Chereads / Ruby Jane / Chapter 8 - Perasaan Ganjil Sonia

Chapter 8 - Perasaan Ganjil Sonia

Jack hampir saja meloncat dari ranjangnya dan bersiap-siap meluncur ke rumah Ruby kalau saja ia tidak sedang kelelahan. Bayangkan saja Jack harus rajin-rajin melihat keadaan Ruby dan memastikan jika hunian perempuan itu selalu bersih dan aman dari benda-benda tajam. Setelah itu kerja dari pagi sampai malam di kantor, itupun juga harus menyempatkan melihat keadaan Ruby lagi di malam harinya. Ditambah jarak rumah Ruby ke kantornya lumayan jauh, Jack bukan bermaksud mengeluh. Hanya saja itulah yang ia rasakan saat ini.

Pikirannya pun bercabang kemana-mana, mulai dari urusan kantor hingga sakitnya Ruby. Dan saat ini tubuhnya terasa remuk, ia baru saja terlelap kalau saja Ruby tidak menghubunginya tengah malam. Rasa lelah mengalahkan libidonya sendiri. Andai Jack sedang dalam keadaan bugar, tentu saja ia akan langsung menuruti permintaan sang ratu. Jarang sekali ratu meminta dimanja seperti itu.

"Coba pindah panggilan ke mode video call, sayang". Meski ngantuk berat namun Jack dengan sabar menanggapi Ruby. Setelah panggilan telepon berubah menjadi video call, Jack bisa menangkap gurat frustasi dari wajah cantik Ruby. Perempuan itu benar-benar terangsang, wajahnya merah dan pakaian atasnya juga sudah terbuka. Belahan dada Ruby mengintip dari balik bra berwarna hitam itu.

"Sayang, coba katakan kenapa kamu tiba-tiba minta hal itu? Bukankah kamu tidak mau melakukan sex sebelum menikah?". Ruby menggigit bibirnya. Merasa agak bersalah begitu melihat wajah Jack yang kusut karena kelelahan.

"Kenapa? Kamu tidak mau menyentuhku karena aku gila?". Jack menghela nafas berat, Ruby mulai sensitif.

"Tidak begitu sayang, setelah malam itu dan setelah tahu kamu masih perawan. Aku justru bertekad untuk menjagamu dan menjaga mahkotamu itu sampai saatnya tiba. Aku ingin merenggutnya jika sudah halal. Rasanya pasti lebih nikmat dan jauh dari bayang-bayang dosa. Kamu mengerti kan?". Penjelasan Jack yang begitu lembut membuat hati Ruby luluh. Perempuan itu mengangguk kecil kemudian menatap Jack yang hampir memejamkan mata tanpa kedip.

"Lalu bagaimana caranya menuntaskan hasrat yang sudah terlanjur menggebu?". Tanya Ruby dengan polos hingga membuat Jack kembali melebarkan mata.

"Tarik nafas, buang nafas...". Ruby mengikuti instruksi dari Jack. Lama melakukan hal itu Ruby sedikit demi sedikit mulai merasa ngantuk.

"Sayang, aku sangat-sangat mencintaimu. Dari pagi hingga malam hanya kamu yang selalu ada dipikiranku. Kamu sudah menjadi poros kehidupanku. Apapun yang terjadi padamu mempengaruhiku. Jadi jangan sakit lagi, jangan menyakiti dirimu sendiri. Jangan lakukan itu kalau kamu tidak mau membuatku hancur...". Kalimat manis yang diucapkan Jack membuat Ruby tersenyum di dalam tidurnya. Berkat mendengar suara lembut kekasihnya, Ruby melupakan bayangan liar yang sangat mengganggunya. Jack berhasil mengalihkan rangsangan itu dengan cara yang sangat manis.

"Harusnya kamu meminta itu kemarin, aku pasti akan melakukannya dengan senang hati. Hanya saja kamu berhasil mengubah pikiran jahatku. Selamat malam, sayang". Jack tersenyum manis melihat Ruby yang sudah tertidur pulas sebelum mematikan sambungan telepon.

***

Sonia mencium pipi kanan dan pipi kiri Ruby saat mereka kembali bertemu. Ruby terkejut melihat penampilan Sonia dengan polesan make up tebal. Tanpa bersuara, Ruby membuka pintu kamar dan mendorong tubuh Sonia agar masuk kesana. Sonia duduk diatas ranjang dan sedikit bingung dengan apa yang akan dilakukan Ruby. Ruby mengambil kapas dan pembersih wajah kemudian ia duduk tepat di depan Sonia. Tangan Ruby mulai menyapu wajah Sonia.

"Buat apa kamu membersihkan mukaku?". Sonia mengerutkan dahi. Ruby mengambil kaca kecil kemudian menyodorkannya ke depan wajah Sonia.

"Lihat, wajahmu seperti badut". Ledek Ruby sambil terkekeh. Sonia hanya diam dibuatnya, baru kali ini ada pasien yang membersihkan wajahnya. Diledek seperti badut pula. Tidak ada suara yang keluar dari bibir mereka. Ruby dengan tekun membersihkan wajah Sonia. Kapas demi kapas ia gunakan demi menghilangkan polesan make up di wajah cantik Sonia.

"Selesai! Sekarang cuci muka, ini sabunnya". Seperti anak kecil, Sonia menuruti keinginan Ruby.

"Sekarang poles wajahmu dengan bedak tabur, lalu pakai lipstik". Kata Ruby lagi yang mau tak mau dituruti oleh Sonia.

"Selesai, hore!". Sonia bertepuk tangan sendiri setelah melakukan permintaan Ruby. Sonia mengajak Ruby pergi ke toko buku sekalian maka siang dan perempuan itu tidak keberatan. Diperjalanan, Ruby hanyut dalam kebisuan. Walaupun Sonia tidak tahan ingin bersuara dan bercerita panjang lebar, namun ia menahan diri agar Ruby merasa tenang berada di dekatnya. Sonia hanya bernyanyi kecil mengikuti irama musik. Beberapa saat kemudian ia menengok ke arah Ruby dan tersenyum, rupanya Ruby tertidur.

Sementara itu, Jack datang ke rumah Ruby untuk mengajaknya makan siang seperti biasa. Ia mengetuk pintu depan beberapa kali namun tidak ada jawaban. Kemana Ruby pergi? Kenapa Ruby tidak menemani Jack makan siang? Apakah Ruby marah karena ditolak semalam? Dengan siapa Ruby pergi? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dibenak Jack. Ruby memang tidak memberi tahu kekasihnya, kemana ia pergi hari ini.

Jack memutuskan untuk pergi karena memang Ruby sedang tidak ada dirumah, nanti ia akan kembali lagi begitu pikirnya. Suara dering ponsel menginterupsinya.

"Ya, halo? Apa sudah ada informasi?". Tanya Jack langsung.

"....".

"Victor bercerai dengan istrinya?". Jack membulatkan matanya begitu mendapat laporan dari orang yang ia suruh untuk mencari tahu soal Victor. Kini Jack tahu penyebab Ruby sulit sekali melepaskan bayang-bayang dari lelaki itu. Rasa dendam Ruby lah yang membuat perempuan itu terjebak dalam kesakitan. Ruby yang tidak mau berdamai dan menerima garis takdir penyebab sakit yang dialaminya.

"Lalu dimana mantan istri Victor yang juga sahabat kekasihku?". Setelah menerima informasi lengkap dari orang suruhannya, Jack menggunakan jam makan siang untuk menemui Auryn mantan istri Victor. Ruby harus berdamai dengan dua orang itu jika ingin benar-benar sembuh. Ruby harus ikhlas menerima takdir Tuhan, menerima sakit hati yang ditorehkan Auryn dan Victor dengan lapang.

Dan kini sejak lima menit yang lalu, Jack menunggu Auryn keluar dari minimarket sambil menyeruput kopi. Lelaki itu iba melihat perempuan muda seusia kekasihnya itu mengangkat barang-barang berat sementara bayinya ia letakkan di dalam kardus. Sedari tadi bolak-balik dari meja kasir ke gudang begitu terus sampai-sampai bayinya menangis pun tidak digubris.

Barulah Duapuluh menit kemudian perempuan itu berganti shift dengan temannya. Jack langsung menghampiri Auryn begitu perempuan itu keluar dari minimarket sambil menggendong bayinya.

"Maaf, apakah anda nona Auryn?". Tanya Jack langsung. Auryn agak ketakutan melihat Jack, ia khawatir jika lelaki didepannya ini adalah orang suruhan Victor yang akan mengambil bayinya.

"Ya. A-anda siapa? Ada urusan apa?". Auryn menjauhkan bayinya dari Jack dan menunjukan raut ketakutan yang kentara sekali. Jack yang pahampun berusaha menenangkan perempuan itu.

"Saya bukan orang jahat, saya menemui anda karena Ruby". Mata Auryn berkaca-kaca setelah Jack menyebut nama Ruby. Nama sahabat yang telah ia khianati dengan sangat jahat. Bahkan mau sejauh apapun Auryn pergi, rasa bersalah itu selalu mengikutinya. Seperti dikutuk, hingga rasanya seperti dihantui.

"Ruby? Apa dia baik-baik saja?".

"Dia sakit. Bisa anda membantu saya?".

***

Dalam perjalanan pulang, Ruby masih tertidur pulas. Sonia pun tak sampai hati membangunkannya. Mobilnya berhenti tepat didepan rumah Ruby. Sonia hanya memandanginya, ia tidak membangunkan Ruby meskipun sudah sampai. Ia menemani Ruby didalam mobil sampai ikut tertidur pulas disampingnya.

Sorenya Jack kembali mendatangi rumah Ruby karena seharian belum bertemu perempuan itu. Jack memutuskan untuk memperkerjakan Auryn di rumahnya sebagai pembantu. Lelaki itu tidak tega melihat bayi kecil cantik bernama Ruby itu tidur di dalam kardus selama ibunya bekerja. Auryn juga akan tinggal di rumah Jack, hitung-hitung menjaga rumahnya saat ia sedang bekerja. Suatu saat nanti Jack pasti akan mempertemukan Ruby dengan Auryn namun tidak sekarang. Ia juga akan merahasiakan soal Auryn pada Ruby sementara waktu.

Dua perempuan itu masih tidur saling berhadapan saat Jack menemukan mereka didalam mobil. Jack mengetuk kaca mobil membuat salah seorang terbangun oleh suara tersebut. Ruby melihat Jack diluar mobil dan segera membuka pintu. Sonia ikut bangun dan keluar. Ruby memeluk Jack dengan mesra, meredam semua kegelisahan dan emosi Jack.

"Kemana saja kamu? Pergi tanpa ada kabar. Aku khawatir". Protes Jack namun tak henti menciumi pelipis Ruby.

"Maaf, ya". Jack hanya mengangguk, lalu merangkul Ruby dan membawa perempuan itu masuk ke dalam rumah diikuti Sonia. Sonia tersenyum kecut melihat kemesraan antara Jack dan Ruby. Entahlah, ada yang aneh dengan dirinya.

Keakraban telah terjalin diantara mereka bertiga. Malam semakin larut. Tanpa sungkan Ruby berkata bahwa ia sangat mengantuk dan ingin mereka berdua pulang. Walaupun Jack dan Sonia merasa khawatir meninggalkan Ruby sendirian, mereka akhirnya menuruti permintaan itu.

Sonia tidak bisa tidur setelah pulang dari rumah Ruby. Ada sesuatu yang harus dikeluarkan dari pikirannya. Ia menelepon Ruby.

"Halo Ruby, kamu belum tidur?".

"Belum, kenapa telepon malam-malam?".

"Aku tidak bisa tidur".

"Kesini saja".

"Tidak bisa, kalau malam begini tidak bisa tidur, kamu mengerjakan apa?". Entah kenapa malam ini Sonia ingin sekali mendengarkan suara Ruby lebih banyak.

"Baca buku, melamun, mengkhayal, macam-macam". Sonia tersenyum mendengar jawaban Ruby. Perempuan itu menghela nafas panjang sebelum mengatakan sesuatu.

"Ruby, dengar. Sepertinya kamu tidak membutuhkan aku lagi. Ku pikir tugasku sebagai dokter sudah selesai. Kamu sudah sembuh".

"Terserah, boleh aku tanya?".

"Boleh".

"Kenapa kamu tidak memberiku obat?".

"Obat? Aku tidak ingin memberimu obat, aku rasa itu tidak menyembuhkan. Lagian kamu sudah sembuh, kamu tidak membutuhkan aku lagi". Sonia sangat tahu yang paling dibutuhkan Ruby adalah sosok Jack. Melihat betapa Ruby amat bergantung pada lelaki itu membuat Sonia merasa terasingkan. Ini aneh sekali, Sonia ingin Ruby hanya bergantung padanya.

"Oh begitu. Ya sudah. Selamat tinggal, maafkan jika seandainya aku kasar atau menyinggung perasaanmu. Tapi sebenarnya aku tidak bermaksud seperti itu". Suara Ruby benar-benar terdengar tidak enak hati.

"Iya aku tahu, Terimakasih untuk semuanya. Ruby".

"Selamat tinggal Sonia".

Tut... tut... tut...

Sonia terdiam, tangannya masih menggenggam telepon. Ia tidak mencoba menghubungin Ruby kembali. Sonia merasakan kehilangan yang ganjil. Ia tidak ingin menunjukan rasa itu pada Ruby. Tak ia sangka jika perpisahan itu begitu mudah untuk Ruby. Dugaannya selama ini yang mengira jika Ruby tidak menyukai keberadaannya semakin kuat. Tidak ada niat sebelumnya untuk berhenti mengobati Ruby. Tadinya ia ingin mengetahui apakah Ruby merasa senang dengan kehadirannya. Tapi jawaban Ruby telah meyakinkan dirinya bahwa selama dua hari ini Ruby tidak peduli dengan kehadirannya. Ia mengharapkan Ruby menahan kepergiannya, atau setidaknya mengatakan; aku membutuhkanmu. Namun nyatanya tidak sama sekali.

"Ruby apa kamu sadar jika kamu sangat mudah membuat orang lain menyayangimu? Aku terjebak dalam perasaanku sendiri. Bagaimana mungkin aku menyukai seorang perempuan?". Ujar Sonia seraya memejamkan mata, ia terlelap tidur.

Sementara itu setelah menutup telepon dari Sonia, Ruby termenung. Hanya dua hari ia mengenal Sonia, tapi ia merasa senang.

"Kenapa kemarin dia bilang ingin menjadi temanku, sedangkan malam ini dia memutuskan untuk pergi. Iya, selalu begitu". Celoteh Ruby kemudian berjalan menuju kulkas untuk mengambil jeruk pemberian Sonia waktu itu.

"Aku tahu diri dia perempuan sibuk. Waktu sangat berharga baginya. Berbeda denganku yang pengangguran, kuliah saja malas. Aku tidak punya kegiatan, waktuku sangat banyak". Lanjutnya sambil memakan jeruk itu.

"Huek... aku benci jeruk". Ruby melemparkan jeruk itu kesembarang arah kemudian pergi ke kamarnya. Tawaran Sonia untuk menjadi temannya hanya sekedar untuk menyembuhkannya. Bukan berarti Sonia ingin terus berteman dengannya, begitulah pikir Ruby. Dan ia-pun tidak merasa kehilangan sama sekali.

***