Jack mengetuk pintu rumah Ruby namun tak ada sahutan, ia mengulanginya dengan sabar sampai dibukakan pintu. Jack tahu Ruby ada di rumah terlihat dari mobil perempuan itu yang terparkir di pekarangan rumah. Beberapa menit menunggu, lelaki itu mulai gelisah. Dihubunginya sang kekasih melalui telepon namun nihil tidak diangkat. Ruby memang benar-benar pandai sekali membuat Jack kelimpungan karena khawatir.
Sejam kemudian barulah Ruby membuka pintu, perempuan itu hanya menatap Jack datar sambil mengangkat alisnya seakan merasa heran mengapa kekasihnya berkunjung sepagi ini?
"Lama sekali buka pintunya, sayang?". Ruby berpakaian serba hitam. Ia memakai headband warna hitam, memakai sepatu hitam, tas hitam, baju hitam, celana hitam, dan kacamata hitam.
"Jack, aku tidak bisa mengurusmu hari ini. Ada urusan penting". Kata Ruby seenaknya padahal sudah membuat Jack menunggu sejam lamanya.
"Kamu mau kemana?".
"Maaf, bukan urusanmu". Jack lantas dibuat terheran-heran dengan sikap ketus Ruby. Padahal dua hari yang lalu mereka menikmati malam indah bersama, Ruby juga bersikap manis. Tapi kenapa sekarang perempuan itu jadi berbeda? Apa ia marah karena Jack melakukan terlalu jauh malam itu?
"Sayang, mau kemana?". Sekali lagi Jack bertanya. Lelaki itu menahan lengan Ruby. Ruby menatap Jack dengan sorot tajam yang teredam oleh kaca mata hitamnya. Disentaknya tangan Jack pelan kemudian ia bergegas menuju mobil tanpa menghiraukan lelaki itu. Ruby pergi berbelanja.
Sepulang belanja, semua barang belanjaan ia letakkan di dalam kamar. Ruby melepaskan baju dan celananya hingga menyisakan bra dan celana dalam. Pakaian dalamnya pun berwarna hitam. Tidak seperti saat menikmati malam indah bersama Jack, ia mengenakan pakaian dalam berwarna merah.
Ia mengeluarkan barang-barang dari kantong belanja. Satu kuas besar, satu kuas kecil, dan tiga kaleng cat tembok warna hitam. Sebatang rokok dan sebotol vodka siap menemani Ruby mengecat. Goresan demi goresan menutupi warna dinding sebelumnya. Ia bukan seorang tukang cat, namun Ruby berusaha dengan tekun menutupi tembok yang sebelumnya berwarna cerah itu. Tiba-tiba Ruby menangis disela kegiatannya, tersedu-sedu dan mulai berteriak.
Diusapkannya kuas ketembok dengan brutal, warnanya pun jadi tak beraturan. Dan setelahnya ia berhenti mengecat, mulai lelah dan menyandarkan punggungnya ditembok yang belum kering. Tubuhnya melorot kebawah, punggungnya bercak-bercak hitam. Ia rengkuh kedua lututnya sambil terus menangis.
"Aku sakit. Aku sakit lagi, ibu... ibu dimana? Aku membutuhkanmu, ibu...". Tangis Ruby. Sungguh pilu hatinya merindukan sosok ibu. Ibu adalah penopang hidupnya, sumber semangatnya, segalanya. Dan sosok itu sudah tiada. Ia teguk seluruh vodka yang masih tersisa setengah botol meski tubuhnya memberi sinyal menolak asupan alkohol.
"Huek...". Ruby muntah beberapa kali, lalu tergeletak diatas lantai yang penuh muntahannya. Botol vodka yang ia pegang pecah berkeping-keping. Pecahan beling itu melukai tubuhnya. Ia tergeletak tak berdaya. Kepalanya pening, lengannya pun berdarah. Perempuan itu hanya diam sambil menatap lurus kedepan, air mata terus keluar dari mata sayunya. Ruby tak mampu berdiri. Rambutnya basah terkena alkohol, cat, dan muntahan. Tak lama setelahnya ia menutup mata, ia tak sadarkan diri. Mukanya pucat, begitu juga bibirnya.
***
Hari menjelang sore, Ruby masih tidak bergerak dari posisinya. Jika saja Jack tak datang kembali kerumahnya, mungkin Ruby tidak akan beranjak dari muntahan, cat, dan vodka yang melekat ditubuhnya. Jack yang khawatir akan sikap Ruby heran melihat pintu rumah yang tidak terkunci. Ia pun akhirnya masuk kedalam dan menemukan Ruby sudah tergeletak tidak berdaya.
"Ruby! Ya Tuhan!". Teriak Jack terkejut sekali melihat Ruby terkapar dilantai dengan kondisi yang mengenaskan. Ia pun segara mengangkat tubuh ringkih kekasihnya dan membaringkannya di ranjang. Jack masuk kedalam kamar mandi mencari handuk untuk membersihkan tubuh Ruby. Tubuh Ruby yang terkena darah, cat, dan muntahan yang sudah mengering sulit dibersihkan. Dengan terburu Jack membungkus tubuh Ruby dengan seprai dan ia bawa ke dalam mobilnya. Mobil melaju kencang menuju rumah sakit terdekat. Hati Jack kacau, bingung, dan takut kehilangan perempuan yang sedang tidak sadarkan diri dibangku belakang.
"Ya Tuhan. Jangan ambil kekasihku". Rapal Jack disepanjang perjalanan.
Sesampainya di depan UGD, Jack duduk dengan gelisah setelah Ruby dibawa masuk oleh beberapa suster. Dokter sedang menangani Ruby di dalam. Jack tak habis pikir apa yang terjadi pada Ruby. Jack mengingat-ingat kembali apakah sebelumnya ia berbuat sesuatu hingga membuat Ruby seperti itu? Ingatannya jauh kebelakang, ada kalanya Ruby bisa diam seharian bersamanya. Kadang perempuan itu marah-marah tanpa alasan, kadang menangis tersedu-sedu.
"Apa dia kecewa dengan perbuatanku malam itu? Dia marah karena aku memaksanya? Entahlah. Apapun itu aku akan selalu ada disisinya". Ujar Jack di dalam hati. Lamunan itu terhenti ketika dokter keluar dari ruang UGD.
"Dia terlalu banyak minum alkohol. Luka yang ada ditubuhnya sudah diobati, beberapa kami jahit. Mungkin satu jam lagi dia akan sadar". Jelas dokter. Setelah mengucapkan Terimakasih pada dokter, Jack masuk kedalam ruangan dan duduk disisi Ruby. Ia ciumi satu persatu jari di tangan Ruby. Pikiran Jack tak henti bertanya, kenapa Ruby jadi seperti itu? Sampai malam menjelang, Ruby tak kunjung sadar.
"Victor... ibu... Victor... ibu, jangan pergi". Igau Ruby.
Jack yang mendengar Ruby mengigau pun mencoba menebak-nebak apa yang terjadi pada perempuan itu. Mungkinkah karena sosok ibu yang selama ini tidak pernah terlihat ada disamping Ruby? Atau karena Victor? Dan siapa itu Victor? Jack baru menyadari betapa sepi hidup kekasihnya. Jauh dari kasih sayang.
Beberapa saat kemudian, dokter masuk dan memeriksa Ruby.
"Dia tadi mengigau Dok". Kata Jack memberi laporan.
"Hmmmm... tidak apa-apa. Tensinya stabil, kita tunggu saja sampai dia sadar".
Malam semakin larut. Pasien silih berganti keluar-masuk ruang UGD. Jack masih menunggu Ruby bahkan sampai hendak tertidur. Namun ketika mendengar suara isakan Ruby, ia membuka lebar kembali matanya.
"Mana Ibu?". Ruby bangun dari posisinya kemudian duduk sambil menatap sekitar mencari sosok ibu dengan tidak sabar.
"Ruby... tenang, ini aku". Jack berusaha menenangkan Ruby dan segera memanggil dokter. Dokter datang setelah beberapa saat memeriksa, ia memanggil suster. Suster itu menyuntik Ruby hingga perempuan itu perlahan kembali menutup matanya. Dokter mengajak Jack keluar dan bicara.
"Sebaiknya teman anda dirawat di sini. Dia dehidrasi. Selain itu, saya melihat ada trauma dan gejala depresi pada dirinya". Jack tertegun, Ruby belum sembuh. Masih sama kondisinya sejak awal ia bertemu dengan perempuan itu.
***
Ruby membuka matanya perlahan-lahan. Cahaya lampu membuat matanya silau. Ruangan putih bersih terlihat samar dimatanya. Ia melihat sekeliling dengan bingung, lebih bingung lagi saat melihat Jack tertidur di sebuah sofa. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi. Namun semakin dipaksakan, kepalanya justru semakin sakit.
Ruby bangkit terhuyung-huyung menuju Jack. Ia bersimpuh dan memperhatikan wajah Jack yang terlihat lelah. Masih tak ia mengerti mengapa mereka berdua bisa berada disana. Tangannya membelai rambut Jack, lalu mencium kening lelaki itu. Jack terbangun dan terkejut, setelahnya lelaki itu segera memeluk Ruby.
"Jangan membuatku khawatir lagi. Jika aku salah, katakanlah. Jangan seperti ini, jangan menyiksa dirimu sendiri". Nasehat Jack sungguh-sungguh.
"Kamu tidak salah. Aku tidak mengerti apa yang kamu katakan". Sahut Ruby tanpa melepaskan pelukan Jack. Jack mengurai pelukannya kemudian menatap Ruby lamat-lamat.
"Kamu tergeletak dilantai dengan penuh darah karena marah padaku kan? Kamu merasa sudah tidak suci hingga...".
"Ssstttttt... aku menyukainya, sayang. Sangat suka". Dan akhirnya Ruby membungkam mulut Jack dengan bibirnya agar lelaki itu tidak banyak bertanya.
Ruby boleh pulang keesokan harinya. Di mobil, saat Jack mengantar Ruby pulang, mereka berdua terdiam. Tidak ada pertanyaan dari Jack tentang tragedi yang terjadi di kamar Ruby. Ia hanya memperhatikan sikap Ruby yang terdiam sejak pagi hingga saat ini. Ruby tak mengeluarkan suara barang sedikit pun. Tiap kali Jack menatapnya, ia hanya tersenyum simpul dengan pandangan kosong lalu mengalihkan pandangan kearah jendela mobil.
Ketika sampai di rumah Ruby, Jack segera membersihkan kamarnya. Muntahan, cat, dan vodka yang telah kering menyisakan bau busuk. Pecahan kaca masih berserakan dilantai. Beberapa keping ujungnya terlihat kecoklatan, darah Ruby mengering disana. Selama ia membersihkan kamar, Ruby terdiam di ruang TV. Diam yang benar-benar hening hingga Jack dibuat was-was. Haruskah ia membawa perempuan itu berobat lagi? mengingat waktu itu proses pengobatan tidak berjalan dengan baik.
***