Wajah Jack berbinar-binar selama perjalanan menuju bridal tempat gaun pengantin Ruby. Ruby hanya diam dan terkadang tersenyum mendengarkan celotehan Jack. Terlihat jelas jika Jack yang paling antusias disini, sementara Ruby? Entahlah...
Mereka disambut oleh seorang perempuan muda yang bisa ditebak adalah pegawai di butik tersebut. Perempuan itu segera menunjukan berbagai model gaun putih pada Ruby dan Jack. Ruby memilih dengan cepat sebuah gaun putih panjang berbahan satin dengan design yang paling sederhana.
Setelahnya ia langsung digiring menuju ruang ganti. Gaun tersebut seperti berjodoh dengan tubuh Ruby, sekalipun gaunnya sangat sederhana namun perempuan itu nampak sangat memukau. Bahkan Jack yang duduk menghadap tepat didepan ruang ganti pun menatapnya tanpa kedip melihat Ruby yang terbalut gaun putih. Begitu cantik, begitu suci.
Dari butik itu, Jack mengajak Ruby kesebuah toko berlian. Ruby masih terdiam, mengingat-ingat apa yang baru saja terjadi. Semuanya berjalan begitu cepat baginya. Seperti mimpi dan selama mencoba gaun pengantin tadi sebenarnya pikiran perempuan itu bercabang kemana-mana. Yakinkah ia dengan keputusan ini? Apa ini yang terbaik? Apa Jack bukanlah pelarian dari segala rasa sepinya? Ruby mengernyitkan dahi dan membuang nafas pendek.
"Ayo masuk". Ajak Jack yang masih terus menggenggam tangan Ruby lembut.
"Sayang, ada apa? Kamu sepertinya murung". Punggung tangan Jack mengelus-ngelus pipi Ruby.
"Tidak. Aku cuma kurang sehat saja". Bohong Ruby. Senyum palsu terpatri diwajahnya.
"Kamu sakit?". Jack merasa cemas mendengar kata kurang sehat keluar dari bibir Ruby.
"Tidak kok, hanya kurang sehat saja. Kamu tidak usah khawatir". Sebisa mungkin Ruby mencoba meyakinkan Jack bahwa dirinya baik-baik saja. Ditautkan jemarinya kesela jari Jack, kemudian tersenyum semanis mungkin.
"Benar, kamu tidak apa-apa?".
"Hmmmm...". Ruby menganggukan kepala.
Jack mempersilahkan Ruby duduk di kursi yang disediakan oleh toko berlian itu. Pegawai itu memberikan katalog yang didalamnya berisi model perhiasan.
"Sayang, sekarang pilihlah cincin yang mana saja". Kata Jack lembut. Lagi-lagi Ruby menghela nafas panjang. Kenapa semua ini begitu berat untuknya? Rasanya ia tidak berhasrat sama sekali.
"Jack, kamu saja yang pilih". Suara Ruby lemas.
"Hmmm... baiklah". Ujar Jack sedikit ragu karena melihat wajah Ruby yang semakin pucat.
Jack memperhatikan satu persatu cincin bertahtakan berlian di dalam katalog itu. Ia menunjuk sebuah model. Pegawai itu segera mengantarnya menuju etalase berisi ratusan cincin berlian. Ruby hanya duduk diam sambil memperhatikan cincin-cincin itu. Begitu irinya Ruby melihat cincin yang berkilauan dengan penuh percaya diri. Tidak seperti dirinya. Kendati namanya adalah Ruby salah satu batu mulia yang pancarnya kemerahan indah, namun ia sama sekali tidak percaya diri untuk bersinar.
"Namaku Jane sekarang". Desis Ruby pada dirinya sendiri.
Hampir enam puluh menit mereka berdua berada diruangan penuh kilau itu. Jack segera mengantar Ruby pulang setelah mendapatkan cincin yang ia mau. Lelaki itu membiarkan Ruby beristirahat kemudian pamit untuk melanjutkan pekerjaan di kantor. Ruby duduk terdiam di sofa ruang tengahnya selepas kepergian Jack.
Ia terdiam lama sekali sampai kemudian ia menyulut sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Kedua kakinya ia naikkan keatas meja. Pikirannya melayang-layang seperti asap nikotin yang ia hembuskan. Enam hari lagi aku akan menjadi nyonya Jack, siapakah aku? Ruby atau Jane?
Bibir Ruby basah karena setiap detik ia menggigitinya. Aku butuh Sonia, sekarang! Pikirnya. Tapi pikiran itu terkalahkan oleh pikiran tentang pernikahan. Hanya dalam hitungan hari saja ia akan menjalani biduk rumah tangga. Rumah tangga, seorang istri, calon ibu dari anak-anak Jack.
***
Jack lah yang sibuk seorang diri mempersiapkan hari besar itu. Dari undangan, dekorasi ruangan, makanan, hingga kamar pengantin. Seperti hanya dirinya saja yang niat menikah. Ia berusaha men-design kamar pengantin seromantis mungkin hanya untuk Ruby.
Sementara itu, keteguhan mulai singgah dihati Ruby untuk menjadi seorang istri. Ia berusaha untuk tidak selangkah mundur dari keputusannya. Ruby mulai ikut berbunga-bunga melihat ekspresi bahagia Jack ketika menceritakan persiapan menjelang hari-hari bahagia mereka.
Tanpa terasa, besok adalah hari pernikahan mereka. Hari yang akan menjadi hari yang tak terlupakan bagi Ruby dan Jack. Dan inilah hari itu. Pukul lima pagi Ruby terbangun dan segera memandang wajahnya didepan cermin.
"Aku akan menikah hari ini". Monolog-nya. Ia terus menatap cermin, memperhatikan wajahnya.
"Aku akan bertemu manusia-manusia baru hari ini". Wajahnya sedikit berubah.
"Aku takut...".
Ia harus tiba di rumah Jack pukul tujuh pagi. Tadinya Jack yang akan menjemput Ruby, tetapi perempuan itu menolaknya. Ia sendiri yang akan datang ke rumah Jack. Ruby mengemas pakaian ke dalam koper kecil. Ia masukan keperluan selama empat atau lima hari untuk tinggal di rumah orangtua Jack. Setelah mandi dan memoles wajah, Ruby segera keluar rumah. Namun kenapa wajah manusia yang sangat ia benci kembali muncul dihadapannya?
"Kamu akan menikah hari ini?". Tanya Victor langsung begitu Ruby membuka pintu. Perempuan itu memejamkan mata menahan amarah sebelum menatap Victor dengan tidak bersahabat.
"Bukan urusan kamu! Aku gak ada waktu!". Terdengar suara decihan dari mulut Victor. Lelaki itu mencekal pergelangan tangan Ruby saat siempunya hendak pergi begitu saja.
"Kamu pikir kamu pantas?!". Entahlah kenapa Victor merasa kesal saat Ruby hendak menikah tanpa memberitahukan kabar itu padanya. Justru ia tahu kabar bahagia itu dari bos nya dikantor yang pernah bekerjasama dengan Jack.
"Maksudmu?". Ruby menyentak tangan Victor, tatapan matanya nyalang.
"Lihatlah kamu itu siapa dan calon suami mu itu siapa? Aku tahu calon suamimu bukanlah orang sembarangan. Sementara kamu, hanyalah perempuan gila yang menjadikan lelaki sesempurna Jack sebagai pelarian. Apa aku benar?". Ruby telak bungkam karena apa yang dikatakan Victor memang benar adanya. Sekuat mungkin mencoba percaya diri dan merasa pantas untuk Jack, namun Ruby sadar jika dirinya hanya akan menyakiti lelaki itu pada akhirnya. Keyakinannya belum cukup kuat untuk dikatakan mencintai Jack.
"Diamlah! Ini hidupku dan aku yang berhak menentukan!". Ruby bergegas menuju mobilnya.
"Pikirkan sekali lagi. Menikah bukan untuk main-main. Kamu akan bersumpah dihadapan Tuhan, kalau niatmu belum tulus lebih baik lepaskan". Ruby berhenti sejenak kemudian menatap punggung Victor yang berlalu melewatinya kemudian masuk kedalam mobil. Mata Ruby tak lepas menatapnya sampai lelaki itu berlalu dengan mobilnya. Victor sebenarnya berusaha memberikan nasehat yang baik atau mencoba menghancurkan kebahagiaannya?
"Sial!". Dan karenanya pikiran Ruby mulai terkontaminasi. Ini gawat!
Telepon berdering ketika Ruby meninggalkan rumah. Telepon itu dari Jack yang merasa cemas karena pengantin wanita yang akan dirias belum sampai. Jack terus mencoba menghubungi Ruby, tapi tidak ada jawaban.
Sementara itu, Ruby melaju dengan kecepatan lambat menuju rumah Jack. Kedua matanya tampak gelisah, hatinya semakin gundah. Perkataan Victor tadi terus terngiang ditelinganya. Kalau ditelisik kebelakang Ruby lah yang sering menorehkan luka dihati Jack, merepotkan lelaki itu. Sementara Jack? Bak tanpa cela. Pantaskan perempuan serba kekurangan sepertinya mendampingi lelaki sesempurna Jack?
Ketika lampu lalu lintas berubah merah, Ruby menyempatkan untuk memejamkan matanya meski hanya beberapa detik. Lampu hijau telah menyala, tapi ia masih memejamkan matanya sampai klakson dari pengendara lain mulai bersahut-sahutan. Matanya terbuka dan ia langsung melaju kencang.
Ruby akhirnya sampai didekat rumah orangtua Jack. Mobilnya tidak berhenti melainkan terus melewatinya dan mengitari kompleks perumahan itu. Ia lewati begitu saja rumah orangtua Jack yang halamannya telah dipasang tenda putih megah. Ia melihat kursi-kursi sudah tertata rapi untuk para tamu. Ruby terus berputar-putar mengitari kompleks itu tanpa ada niatan untuk berhenti.
Ruby tidak tahu bagaimana keadaan Jack saat ini. Orangtua Jack, Auryn, dan Sonia sedang berusaha menenangkan kekhawatiran lelaki itu. Jack sangat kebingungan dan mulai hilang kendali karena tidak berhasil menghubungi Ruby. Acara akan dimulai pukul sepuluh dan para tamu sudah mulai berdatangan. Tapi Ruby belum juga datang. Tadinya Jack berniat untuk pergi kerumah Ruby, namun jelas dilarang karena takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Mobil Ruby terus melaju. Kali ini mobil itu keluar dari kompleks dan menuju sebuah minimarket. Ia memarkirkan mobil dan turun untuk membeli sekotak rokok. Sambil mengepulkan asap rokok, sesekali Ruby melirik koper kecil berwarna hitam yang ia letakan dikursi belakang. Ia pejamkan mata dan menyandarkan kepalanya. Your'e My Everything mengalun pelan dari tape mobil untuk yang kesekian kalinya.
Ruby membuka mata, lalu mematikan puntung rokok. Ia memacu mobilnya kembali kerumah orangtua Jack. Ia berhenti di depan rumah yang mulai ramai itu. Ia tidak turun, hanya memandang dari balik kaca mobil. Ia memandangi rumah itu terus-menerus hingga seorang lelaki keluar dari pagar. Seorang lelaki berjalan sambil menundukkan kepala. Lelaki itu mengangkat wajahnya yang terlihat kacau, mata Ruby berkaca-kaca. Perempuan itu masih betah menatap sang lelaki yang kembali ia torehkan luka dihatinya tanpa bosan.
Tatapan itu kemudian dirasakan oleh Jack. Ia melihat kearah mobil yang terparkir tidak jauh dari tempatnya berdiri. Sebuah mobil yang tak asing baginya, kakinya berjalan cepat menuju mobil Ruby. Ruby masih memandanginya hingga ia mampu melihat betapa menderitanya Jack akibat perbuatannya. Sementara itu Jack semakin mendekat hingga Ruby dibuat ketakutan.
"Ruby!". Ruby mengusap cepat air matanya dan mulai menyalakan mesin mobil.
"Ruby....! Ruby....! Ruby!!!!...". Mobil Ruby melaju sesaat setelah Jack mencoba menyentuh gagang pintu. Jack bersimpuh dan terus memanggil nama Ruby dengan pilu. Rasanya bukan hanya Ruby saja yang gila, namun dirinya juga ikutan gila. Semua ini karena Ruby, perempuan yang begitu diidam-idamkan oleh Jack.
Ibunya bergegas keluar dan memeluk anak laki-lakinya. Jack terisak dalam pelukan ibu "Sudah Nak. Mungkin ini yang terbaik, ikhlaskan. Kamu pasti mendapat ganti yang lebih baik".
Beberapa kilometer dari kompleks itu, Ruby menghentikan mobilnya dijalan yang sepi. Ia seperti tidak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya, kesalahan besar telah ia lakukan. Ia pun kembali menangis didalam mobil.
"Jack, maafkan aku...". Dan pada akhirnya Ruby akan selalu merasa tidak pantas untuk siapapun karena keadaannya.
***
Malam mulai datang. Di dalam kamar yang menebarkan aroma mawar, Jack terduduk sambil menggenggam sebuah kotak kecil. Hari ini tidak ada pernikahan, tidak ada malam pengantin. Jack mengeluarkan cincin dari kotak yang ia genggam, ditatapnya lamat-lamat. Matanya memerah karena teringat cincin itu tidak bisa ia sematkan dijari manis Ruby. Jack beranjak dari kursi, menuju tempat tidur bertabur mawar merah. Ia rebahkan tubuhnya diatas ranjang pengantin dan mencoba memejamkan mata mengusir segala kegundahan. Ia terlalu sakit untuk mencari Ruby dan meminta penjelasan.
Jack tidak keberatan disakiti selama ini oleh perempuan itu, namun ia tidak menyangka jika Ruby tega menyakitinya sampai sejauh ini. Cinta dan ketulusannya tidak main-main, kenapa tidak dihargai walau hanya sedikit? Baginya cukup sampai disitu kisah mereka.
***
Sabar ini baru puncak konflik (: