Chereads / Ruby Jane / Chapter 12 - Ruby Jane

Chapter 12 - Ruby Jane

Ruby kembali kerumah dengan wajah mengeras, bahkan mengabaikan sosok Sonia yang masih setia duduk di kursi teras sejak beberapa jam lalu. Perempuan itu merasa bersalah lantaran telah mengorek luka Ruby hingga memutuskan untuk bertahan ditempat itu. Sonia berdiri tegak saat melihat Ruby berjalan cepat kearah pintu rumah sambil menghapus air matanya.

"Ruby? Ada apa denganmu?". Tanya Sonia cemas. Ruby melirik Sonia dengan sinis kemudian mengorek isi tas nya untuk mencari kunci rumah. Ia benci Sonia, baginya perempuan itu awal dari kesialan yang menimpanya hari ini.

"Ruby, kamu tidak apa-apa?". Tanya Sonia sekali lagi. Kali ini perempuan itu menyentuh bahu Ruby.

"Tidak usah sok peduli, kamu menyebalkan!". Sahut Ruby sambil menyentak tangan Sonia. Sonia berfikir Ruby marah padanya karena kejadian soal menyebut nama Victor tadi, namun tiba-tiba saja Ruby berteriak; AKU BENCI COKLAT!!! Begitu masuk kedalam rumah. Sepertinya kejutan Ruby untuk Jack tidak berjalan dengan baik.

Baru saja Sonia hendak menyusul langkah Ruby, dering teleponnya menginterupsi. Pas sekali sosok yang baru saja melintas dipikirannya menelepon.

"Sonia, maaf aku mengganggu. Tapi ini gawat...". Sonia terus mendengarkan Jack berbicara. Hingga perempuan itu tahu apa masalah yang tengah terjadi.

"AKU TIDAK SUKA COKELAT!!!". Teriak Ruby lagi. Ia berdiri di atas ranjang dan menjatuhkan tubuhnya. Ia berdiri kembali dan menjatuhkan tubuhnya lagi diatas ranjang. Lagi dan lagi. Ruby melakukannya berulang-ulang kali sambil berteriak;

"Aku tidak suka cokelat!".

"Aku perempuan bodoh!".

"Aku tidak suka cokelat!".

"Aku perempuan bodoh!".

"AKU TIDAK SUKA COKELAAAAATTTT!!!". Teriaknya sekuat tenaga. Kemudian Ruby menatap cermin besar yang ada didalam kamarnya. Perempuan itu berdiri tepat didepan cermin sambil memandangi wajahnya yang berantakan karena make up-nya telah luntur.

"Kamu! Ruby! Kamu itu bodoh! Tidak berguna! Kamu harus dilenyapkan!". Desis perempuan itu pada dirinya sendiri. Diambilnya gunting yang ia simpan di laci meja rias, kemudian menempatkan gunting itu tepat dirambut panjangnya.

"Jangan lakukan itu Ruby!". Cegah Sonia begitu melihat Ruby hendak memangkas rambutnya dari ambang pintu kamar. Ruby menurunkan guntingnya kemudian menatap sosok Sonia dari pantulan cermin. Sonia perlahan masuk kedalam kamar Ruby dan mendekati perempuan itu.

"Jangan mendekat!". Peringat Ruby galak kemudian menodongkan gunting kearah Sonia. Sonia terdiam ditempatnya mencoba tenang, dari cerita Jack tadi, perempuan itu tahu bagaimana perasaan Ruby kendati hanya salah paham.

"Oke, tapi berjanjilah untuk tidak menyakiti dirimu sendiri". Peringat Sonia hati-hati.

"Aku tidak sebodoh itu". Sahut Ruby yang masih terus memperhatikan pergerakan Sonia. Dokter cantik itu kini telah duduk dipinggir kasurnya.

"Lakukan apa yang ingin kamu lakukan, aku akan mengawasinya". Ruby tidak menggubris perkataan Sonia. Perempuan itu kembali menatap kearah cermin dan mulai menggunting rambutnya secara acak. Sonia bahkan tidak sanggup melihatnya, rambut indah Ruby kini berantakan.

Bukannya sedih karena rambutnya jadi tidak karuan, Ruby justru mengulas senyum lebar. Senyum penuh kelegaan dan seakan seluruh rambut yang ada dilantai itu adalah beban yang telah ia lepaskan. Sonia tertegun menatapnya, ia belum pernah melihat senyum Ruby yang seperti itu.

"Sekarang aku adalah Jane". Ujar Ruby lirih namun masih bisa Sonia dengar.

"Kenapa kamu mau menjadi Jane?". Tanya Sonia. Kini tatapan Ruby tidak semenyeramkan tadi, perempuan itu duduk dikursi meja rias berseberangan dengan Sonia.

"Ruby sudah hancur, dia adalah perempuan bodoh. Aku ingin melenyapkan sisi Ruby dalam diriku dan terlahir kembali sebagai Jane".

"Tapi Ruby dan Jane adalah satu nama. Ruby dan Jane adalah kamu". Ruby menatap Sonia dengan mata berkaca-kaca, membuat dokter itu iba seketika.

"Aku hanya ingin memperbaiki diri dan bahagia, apa tidak boleh?". Isakan mulai terdengar dari mulut kecil Ruby. Baru kali ini Sonia melihat Ruby lemah, mungkinkah selama ini perempuan itu hanya berpura-pura kuat? Sonia mendekati Ruby dan berjongkok didepannya.

"Baiklah mulai sekarang kamu adalah Jane. Jane yang menyayangi dirinya sendiri dengan tidak menyentuh alkohol dan rokok, banyak bersyukur, tegar, dan yang paling penting mau memaafkan masa lalunya. Melupakan segala hal yang membuatnya terluka". Ujar Sonia menasehati.

"Tapi itu sulit, aku tidak bisa". Kata Ruby tidak yakin. Sonia menggenggam tangan Ruby, meyakinkan perempuan itu.

"Jika kamu tidak bisa melupakan masa lalu, dan menerima luka dengan ikhlas. Percuma kamu membuang sosok Ruby, sampai kapanpun kamu tidak akan pernah bisa lahir menjadi sosok yang baru. Nama itu hanya topeng, kamu tetaplah Ruby. Ruby yang kamu bilang perempuan bodoh itu". Ruby berfikir keras. Apa yang Sonia ucapkan memang benar. Jika ia tidak bisa melupakan dendam pada Victor dan Auryn, maka percuma saja. Ia akan tetap sakit seperti ini dan sulit lepas dari luka yang membelenggu.

"Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya. Memaafkan lebih sulit dari meminta maaf".

"Mulailah dari mendengarkan penjelasan Jack dan Auryn. Kamu tahu kan Jack sangat mencintaimu, tidak mungkin dia tega berkhianat. Dan Auryn mungkin dia hanya korban. Kalau untuk Victor, aku tahu itu sulit. Kamu butuh waktu dan aku tidak akan memaksa". Ruby akhirnya mengangguk setelah beberapa detik hening. Sonia tersenyum kecil kemudian meraih gunting yang masih digenggam Ruby--- ah sekarang sudah berganti menjadi Jane, mari kita sebut Jane. Jane diam dan membiarkan Sonia merapikan potongan rambutnya yang berantakan.

***

Tiga puluh menit sudah Jack dan Auryn menunggu Jane di ruang tamu. Keduanya sama-sama memikirkan bagaimana keadaan Jane. Jack mengakui jika ia salah karena tidak jujur pada kekasihnya. Juga menyesal telah kasar pada Jane tadi, hanya saja jika sudah melihat sosok bayi, lelaki itu sangat sensitif. Ia begitu menyukai anak-anak. Ada tiga hal yang membuat Jack sensitif; anak-anak, perempuan dipukul, dan orangtua. Melihat bayi Auryn yang hendak di cekik oleh Jane membuat Jack tidak bisa diam saja.

"Aku akan bertanggung jawab soal ini. Kamu jangan khawatir". Kata Auryn menenangkan. Harusnya perempuan itu tidak menerima tawaran Jack untuk tinggal bersama sebagai pembantu. Kini Auryn justru merasa semakin bersalah.

"Sudahlah ini memang salahku. Aku terlalu lama mengulur waktu, harusnya aku jujur sedari awal". Keluh Jack sambil mengacak rambutnya frustasi.

"Maaf menunggu lama". Suara Jane menyeruak, terdengar dingin namun sudah tak seemosi tadi. Jack tertegun menatap penampilan baru kekasihnya, lebih anggun dan sorot matanya sangat lembut.

"Ruby... aku...".

"Jane, namanya sekarang Jane". Ralat Sonia cepat-cepat. Jack membeo, bingung dengan maksud perkataan Sonia. Namun Sonia memberikan kode dengan gedikan dagu seakan berkata; entahlah, nanti aku jelaskan.

"Oke baiklah Jane, sayang. Aku ingin menjelaskan". Kata Jack lembut. Jane duduk tepat diseberang Jack dan Auryn, namun perempuan itu masih tidak sudi menatap Auryn.

"Jadi?". Tanya Jane langsung dan terlihat angkuh.

"Aku membayar seseorang untuk mencari tahu siapa Victor, dan karena itu aku tahu keberadaan Auryn. Aku pikir Auryn bisa meluruskan kesalahpahaman diantara kamu dan Victor. Aku hanya ingin kamu sembuh. Dan karena itulah aku membawa Auryn untuk tinggal dirumah karena tidak tega melihat dia dan bayinya hidup terlunta-lunta. Demi Tuhan itu bukan bayiku, itu bayi Auryn dan Victor. Mereka dicampakkan". Jane menatap Auryn dengan tatapan tidak mengerti. Jadi Auryn rela melepaskan Victor dan hidup susah dengan bayinya demi dia? Lalu siapa yang pantas merasa bersalah disini?

"Auryn kamu itu bodoh sekali! Harusnya kamu tetap egois sama seperti waktu itu". Kini Jane malah terisak karena kasihan pada nasib mantan sahabatnya itu. Ternyata Auryn lebih menderita dari dirinya. Ia berusaha menghidupi dua nyawa dengan segala keterbatasan.

"Aku tidak mau egois lagi. Mengkhianati sahabat, hamil diluar nikah, apa aku masih pantas disebut manusia?! Aku malu pada dirimu, apalagi pada Tuhan". Auryn ikut terisak.

"Tapi kamu seorang ibu, setidaknya pikirkan anakmu".

"Akupun tidak pantas menjadi ibu". Auryn memeluk putrinya erat-erat. Kini dendam terkalahkan oleh rasa iba. Tanpa ragu Jane berjalan kearah Auryn dan memeluknya erat.

"Maaf Auryn, biar aku jadi kekuatan untuk kalian". Ujar Jane tulus. Dan karenanya Auryn semakin terisak, begitu baik sosok yang tengah memeluknya saat ini. Dan Auryn berjanji akan menebus segala dosa dimasa lalunya dengan membuat Jane bahagia.

"Siapa nama bayimu?". Auryn tersenyum kecil sebelum menjawab;

"Ruby". Kemudian keduanya sama-sama tersenyum. Jack dan Sonia merasa lega. Beruntung Jane bisa mengendalikan diri dengan baik, mengganti nama menjadi Jane tidaklah buruk.

***

"Halo?". Suara berat Jane menyambut telepon pagi ini.

"Selamat pagi cinta". Sapa Jack dengan manis diujung sana.

"Pagi juga, sayang". Kini Jane merasa lega karena hubungannya dengan Jack telah membaik. Beruntung kesalahpahaman itu telah terurai, ya meski soal Victor entahlah.

"Aku ingin mengajakmu melihat gaun pengantin, bagaimana?". Mata Jane seketika terbelalak. Kantuk-nya langsung hilang. Ia sontak terduduk tegak diatas kasurnya setelah mendengar kata gaun pengantin. Hampir sepuluh detik ia tak bersuara.

"Jane? Sayang?".

"I...ya... tapi bukankah terlalu cepat untuk melihat gaun?". Entah mengapa rasa ragu itu kembali menggelayuti entah karena apa. Tapi yang pasti Jane merasa tidak sanggup melakukannya.

"Bukankah kita menikah minggu depan?".

"Hah? Ming--minggu depan?". Alis Jane beradu, suaranya mengecil.

"Kenapa jadi gugup, sayang?".

"Tidaaaak... aku tidak gugup. Cuma tidak menyangka aku akan menikah secepat ini". Sahut Jane beralasan. Kini keringat dingin mulai menyambangi pelipisnya.

"Pagi ini aku akan menjemputmu untuk memilih gaun yang kamu suka, oke?".

"Tapi... aku tidak ingin ada pesta".

"Kenapa? Kebanyakan perempuan ingin dirayakan hari pernikahannya".

"Kamu tahu kan, aku tidak suka menjadi sorotan. Aku tidak nyaman". Sekuat tenaga Jane menyingkirkan  sosok Ruby dalam dirinya, tetap saja sosok itu terus melekat. Sonia benar, nama hanyalah topeng.

"Baiklah kalau begitu. Aturlah pernikahan kita seperti yang kamu mau".

"Aku ingin menikah dengan dihadiri orangtua mu saja".

"Tidak bisa sayang. Saudara ibuku banyak. Belum saudara ayahku. Kurang lebih dua ratus undangan, belum termasuk teman-temanku". Jane semakin mengerutkan dahi. Dua ratus undangan belum termasuk teman-teman Jack? Dan diantara orang-orang itu tidak ada yang ia kenal.

"Terserah... kalau begitu". Suara Jane pasrah.

"Oke, jam sepuluh aku jemput".

Jane keluar dari kamar kemudian mengambil rokok, dan menyulutnya. Persetan dengan perkataan Sonia; Jane adalah sosok yang tidak akan menyentuh alkohol dan rokok lagi. Kini ia sadari merubah nama bukan berarti merubah segalanya. Ruby dan Jane tetaplah bagian dari dirinya! Keduanya sama.

Minggu depan ia akan menikah. Kenyataan itu sama seperti kopi yang tengah ia seduh, pahit. Ia termenung, andai ada seorang ibu yang akan membelai rambutku menjelang hari pernikahan. Ia membuang nafas pendek.

"Aku butuh teman, sahabat, saudara, ibu. Sekarang! Tapi mereka semua tidak ada di dalam hidupku sejak dulu. Siapa yang akan menemaniku di hari penting itu?". Jane berbicara sendiri. Dinding-dinding rumahnya memantulkan suaranya.

"Tuhan, aku butuh teman. Butuh seseorang yang bisa mendengarkanku, tertawa didekatku, atau marah padaku". Hanya sepi yang menjawab Jane.

"Tapi sekarang aku bukan Ruby si bodoh dan lemah itu, aku adalah Jane. Begitu aku menikah dengan Jack, semua pasti akan baik-baik saja". Jane berusaha meyakinkan dirinya. Ia masih berusaha menghilangkan sosok Ruby dalam dirinya. Harus, demi kebahagiaannya.

***