Cahaya jingga mulai merekah di ufuk barat, semilir angin bertiup sepoi-sepoi menerbangkan surai seorang wanita yang berdiri di balik jendela kamar yang berada di lantai dua.
Tok ...tok...tok...
Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar, membuyarkan lamunannya.
"Iya, tunggu sebentar," ucap gadis itu setengah berteriak.
"Bagaimana keadaan Dave? Apakah tubuhnya masih panas?" tanya seorang pria tepat setelah pintunya terbuka.
"Masuklah," seru wanita itu.
"Kamu makanlah dulu, sejak kemarin perutmu belum terisi apapun."
"Aku tidak lapar Nicho."
"Aku tahu kamu mengkhawatirkan kondisi Dave, tapi jangan sampai karena perasaanmu itu, kamu mengabaikan kesehatanmu sendiri, Anna."
"Pergilah, aku sudah siapkan makanan di meja. Biar aku yang menjaga Dave," ucap Nicho sembari menaikkan selimut yang hanya menutupi setengah tubuh dari seorang anak kecil yang terlelap di ranjang.
"Hmm, baiklah. Maaf karena sudah merepotkanmu," ucap Anna menghela napas dalam-dalam kemudian berbalik dan menjauhi kamar.
Nicho hanya mengangguk, kemudian berjalan ke sisi jendela dan menutupnya.
"Membiarkan jendela terbuka seperti ini bisa membuatmu tambah sakit, Dave. Aku tidak tahu apa yang sedang di pikirkan oleh Ibumu," monolognya pada diri sendiri.
Melirik arloji di tangannya, sekarang sudah menunjukkan pukul 05.00. Sebentar lagi malam akan tiba.
"Anna, aku ingin keluar. Kamu ingin menitip sesuatu?" tanya Nicho ketika menuruni anak tangga.
Anna yang sedang membersihkan dapur menoleh, "Tidak usah. Terima kasih," balasnya kemudian menghentikan aktifitasnya sejenak dan mendekati pria tampan bertubuh atletis itu.
"Pulang jam berapa?"
"Kenapa? Kamu takut jika merindukanku?" gurau Nicho sembari mengedipkan salah satu matanya.
Anna hanya merespon dengan senyuman, "Hati-hati," ucapnya lalu Mengantar pria itu sampai depan pintu.
Menunggu hingga mobil sport yang dikemudikan Nicho menghilang dari pandangannya, Anna kembali masuk. Suasana diluar sudah gelap.
Kini, hanya ada ia dan Dave di rumah sebesar ini. Wanita itu kemudian menyelesaikan segala hal yang dilakukan sebelumnya.
"Ibu..."
"Ibu..."
"Iya Dave, tunggu," segera wanita itu beranjak menaiki anak tangga, menuju kamar putranya di lantai dua.
"Ada apa Sayang?" tanya Anna tepat setelah memasuki kamar.
Dave tidak menjawab dan hanya meraih tangan Ibunya, membawanya ke dalam pelukannya, dan kemudian kembali terlelap.
Melihat putranya terlelap seperti itu, ingatan tentang kejadian lima tahun silam kembali memenuhi kepalanya hingga sesak.
"Kamu hanya anak Ibu seorang, Dave," gumam Anna sembari mengelus kepala putranya dengan sangat pelan, hingga beberapa menit berlalu, tanpa sadar ia ikut tertidur di sebelah anak satu-satunya itu.
***
Setelah Leo memberikan informasi terakhir tentang keberadaan Anna, Devan memiliki rutinitas terbaru pada pukul sebelas hingga pukul satu siang setiap harinya.
Seperti saat ini, Devan duduk seorang diri, bersantai sembari menyesap segelas moccachino di sebuah Cafe yang berada tepat di depan kantor Leo.
Pandangannya tak pernah teralihkan dari pintu masuk, entah siapa yang sedang di tunggunya.
Ini sudah memasuki hari ketiga, dan Devan terus mengunjungi cafe yang sama. Tanpa sekretaris ataupun orang lain bersamanya. Ia hanya seorang diri.
Berbekal koran beberapa lembar yang ia gunakan untuk menutupi wajahnya jika melihat seseorang yang dikenalnya memasuki cafe yang sama dengan keberadaannya.
Baru beberapa menit ia berada di tempat itu, tiba-tiba tubuh Devan membeku di tempat. Seorang yang sangat dikenalinya baru saja memasuki Cafe. Segera ia menggunakan koran di tangannya untuk bersembunyi, namun terlambat.
"Devan?" panggil seorang pria dengan nada suara setengah berteriak dan berhasil membuat semua orang menoleh ke arahnya.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya pria itu segera menghampirinya. Dia adalah Leo, sepupu Devan.
Tak heran jika Devan melihatnya di sini, sebab ini adalah jam istirahat dan lokasi cafe memang sangat dekat dengan kantor Leo.
"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu. Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Devan balik. Tidak mungkn kan ia mengatakan alasan mengapa ia berada di sini.
"Apa makanan di kantin kantormu sangat buruk?" tambahnya lagi.
Leo tidak menghiraukan ucapan sepupunya, mendaratkan tubuhnya di bangku yang berada tepat di hadapan Devan sembari memicingkan mata curiga.
"Berhenti menatapku seperti itu," seru Devan.
"Cepat katakan, apa yang kamu lakukan di sini sendirian?" tanya Leo mengulangi, bukan tanpa alasan ia mengatakan hal seperti itu, sebab ada beberapa, tidak, bahkan ada puluhan cafe menjamur di sekitar perusahan sepupunya itu.
Mengapa Devan memilih tempat ini? Belum lagi tak ada sekretaris atau orang lain yang bersamanya, menandakan bahwa pria itu memang benar-benar sendiri.
"Kamu buta atau tidak punya mata? Aku sedang membaca koran," balas Devan.
"Kamu jauh-jauh kesini hanya untuk ini? Membaca koran?"
"Memangnya kenapa? Berhenti bertanya dan enyahlah."
"Tidak, tidak. Mana mungkin aku tega meninggalkan sepupuku di sini sendirian," balas Leo terkekeh kemudian membuat pesanan.
Mendengar ucapan pria itu, Devan masih memasang ekspresi datarnya.
"Baiklah, sepupuku. Bagaimana jika aku mengajarimu membaca koran yang baik dan benar?" ujar Leo sembari menahan tawanya.
Kening Devan mengenyit, "Hah, kamu ja...." ucapannya menggantung tepat setelah menurunkan pandangannya dan melihat koran yang di pegangnya sejak tadi.
Korannya terbalik.
Seketika tawa Leo pecah, dan berhasil membuat keberadaan mereka kembali menjadi sorotan.