Sonia sampai di depan rumah Ruby menjelang sore. Ia melihat mobil Ruby terparkir di depan rumah. Gengsi yang menggunung terkalahkan oleh rasa khawatir. Teringat semalam Jack tidak mengabarinya perihal keadaan Ruby setelah dijemput di club malam. Setidaknya Sonia hendak memastikan jika Ruby dalam keadaan baik-baik saja. Ia bertanya pada dirinya sendiri, apa yang membuatnya mengkhawatirkan perempuan itu? Kenapa sosok Ruby seakan melekat kuat di dalam pikirannya? Padahal selama ini Sonia tidak pernah kekurangan teman. Mudah saja baginya untuk membuang Ruby, namun anehnya ia tidak bisa.
Sonia melangkah menuju rumah Ruby, baru saja hendak mengetuk pintu namun Ruby sudah lebih dulu membuka pintu dan sempat membulatkan matanya lantaran kaget. Begitu juga dengan Sonia, perempuan itu sama kagetnya. Berusaha mengendalikan diri karena mendadak gugup, Sonia membasahi bibirnya dan tersenyum kaku kearah Ruby.
"Hai?". Sapa Sonia. Perempuan itu sudah siap jika seandainya Ruby akan mengoloknya lantaran muncul disaat hubungan keduanya sedang tidak baik. Namun segala prasangka buruk Sonia keliru, Ruby justru membalas senyum perempuan itu dengan sangat manis.
"Soniaaaaa...". Panggilan yang sangat Sonia rindukan. Sejujurnya Sonia heran dengan sikap Ruby, perempuan itu bersikap seakan tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Padahal semalam Ruby terang-terangan berkata jika ia tidak membutuhkan dirinya.
"Wah... Bu dokter berpenampilan anak muda". Sonia tersenyum. Dalam hati ia berkata; kenapa Ruby selalu mengomentari penampilanku? Seakan-akan tidak ada hal special dari dirinya yang bisa dibahas. Sonia menghiraukan perkataan Ruby, ia mengamati penampilan perempuan didepannya ini yang nampak segar.
"Kamu mau pergi?". Tanyanya. Ruby tidak menjawab, ia justru memberikan kode pada Sonia untuk duduk kursi teras dengan gedikan dagu. Setelah Sonia duduk tepat disampingnya, Ruby membuka suara.
"Hmmmm... hanya mau kerumah Jack, memberikan kejutan...". Terlihat senyum bahagia yang terpancar dari wajah Ruby begitu nama Jack keluar dari mulutnya. Namun senyum itu tidak berlangsung lama begitu Ruby mengingat keberadaan Sonia. Perempuan itu menoleh sembari menatap Sonia dengan sorot datar.
"Kamu kesini mencari Jack kan? Mau ikut denganku?". Sonia mengerutkan dahi mendengar pertanyaan Ruby.
"Tidak! Kenapa jadi Jack? Dan kenapa aku harus ikut denganmu?". Sonia menggelengkan kepala. Agak bingung dengan Ruby yang tiba-tiba membahas Jack.
"Aku tidak punya uang. Kamu minta Jack saja ya?". Kata Ruby dengan wajah memelas.
"Maksud kamu apa?". Tanya Sonia semakin tidak mengerti.
"Kamu kesini ingin menyelesaikan administrasi yang tertunda. Iya kan?".
"Tentu saja tidak". Sahut Sonia langsung sambil mengembuskan nafas lelah.
"Terus apa?". Sonia menatap Ruby lekat-lekat. Apa Ruby tidak menemukan ketulusan darinya? Semua tidak ada hubungannya dengan uang. Sonia murni ingin membantu Ruby, namun tetap saja perempuan ini menganggap semua yang ia lakukan hanya karena pekerjaan dan uang.
"Memangnya aku tidak boleh kesini?". Kenapa Ruby tidak menyukai keberadaanku? Tak seharusnya ia berada disini, pikir Sonia. Ia telah merendahkan harga dirinya.
"Aku senang kamu kesini, artinya kamu tulus berteman denganku". Jawaban yang membuat Sonia semakin pusing. Berbicara dengan Ruby seperti memecahkan sebuah teka-teki, perempuan itu sulit ditebak. Ia berpikir selama ini Ruby hanya menganggapnya seorang dokter yang sekedar mengobati pasiennya. Sebenarnya kalau ia pikir-pikir lagi, mana ada dokter yang mau membuang waktu hanya untuk jalan-jalan. Tolol.
"Kenapa aku harus disini? Tidak seharusnya aku berada di rumah Ruby yang menyebalkan ini. Mengkhawatirkan keadaannya? Bahkan mulut pedasnya masih berfungsi dengan baik. Lebih baik aku pulang". Batin Sonia. Wajah sonia menyiratkan emosi. Ia tidak menyadari Ruby memandangi perubahan wajahnya.
"Aku pulang dulu ya". Pamit Sonia sambil tersenyum kecut. Ruby ikut tersenyum kemudian berdiri dan terus menatap wajah Sonia.
Saat Sonia hendak melangkah pergi, Ruby mencolek pundak perempuan itu, "Aku punya sesuatu untukmu".
"Apa?". Sonia tidak bergairah menanggapinya.
"Sebentar ya, tunggu sebentar". Ruby masuk ke dalam rumah, sementara Sonia kembali duduk di kursi teras. Ia masih termangu. Tidak lama kemudian Ruby kembali muncul.
"Hai, jangan melamun". Tegur Ruby sembari mengulurkan parcel buah dengan bermacam-macam jeruk didalamnya. Sonia tersenyum kecil, Ruby masih ingat jika ia sangat menyukai jeruk.
"Terimakasih". Kata Sonia dengan tulus. Perempuan itu tidak henti menatap parcel jeruk yang diberikan Ruby.
"Kata dokter saya yang seperti bebek, jeruk membuat pikiran kita menjadi segar. Apalagi kalau sedang patah hati". Celoteh Ruby.
"Aku tidak patah hati". Sahut Sonia. Ia membuka parcel itu dan menawarkan jeruk pada Ruby namun perempuan itu menggeleng.
"Sejak kamu bilang kamu suka jeruk, hari itu aku membelinya. Rencananya hari ketiga atau hari keempat aku akan memberikannya saat kamu datang. Tapi kamu cuma datang dua kali, jadi jeruk itu aku simpan". Sonia terdiam ditempatnya. Selama ini ia mengira jika Ruby tidak memperhatikannya. Bahkan sempat mengira jika perempuan itu tidak menyukai keberadaannya. Hingga pada akhirnya ia memutuskan untuk menjauhi Ruby, namun sepertinya ia salah menilai perempuan itu.
"Aku bingung hendak memberikan jeruk yang seperti apa, sehingga aku membeli semua jenis jeruk. Maaf jika kamu tidak suka". Ruby masih terus berceloteh.
"Tidak, aku suka jeruknya. Suka sekali".
"Kamu tidak jadi pulang?". Ruby bertanya pada Sonia. Tatapan matanya menyiratkan luka disana. Sonia berhenti mengunyah jeruknya. Ia menduga pertanyaan tentang pulang bisa jadi bukan berarti Ruby ingin ia pulang. Mungkin justru sebaliknya, ia tidak ingin dirinya pulang. Juga kejadian video call tadi malam, Ruby bilang tidak membutuhkan dirinya. Bisa jadi perempuan itu justru sangat membutuhkannya. Ya perlahan-lahan Sonia mulai paham kemana arah perkataan Ruby, ucapan bertentangan dengan hati.
"Menurutmu, lebih baik aku pulang sekarang atau nanti saja?". Kendati menjawab ya atau tidak, kini Sonia balik bertanya pada Ruby.
"Apa yang membuatmu kesini dan apa yang membuatmu pulang?".
"Yang membuatku kesini adalah kamu, semalam aku mengkhawatirkanmu. Dan yang membuatku ingin pulang adalah perilaku dan tingkahmu yang kadang menyakitkan". Sorot Ruby melemah, perempuan itu langsung ingat perbuatannya semalam pada Sonia.
"Semalam itu, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud menyakitimu, aku hanya sedang banyak pikiran saja. Lalu, buat apa kamu mencari ku jika kamu sakit hati dengan kelakuanku semalam?". Sonia meletakkan setengah jeruk yang ia bawa keatas meja kemudian mulai menatap Ruby dengan serius.
"Aku tidak bisa menjawab pertanyaan buat apa aku mencarimu. Tapi mungkin jawabanku sama seperti kamu. Kenapa kamu tidak bisa melupakan Victor dan tidak bisa mengganti posisi Victor dengan orang lain? Misalnya, Jack". Ruby membelalakan mata kearah Sonia yang berujar tanpa beban. Telinganya panas mendengar ucapan Sonia yang menurutnya lancang.
"Kenapa kamu jadi membahas Victor?!". Muka Ruby menjadi ganas, suaranya dalam seperti menahan sesuatu yang hendak meledak. Ia tidak ingin mendengar nama Victor lagi. Ia tidak ingin terusik oleh Victor. Ia tidak ingin mengingat bahwa pernah ada seorang Victor di dalam hidupnya.
"Ruby tenang...". Sonia menyentuh pundak Ruby dan menatap mata perempuan itu yang sudah berkaca-kaca. Sonia tidak bermaksud menyakiti Ruby dengan mengungkit soal Victor. Hanya saja Sonia ingin Ruby berdamai dengan dirinya, ia tidak ingin perempuan itu merasakan sakit jika mengingat Victor seperti saat ini. Lebih baik menahan sakit diawal ketimbang dihantui rasa sakit seumur hidup.
"Victor adalah sumber rasa sakitmu, kamu harus bisa melawan itu. Jangan jadikan Victor kelemahanmu, lupakan dia!". Kata Sonia tegas. Ruby menyentak tangan Sonia kasar. Perempuan itu menatap Sonia dengan raut marah yang kentara sekali.
"Kita memang teman. Tapi kamu tidak tahu apa yang aku alami selama ini. Kamu tidak bisa merasakan apa yang aku rasakan. Dan dengan mudahnya kamu memintaku untuk melupakan Victor. Menyebut namanya didepanku, itu lancang!". Bentak Ruby.
"Sadarlah kamu sudah punya Jack! Dia jauh lebih baik dari Victor. Dia adalah penyembuh untukmu! Victor itu penyakit dan Jack adalah obat. Kamu sudah besar dan kamu pasti tahu mana yang harus dibuang dan mana yang harus dipertahankan!". Bentak Sonia balik bermaksud menyadarkan Ruby.
"Jack dan Victor berbeda. Kamu tidak tahu apa-apa! Jadi berhenti bicara!". Dengan wajah merah padam Ruby meninggalkan Sonia kemudian melajukan mobilnya. Sonia menghela nafas menahan marah, tidak habis pikir dengan Ruby. Bahkan Victor yang menurutnya adalah penyakit masih bertengger apik di dalam hati perempuan gila itu.
"Bodoh". Umpat Sonia.
***
Ruby menghidupkan musik dengan volume keras, berusaha untuk tidak terlarut dalam emosinya. Berusaha fokus menyetir menuju rumah Jack, hal yang disadari Ruby adalah Jack memang obatnya. Hanya saja Ruby belum bisa melepaskan sosok penyakit dan membiarkan obat itu mengusir si penyakit di tubuhnya tanpa sisa.
"Penyakit, obat? Perumpamaan yang aneh". Kekeh Ruby. Sebelum Sonia datang dan mengubah mood nya, Ruby sedang berbunga-bunga. Setelah penyatuan malam tadi, Ruby rasanya ingin sekali bertemu Jack. Bisa dibilang rindu, bisa juga tidak. Hanya saja hatinya berdebar jika mengingat Jack, rasa cinta yang tumbuh meski hanya seujung kuku.
Ruby tidak mengabari lebih dulu hendak ke rumah Jack. Ia ingin memberikan kejutan pada kekasihnya. Bersikap manis sekali-kali sepertinya tidak salah, mengulurkan sekotak coklat kemudian memberikan kecupan dipipi saat sang kekasih membuka pintu. Ah ide yang bagus! Lupakan sejenak soal Sonia yang menyebalkan itu.
Ruby menepikan mobilnya didepan sebuah minimarket. Perempuan itu membuka dompetnya, raut sedih terpancar disana. Uangnya sudah habis tak bersisa, bahkan receh pun tak ada. Ya wajar saja sudah habis, berapa banyak uang yang ditinggalkan ayahnya lama-lama akan menipis jika ia tidak bekerja.
Perempuan itu menggigit bibirnya, menatap sekitar dimana minimarket yang berada tepat disamping rel kereta api itu sangat sepi. Ruby menyambar jaket hitam dan topi di bangku belakang. Ia pakai secepat mungkin dan tak lupa menenteng tas ransel dipundaknya. Ruby keluar dari mobil dan masuk kedalam minimarket, dilihatnya sang penjaga tengah tertidur. Senyum licik terpatri di bibir mungilnya. Segera ia melangkah ke rak coklat dan mengambil beberapa kotak kemudian dimasukkan kedalam tas ranselnya.
"Ah beberapa kotak rokok dan vodka tidak masalah. Lagian gue juga bukan orang baik". Gumam Ruby sambil tersenyum miring. Masih terus berusaha mencuri dengan hati-hati hingga sebuah tangan besar mencekal pergelangan tangannya.
Ruby membulatkan matanya, jantungnya berdebar tak karuan. Semakin berdebar lagi saat mengetahui jika sosok yang memergokinya mencuri adalah Victor. Victor menatap Ruby datar, tidak mengeluarkan sepatah katapun. Direbutnya tas ransel Ruby dan ia bawa ke kasir.
Ruby sempat mematung beberapa detik namun setelahnya perempuan itu berdecih. Berjalan cepat keluar dari minimarket sambil menahan kesal. Victor menatap punggung kecil perempuan itu dan segera menyelesaikan transaksi pembayaran. Ruby tidak malu karena ketahuan mencuri oleh Victor, biarkan sekalian saja lelaki itu tahu jika ia rusak karenanya. Ruby hanya merasa muak dengan sikap sok baik Victor padanya. Lebih baik lelaki itu terus menjadi jahat ketimbang bersikap baik dan mungkin bisa saja membuatnya goyah.
Melihat Victor keluar dari minimarket, Ruby langsung merebut tas ranselnya dan berlalu pergi.
"Kamu masih punya mobil. Jual saja mobilmu daripada mencuri". Kata Victor pedas. Ruby menghentikan langkahnya dan menutup matanya rapat-rapat. Selanjutnya ia berbalik kearah Victor dengan tatapan tak kalah datar.
"Apa urusanmu? Sejak kamu pergi saat itu, kita sudah hidup masing-masing".
"Kamu masih marah padaku? Kamu masih dendam? Mau sampai kapan begini terus? Jujur aku lelah, aku ingin semua kembali seperti dulu". Kata Victor memelas.
"Kembali seperti dulu?". Ruby tertawa remeh sebelum melanjutkan perkataanya.
"Mungkin kita bisa kembali seperti dulu, tapi tidak akan sama. Gelas yang pecah tidak akan kembali seperti semula. Aku juga sudah tidak sama seperti dulu, berkat luka yang kamu berikan". Ruby kembali berbalik dan hendak masuk ke dalam mobil hingga suara Victor kembali menginterupsi.
"Semua bisa kembali seperti semula jika kamu mengikhlaskan gelas itu dan menggantinya dengan yang baru". Ruby termangu ditempatnya.
"Tapi sayangnya semua ini tidak sesederhana gelas". Ujar Ruby lirih dan segera masuk kedalam mobil. Victor menghela nafas berat, membiarkan Ruby pergi dengan perasaan tidak tenang. Jikalau ia yang berada diposisi Ruby, mungkin ia juga tidak akan semudah itu memaafkan. Ruby sudah rusak hanya karena satu kesalahan yang ia perbuat.
***
Kejadian yang menimpanya hari ini membuat Ruby semakin kalut. Mulai dari perkataan Sonia, hingga pertemuannya dengan Victor. Ruby membutuhkan Jack. Perempuan itu menggigiti kuku jarinya cemas karena tidak melihat wujud mobil kekasihnya di pekarangan rumah. Karena memang sangat membutuhkan Jack saat ini, maka Ruby memutuskan menghubungi lelaki itu. Gagal sudah kejutan manis yang ia rencanakan.
"Halo... sayang...".
"Jack, aku didepan rumahmu". Potong Ruby yang membuat Jack kaget seketika.
"Apa?! Kenapa kamu ada didepan rumahku? Ah maksudnya kenapa tidak mengabari dulu". Sahut Jack dengan gugupnya. Jika Ruby tahu ia menyembunyikan Auryn di rumahnya, tamatlah dia.
"Ceritanya panjang Jack, aku butuh kamu saat ini. Sangat!". Rengek Ruby. Jack mencoba mencari solusi kendati dirinya tidak bisa tenang saat ini.
"Ah begini sayang, aku sedang tidak ada dirumah. Aku sedang nge-gym. Aku akan kirimkan alamatnya lewat pesan. Oke?". Ujar Jack setenang mungkin.
"Tidak bisa. Aku sedang tidak bisa fokus. Aku tunggu di depan teras, segeralah pulang!".
"Ta-tapi....".
Tuut... tuuut..
Ruby menutup panggilan telepon secara sepihak dan bergegas turun dari mobil. Sementara itu Jack mengacak rambutnya frustasi, lelaki itu berjalan cepat menuju mobil sambil berusaha menghubungi Auryn. Namun sayang tidak diangkat sama sekali.
"Sial!".
Sementara itu, Auryn yang sedari tadi sedang menyiram tanaman sambil menggendong anaknya tidak menyadari kedatangan Ruby. Perempuan itu memunggungi Ruby, Ruby yang baru saja masuk pekarangan rumah Jack menatap punggung perempuan asing itu dengan tatapan bingung.
"Permisi...". Ujar Ruby hati-hati dan sesopan mungkin. Ia tidak mau berprasangka buruk pada perempuan asing itu, mungkin saja hanya sepupu Jack. Namun saat perempuan asing itu menoleh, hati Ruby seakan dihantam batu besar. Ada apa dengan hari ini? Kenapa wajah orang-orang yang ia benci terus hadir.
"Ru-Ruby?". Ujar Auryn terbata-bata. Perempuan itu kaget sekali melihat kehadiran Ruby, maksudnya kenapa
secepat ini?
"Kenapa kamu...". Ruby melirik kearah bayi yang ada di dalam gendongan Auryn kemudian tertawa sinis.
"Ahhhh... aku tahu sekarang. Setelah Victor, lalu sekarang Jack?! Anak siapa itu? Victor? Atau Jack?". Tanya Ruby sarkas sembari berjalan mendekati Auryn. Auryn menggeleng tegas, perempuan itu hendak menjelaskan namun Ruby sudah tuli karena praduganya sendiri.
"Bukan. Dengarkan dulu...".
PLAAAAAKKKK!!!!
Ruby menampar Auryn dengan seluruh tenaganya. Dadanya naik turun karena menahan emosi. Hati nuraninya tertutup kabut emosi. Tak ia pedulikan pipi Auryn yang lebam dan bayinya yang menangis ketakutan.
"Kamu ini benar-benar wanita murahan! Tidak cukup dengan Victor dan sekarang Jack? Kenapa kamu selalu merebut kebahagiaanku?!". Bentak Ruby dan sekali lagi Ruby
menampar Auryn. Auryn diam saja, ia hanya bisa menangis karena merasa pantas diperlakukan seperti ini oleh Ruby. Jika membunuhnya bisa membuat Ruby memaafkannya, maka
Auryn tidak keberatan.
"Kenapa diam?! Kamu bisu?!". Bentak Ruby yang kesal karena Auryn diam saja. Auryn mendongak dengan wajah basahnya.
"Mau aku jelaskan sejujur-jujurnya pun kamu tidak akan percaya karena kamu sudah sangat membenciku". Isak Auryn.
"Tentu saja! Mulut kamu itu busuk sekali! Tangisan kamu hanya palsu. Akhhhhhh!!! Aku pusing sekali mendengar bayi sialanmu menangis!". Auryn mundur selangkah untuk melindungi bayinya. Teringat perkataan Jack jika Ruby sakit, Auryn takut jika Ruby akan berbuat nekat.
"Ruby sadarlah. Aku tidak bermaksud merebut Jack, dan bayi ini bukan bayi Jack".
"Tutup mulutmu! Kamu tinggal satu rumah dengan Jack, kamu juga tidak punya hubungan kekeluargaan dengan Jack. Dan bayi ini sudah menjadi bukti jika kamu dan Jack... sialan aku ingin membunuh bayi itu". Ujar Ruby yang sudah siap mencekik bayi Auryn.
"Tidak Ruby, tidak! Bayiku tidak bersalah". Auryn berusaha melindungi bayinya hingga tersungkur ketanah, dan Ruby yang sudah diliputi emosi pun terus berusaha meraih bayi Auryn.
"Ruby! Apa yang kamu lakukan!". Jack datang diwaktu yang tepat dan menarik lengan Ruby sendikit kasar. Kini Ruby beradu tatapan tajam dengan Jack.
"Berusaha membunuh bayimu". Ujar Ruby ketus sambil menyentak tangan Jack kasar.
"Bayiku? Maksudnya?... hei kamu salah paham". Kata Jack langsung setelah paham maksud perkataan Ruby. Tatapannya mulai melembut dan berusaha meraih tangan Ruby namun perempuan itu terus menghindar.
"Apanya yang salah paham?! Semua sudah jelas! Jadi biarkan aku membunuh bayi itu dan aku akan memaafkanmu!". Ruby kembali menatap Auryn dan bayinya dengan bengis. Jack membulatkan matanya melihat kelakuan Ruby.
"RUBY KAMU KETERLALUAN!!". Bentak Jack yang kali ini ikut terbawa emosi. Jack tahu Ruby marah, tapi bayi yang tidak bersalah dijadikan sasaran itu kekanakan.
"Kamu membentak ku?!". Tantang Ruby.
"Aku mau jelaskan! Ayo kita bicara baik-baik! Kita luruskan kesalahpahaman ini". Kata Jack tegas. Hendak menarik tangan Ruby untuk masuk kedalam rumah namun justru tamparan yang ia dapatkan.
"Aku tidak sudi mendengarkan penjelasan dari bajingan seperti mu! Kalian bertiga sama saja". Ujar Ruby dengan pilu kemudian berlalu pergi. Semakin Ruby berfikir jika ketulusan itu tidak ada sama sekali. Semua orang mendekatinya hanya karena motif tertentu, dan Jack hanya menginginkan tubuhnya.
***