Chereads / Suami Pungutan Mama / Chapter 42 - Ruang ICU

Chapter 42 - Ruang ICU

Kimberly hampir saja tertembak, beruntung Khaibar langsung menghalanginya, sehingga Khaibar yang tertembak dan meringis dengan memegangi bahunya, untung hanya bahu saja yang tertembak, coba kalau jantung atau kepala misalnya, mungkin ceritanya akan berbeda dan Kimberly akan menjadi janda.

Khaibar terus memegangi bahunya, dia pun membatin. 'Ehhh apa aku masih hidup? Kok sok dan keren sekali aku melindungi Kimberly sampai rela mati segala, padahal aku juga takut sakit, apa ini yang dinamakan cinta tulus?'

Khaibar yang masih terbengong dan melamun dia tersentak saat Kimberly berteriak keras ke arah Koko dengan menunjuknya.

"Pak polisiiiii, cepat tangkap setan sialan ituuuuu!" murka Kimberly dengan menggerutukkan giginya. Kimberly langsung menoleh ke arah Khaibar saat melihat polisi sudah berhamburan mengejar Koko yang mencoba melarikan diri.

Dengan sangat panik Kimberly langsung memanjakan Khaibar dengan ikut meringis seperti merasakan sakit yang diderita olehnya. "Apa sakit?" tanya Kimberly. Khaibar hanya diam, lalu dijawab sendiri oleh Kimberly. "Ehhh ya jelas sakit, Kim, kamu ini dodol sekali sih ..." Kimberly lalu memegangi bahu Khaibar dan merangkulnya, menyandarkan Khaibar di luar mobilnya, setelah itu ia mengambil baju Khaibar dengan cepat dan membungkus bahu itu dengan kemeja Khaibar.

Khaibar pun membelalakkan matanya. "Kim, apa-apaan ini? Kamu gila ya ... lalu aku memakai baju apa kalau dibuat seperti ini kemejanya? Masak aku ke rumah sakit memakai dress seperti ini sih ... hais, benar-benar memalukan!" oceh Khaibar yang membuat Kimberly kebingungan, dia lalu menyergah ocehan Khaibar yang sungguh bawel itu.

"Sudah kamu diam saja! Sekarang tidak penting masalah baju ini, intinya kamu selamat dulu, ayo masuk ke mobil, biar aku yang mengemudikannya ke rumah sakit," ajak Kimberly dengan cepat dengan membantu Khaibar masuk ke dalam mobil. Dia pun langsung mengemudikan mobil dengan cepat saat melihat darah yang semakin bercucuran membasahi kemeja Khaibar, sepertinya kemeja Khaibar bahkan tak akan cukup untuk menghentikan darahnya sementara.

Malah lampu merah juga menyala di depan mata, membuat Kimberly mau tidak mau langsung saja menerobos lampu merah itu dengan sangat cepat, Khaibar hanya berdecak dan melirik ke arah Kimberly sesekali karena dia sudah kehilangan tenaganya dan wajahnya semakin memucat.

Kimberly pun sesekali memperhatikan Khaibar dengan tangan yang gemetaran, dia lalu berceloteh dengan suara yang parau. "Kamu masih kuat? Tahan ya ... terima kasih kamu telah menolongku, tapi kenapa sih kamu seperti itu? Kenapa tidak menghindar dan mendorongku saja lalu kita terjatuh bersama-sama kan gak akan kamu terluka seperti ini?" Kimberly masih sempat-sempatnya menyalahkan Khaibar, Khaibar lalu membalas ucapan Kimberly.

"Memang kamu pikir ini film action? Bisa seperti itu! Apa kamu tidak lihat Koko yang tiba-tiba muncul entah dari mana dia itu, mana sempat aku menghindar! Kalau aku mendorongmu bagaimana dengan kehamilanmu? Nanti bermasalah bagaimana? Kalau aku biarkan, kamu akan mati bagaimana? Biarlah aku yang berkorban untukmu, meskipun aku mati, aku rela mati untukmu," ucapan Khaibar semakin melantur ke mana-mana karena dia sudah tak kuat rasanya untuk membuka matanya.

Kimberly yang mendengar itu dia seperti melayang ke udara, hatinya berbunga-bunga dan senyumannya sangat merekah, dia langsung mendekat ke arah Khaibar dan mencium pipinya sekilas lalu mengemudikan kembali mobilnya dan menghadap ke depan saja karena merasa malu.

Khaibar memegangi pipinya yang dicium Kimberly dan tersenyum, dia yang belum sadar mengucapkan apa tadi, lalu membatin. 'Ehhh Kimberly kesurupan apa ya? Kok tiba-tiba menciumku di keramaian seperti ini? Apa aku tadi salah ngomong ya?" Seketika Khaibar berfikir dan teringat omongannya yang ngelantur tadi tapi tulus di dalam hati.

"Pantes dia menciumku, mungkin karena kata-kata mematikanku tadi jelasnya," gumam lirih Khaibar, tapi tak didengar oleh Kimberly.

Khaibar yang sudah tak tahan lagi karena tak sampai juga, dia akhirnya tak sadarkan diri. Kimberly yang tak tahu dia hanya terus memandangi jalanan dan mengemudikan saja. Saat sudah sampai di depan rumah sakit, dia pun tersenyum lega dan memarkirkan mobilnya.

"Hmmm lega rasanya, sudah sampai sini, untung tadi tidak ada polisi, kalau ada ditangkap nih tadi gara-gara menerobos lampu lintas tadi." Kimberly pun menoleh dan senyumannya langsung hilang seketika, melihat Khaibar tak bergerak dan memejamkan matanya. Dia mencolek-colek tangan Khaibar dengan wajah yang sudah panik.

"Khai, kamu tidak apa-apa kan? Apa kamu pingsan? Astagaaaa bagaimana ini? Dia kan sungguh kekar dan sangat berat, mana mungkin aku bisa menggendongnya, ditambah aku juga hamil, aku harus cari bantuan," ucap Kimberly. Dia langsung keluar dari mobil dan berteriak memanggil-manggil petugas rumah sakit dengan nafas yang terengah karena takut.

"Tolooooong, tolong akuuuu!"

"Ada apa, Mbak?" tanya petugas rumah sakit laki-laki yang sudah mendekat.

"Ayo tolong bantu suamiku ... dia terluka parah, ayo cepat!" Kimberly menunjuk ke arah mobilnya, dengan sesekali ia memegangi perutnya yang terasa sedikit kram akibat keterangannya, dia menarik nafasnya dengan panjang lalu menghembuskannya agar tenang.

Setelah tenang Kimberly lalu ke arah petugas rumah sakit yang membawa Khaibar dan membaringkan di atas brankar. Kimberly menatapi Khaibar dengan wajah yang sedih. Tangannya mengulur ke arah tangan Khaibar dan menggenggamnya erat.

"Khaaaai bertahanlah! Kalau kamu bertahan aku akan memberi kamu hadiah sangat banyak, oke! Bertahan ya, Sayang, kamu jangan lebay dan membuatku takut, aku sungguh mencintaimuuuuu, meskipun aku kadang cuek tapi aku memang benar-benar mencintaimu," celoteh Kimberly dengan sangat tulus. Air matanya tiba-tiba menetes dan diusapnya dengan kasar. Dia pun melepaskan genggaman tangannya saat Khaibar sudah dibawa ke dalam ruangan.

"Sus, aku ingin ikut masuk menemani suamiku," pinta Kimberly dengan wajah yang memelas. Tapi langsung ditolak oleh suster.

"Maaf, Mbak, tidak bisa, prosedurnya seperti ini, Mbak hanya bisa menunggu di luar." Dan Kimberly pun gagal merayu. Pintu ICU pun ditutup dengan rapat. Lampu pun berwarna merah, menandakan operasi segera dimulai.

Kimberly yang gelisah dia tidak bisa duduk dengan tenang, dia mondar-mandir seraya memainkan ponselnya untuk mengechat mamanya. Tangannya yang gemetaran digenggamnya bersama ponsel yang masih dipegangnya. Dia ingin bersandar kepada siapapun yang ada di sampingnya, ia menunggu mama dan papanya agar segera datang dan mendengarkan keluh kesahnya.

Lama operasi berlangsung dan belum selesai juga setelah 30 menit lamanya, Keysa dan Kendrick pun datang, berjalan dengan cepat ke arah Kimberly. Mereka bukan sengaja terlambat datang, tapi memang jarak rumah ke rumah sakit itu memakan waktu 30 menit.

Keysa langsung memeluk Kimberly dan menenangkannya. "Ada apa, Nak? Kenapa bisa begini? Apakah Koko yang menembak Khaibar?" Kimberly mengangguk.

Kendrick pun ikut berbicara. "Jadi ... semua ini ulah Koko? Lantas di mana dia? Apa sudah tertangkap? Kenapa Khaibar bodoh sekali bisa tertembak seperti ini?" Mendengar ucapan Kendrick Kimberly pun tak terima.

"Pa, jangan sembarangan berbicara! Khaibar berkorban untuk Kimberly, kalau Khaibar tidak seperti ini mungkin Kimberly yang akan tewas, dia sangat berjasa, Pa! Kimberly tak mau dengar Papa berbicara yang tidak-tidak tentang Khaibar lagi!"

Kendrick rasanya tak percaya dengan apa yang diucap oleh Kimberly, tapi mata Kimberly yang nanar menandakan semua itu benar dan Kendrick hanya menghembuskan nafasnya seraya membatin. 'Jadi ... anak itu benar-benar tulus? Mungkin aku harus benar-benar menerimanya.'

"Itulah mengapa aku menyuruh Kimberly tidak sendirian, ternyata Koko sangat ganas, alhamdulillah ada Khaibar, Mama sangat beruntung." Keysa menyahutinya dan mengelus pundak Kimberly terus dan terus.

Ceklek!