius, tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi," terang dokter yang membuat Kimberly sangat lega. Sedangkan Kendrick dan Keysa hanya saling melirik dan mereka sangat tahu sekarang, bahwasanya Kimberly sangat mencintai Khaibar.
Begitu pula dengan Keysa, dia sangat mengenal sifat anaknya, ia kira Kimberly tak akan secepat itu jatuh cinta, tapi ternyata kenapa bisa seperti ini sekarang. Ia pun membatin. 'Benarkah Kimberly sudah mencintai Khaibar? Tapi dari sorotan matanya terlihat sangat jelas, kalau itu benar-benar cinta, aku kira enggak akan Kim jatuh cinta kepada Khaibar, katanya hanya menikah kontrak saja? Lalu bagaimana ini nanti kalau Papa menagihnya tentang menikah dengan Ferdinand, apa akan berjalan dengan mulus? Entahlah, salah satu diantara Papa dan Kimberly memang harus ada yang mengalah, keduanya memang sifatnya sangat keras jadi membingungkanku, ya sudah dipikirkan nanti saja deh.'
Setelah membatin Keysa tersenyum ke arah dokter yang menatapnya dan berpamitan untuk pergi. Kimberly pun langsung melangkahkan kakinya ke dalam ruangan Khaibar untuk mengunjunginya.
Tangannya meraih tangan Khaibar lalu menggenggamnya erat. Duduk di samping Khaibar dan mencium tangan itu dengan sangat lama. Kimberly hanya sendiri karena batas kunjungan sejak covid ini hanyalah minimal satu orang. Jadi dia tak mengajak mama atau papanya. Malah itu membuat Kimberly senang, dengan tidak adanya mereka akan membuatnya leluasa berduaan dengan Khaibar.
Kimberly pun berceloteh. "Khai, apa kamu baik-baik saja? Kenapa kamu tak bangun-bangun? Apa kamu tak merindukan suaraku yang merdu ini? Bukankah aku sudah berjanji kalau kamu sembuh kamu minta apapun akan aku kabulkan, maka cepatlah bangun!" ucap Kimberly dengan mendayu-dayu. Dan tak lama Khaibar pun menggerakkan jari-jemarinya. Kimberly merasa senang, ia pun melepaskan genggaman tangannya agar Khaibar tak GR kalau melihatnya, setelah itu dia tersenyum saat Khaibar mengerjapkan kedua bola matanya.
"Kim, aku di mana? Aduh sakit sekali," tanya Khaibar dengan meringis karena bahunya terasa sakit dibuat bergerak.
"Sudah kamu tenang saja, jangan banyak tingkah, jelas ini di rumah sakit lah masak di hutan! Ya sudah aku panggil Dokter dulu." Kimberly pun menekan alat pemanggil dokter yang ada didekat Khaibar.
Beberapa menit kemudian dokter pun datang dan memeriksa luka Khaibar. Dokter hanya tersenyum dan menatapi Khaibar dan Kimberly dengan bergantian. Wajah keduanya nampak tegang tak ada santai-santainya.
"Kenapa kalian tegang sekali? Tenang saja, dalam waktu beberapa hari luka itu akan sembuh, paling-paling nanti kalau sudah kering sedikit membekas itu saja," seru dokter yang bernama Arya. Dia merapikan kemejanya lalu berjalan meninggalkan mereka yang masih terbengong dan tak mengucapkan terima kasih karena melupakan itu semua. Saat teringat dokter sudah meninggalkan mereka, Khaibar pun memelaskan wajahnya.
"Kenapa wajahmu seperti itu? Gara-gara kamu nih si Dokter pergi dan aku tak sempat bertanya," oceh Kimberly yang sungguh menyesal membiarkan dokter tanpa bertanya apapun.
Khaibar hanya menghembuskan nafasnya lalu membalas ucapan Kimberly dengan sedikit tak terima.
"Kok jadi aku yang disalahkan ketika dokter pergi? Kan kamu juga terbengong, tahu enggak kamu, aku sangat syok saat mendengar luka membekas itu, jadi bahuku akan jelek dong? Percuma kalau bahu kekar tapi membekas, serasa gak gentle kalau orang melihatnya huh, semua ini gara-gara kamu, ehhh maksudku gara-gara Koko," ucap Khaibar yang keceplosan. Membuat Kimberly langsung melengos, serasa di telinganya seperti ada rasa tidak ikhlas dengan ucapan Khaibar karena telah menolongnya.
Kimberly pun mulai menangis, dengan suara yang sedikit dikeraskan. Khaibar yang mendengar itu dia merasa bersalah atas ucapannya tadi. Tangannya langsung meraih tangan Kimberly. Namun, ditepisnya dengan kasar.
"Aw ... bahuku sakit sekali ... aaaaaa," teriak Khaibar yang benar-benar kesakitan, karena tepisan Kimberly benar-benar kasar. Kimberly hanya melirik dengan acuh tak acuh, ia mengira Khaibar membohonginya jadi dia malas untuk menatap Khaibar. Malah dia sibuk mengusap air matanya yang menetes. Mengusapnya dengan lembut, dengan sapu tangan yang ia rogoh dari kantongnya.
Dan ternyata teriakan dan erangan Khaibar semakin lama semakin agak keras, mau tidak mau Kimberly langsung menoleh ke arahnya. Kimberly langsung mendekat ke arah Khaibar dan sungguh kaget melihat bahu Khaibar yang perbannya bercucuran darah, dia yang panik langsung berhamburan memanggil suster, lupa dengan alat pemanggil dokter itu, sehingga Kimberly memanggil suster dengan suara teriakannya.
"Susteeeer, Suuuus, tolong bantu suamikuuuu."
Kendrick dan Keysa yang ternyata masih ada di ruang tunggu mereka tersentak dan langsung menghampiri Kimberly yang berteriak seperti kesetanan. Lalu bertanya bergantian.
"Ada apa, Nak? Apa ada masalah dengan Khaibar?" tanya Keysa. Tak dibalas oleh Kimberly karena sibuk memandangi suster yang agak jauh jarinya.
"Iya, kamu kenapa, Kim? Papa sungguh kaget kamu berteriak seperti itu, bukankah ada alat pemanggil dokter? Kenapa kamu tak pencet saja sih?" sahut Kendrick yang dibalas oleh Kimberly dengan menepuk jidatnya karena melupakan itu. Kimberly benar-benar panik karena takutnya Khaibar akan kehabisan darah, awalnya saja seperti itu dan untungnya tidak kehabisan, apalagi untuk yang kedua kali, takutnya darah Kimberly tidak cocok untuk Khaibar, lalu siapa lagi? Khaibar saja tak punya siapa-siapa di dunia ini.
Kimberly berhamburan ke arah pemanggil dokter, setelah suster tak datang juga, Kendrick menggeleng karena merasa Kimberly kalau jatuh cinta seperti itu rasanya sangat gila dan melupakan apapun, apa dia juga begitu saat jatuh cinta kepada Keysa? Rasanya tidak, tapi entahlah. Sangkalan demi sangkalan melayang-layang di hati dan otak Kendrick.
Suster akhirnya datang juga dengan sedikit panik karena tangannya ditarik oleh Kimberly agar cepat. Suster yang tahu apa maksud Kimberly yang super panik itu dia hanya mengangguk dan tersenyum tipis, lalu membuka perban Khaibar dan membalut lukanya kembali.
"Sudah selesai, lukanya tak akan apa-apa, kalau begitu saya pamit dulu!" Khaibar dan Kimberly mengangguk bersamaan.
Mereka tersentak saat ponsel Kimberly berbunyi dengan sangat lantang. Kimberly meraih ponsel yang ada di kantongnya lalu memencet tombol hijaunya.
"Halo? Apa! Bagaimana bisa?"