Seorang wanita dengan rambut twintail oranye tengah duduk di sebuah kursi. Ia sama sekali tak menghiraukan piring-piring kotor yang berserak di meja, kaleng susu yang tergeletak di lantai dengan isinya yang menyebar, bahkan tangisan keras balita yang terdengar dari ruangan lain pun tak membuatnya bergeming. Ia tetap saja fokus memperhatikan ponsel di tangannya, menonton video seseorang yang diikat dengan tali, hendak diseret mobil.
Ia tersenyum senang. Orang di video itu meronta saat tubuhnya mulai menggesek aspal.
Terdengar bunyi derit pintu yang dibuka, disusul dengan salam. Tak berapa lama, seorang lelaki berambut pendek agak klimis masuk ke ruang makan tempat si wanita berambut oranye duduk. Lelaki itu hanya sedikit menghela napas saat melihat tempat yang berantakan itu.
"Akhirnya kamu pulang kerja juga, Bagas," decak si wanita berambut oranye, sama sekali tak melihat tuannya. "Tolong diamkan anakmu itu. Daritadi aku sangat terganggu dengannya. Untung aku masih bisa menahan diri.
"Zita, mungkin dia menangis karena susu dan makanan ...."
"Haaah!?" Wanita yang dipanggil Zita itu mendelik kepada Bagas.
Bagas langsung menahan ucapannya, buru-buru pergi ke kamar. Dia sana, ia bertemu istrinya. Wanita bertubuh kurus itu tengah menggendong seorang balita yang rambutnya masih sedikit.
"Dari tadi pagi dia belum makan. Masakanku dihabiskan, susunya Erin dibuang-buang. Aku mau beli, tapi uangnya juga dirampas," bisik istri Bagas, terlihat nyaris menangis.
Bagas mengambil anaknya yang bernama Erin itu, berusaha menenangkannya dengan memajang wajah lucu, tetapi tangis si balita justru makin kencang.
"Kalau begitu, biar aku belikan makanan dulu, sekalian susunya," lirih Bagas.
Istri bagas menggeleng, Air matanya benar-benar akan tumpah. "Aku nggak mau ditinggal lagi. Aku takut, Mas. Aku ...."
Pintu kamar itu menjeblak terbuka. Zita masuk dengan wajah bengis. "Sudah kubilang, aku muak dengan tangisan makhluk kecil kalian!"
Tentu saja bentakan itu malah memicu tangisan si balita makin kencang. Zita pun mendelik dan mendatanginya. Bagas langsung berbalik untuk melindungi anaknya itu, sementara sang istri menghadang ZIta.
Tanpa ampun, Zita mendorong tubuh istri Bagas keras-keras. Istri Bagas pun melayang, menghantam meja rias sampai kacanya hancur berkeping-keping. Si balita langsung berhenti menangis ketika melihat ibunya dibegitukan.
"Dini!" Bagas akan menghampiri Dini, tetapi anaknya keburu direbut Zita.
Di gendongan Zita, anak itu gemetaran hebat. Meski kini Zita memajang senyuman lebar yang normal, ekspresi si anak tetap menunjukkan teror luar biasa.
Bagas memeriksa istrinya yang bernama Dini itu. Dini memegangi pinggangnya sambil meringis kesakitan dan mencucurkan air mata. Beberapa bagian tubuhnya dihiasi goresan dari pecahan cermin. Darah segar mulai mengucur dari goresan-goresan itu.
Masih tersenyum lebar, Zita berkata dengan nada hangat kepada si balita, "Tante tidak suka kalau kamu menangis, sayang."
Si balita tak merespon, meski air matanya masih mengalir.
"Aku mohon Zita. Izinkan anak dan istriku pindah dari sini." Bagas memohon sambil menahan tangisnya sendiri.
"Haaaah!?" Kebengisan di wajah Zita kembali. Erin cuma berjengit, tetapi tetap saja mematung. "Sudah kubilang, aku ini kan mencintai kehangatan keluarga kalian."
Setelah mengatakan hal itu, Zita tertawa-tawa begitu keras. Tawa itu membuat tubuh Bagas bagai dialiri listrik. Belum lama ini, dia menjalani kehidupan keluarga bahagia dengan istri dan anaknya, tetapi mengapa sekarang rumahnya jadi seperti neraka? Persetan dengan keinginan yang bakal terkabul kalau memenangkan pertarungan itu. Dia hanya butuh kedamaian.
Sekarang Zita memajang wajah bosan. Ia melemparkan begitu saja Erin dari pelukannya. Untungnya, Bagas berhasil menangkapnya. Bukannya menangis lagi, Erin tetap saja tak memberikan respon apa pun.
Zita mendongak, lalu memekik, "Aku bosaaaaaaan!!!"
"Bagaimana kalau melawan monster?" Tiba-tiba Piv muncul di hadapan wanita itu.
Zita mendengus keras. "Aku bosan melawan monster!"
"Tenang saja, ada bidadari yang lain, kok."
Ekspresi Zita berubah sumringah. Tawa kerasnya pun kembali lagi. "Ayo, Bagas. Kita bersenang-senang!"
Begitu Zita keluar, Bagas menyerahkan Erin ke pelukan istrinya, kemudian mengeluarkan beberapa lembar uang. "Ini, kamu kabur saja sama Erin. Jangan pikirkan aku. Aku nggak bakal mati, kok. Dia masih butuh aku."
"Tapi, dia kan pernah ngomong, bukan berarti dia nggak bisa nyiksa kamu, Yah," jawab sang istri, menangis sesenggukan. "Lagipula, dia pernah mengancam akan membunuh kami kalau kabur. Dia bakal nyari aku sama Erin sampai ketemu."
Bagas mengusap wajahnya. Dia merasa gagal menjadi suami dan ayah. Dia tak bisa melindungi dan memberi rasa aman kepada keluarganya sendiri.
"Bagaaaaassssss!!!" pekik Zita dari ruang depan, terdengar bak orang yang histeris.
"Ya sudah, uang ini buat kamu berobat sama beli makan dan susu. Tapi, nanti susunya disembunyikan saja, ya," kata Bagas cepat, kemudian bangkit. "Aku harus pergi."
Dini hanya bisa menangis saat suaminya keluar dari kamar.
***
Seorang bidadari berpakaian merah marun menusukkan tombaknya. Sang musuh, berwujud pria telanjang berkulit hijau berlendir, melompat mundur dengan rangkaian kakinya yang mirip kaki laba-laba. Namun, sang bidadari langsung mengejarnya. Sang monster pun tak bisa berbuat apa-apa saat mata tombak itu menembus dadanya.
"Apakah ini yang terakhir?" tanya sang bidadari dengan model rambut double bun itu kepada tuannya, seorang pria yang berperawakan sedang dan berambut jabrik.
"Kayaknya sih begitu," jawab sang tuan, mengedarkan pandangannya di kompleks perumahan tempatnya berada sekarang. "Ngomong-ngomong, dunia asal kamu itu mirip sama dataran Asia, ya? Kayak Korea, Jepang, atau China, gitu?"
"Aku tentu tidak tahu dataran yang kamu maksud itu seperti apa. Aku kan baru datang ke sini."
Sang tuan manggut-manggut. "Iya juga, ya. Habis, muka kamu mirip banget sama orang-orang sana."
Senyum samar terbentuk di mulut sang bidadari. "Di dunia kami itu, banyak yang penampilannya berbeda ...."
Mendengar suara derap kaki dari kejauhan, bidadari bertubuh langsing itu itu menghentikan ucapannya. Ada seorang bidadari lain tengah mendekatinya, berbusana kuning terang dengan rok mengembang. Wajah bidadari itu begitu ceria, bak anak kecil yang akan diberi permen. Bahkan jalannya pun terlihat sangat bersemangat, sampai melompat-lompat.
Sang bidadari berbusana merah mengerutkan kening. Bertanya-tanya apakah bidadari yang baru datang itu cuma ingin bermain-main?
Meski begitu, bidadari berbusana merah tetap memberikan senyum penghormatan. "Perkenalkan, namaku Xi. Senang bertemu denganmu."
"Hai Xi! Namaku Zita, mari bertarung sampai hati kita puas!" jawab Zita dengan nada kelewat ceria.
Alih-alih langsung menjawab, Xi malah mengamati mata Zita. "Warna matamu menarik sekali .... Ah maaf, aku tidak akan menghakimi, kok. Menurutku, perbedaan warna mata tak ada urusannya dengan pemilihan ratu ini."
"Ugh, sejujurnya aku samasekali tidak peduli dengan mataku ini," jawab Zita sambil menelengkan kepalanya dan memajang ekspresi bak orang bodoh. "Jadi, mau bertarung, tidak?"
"Sebelumnya, kita harus memeriksa keadaan terlebih dahulu, siapa tahu masih ada monster," jawab Xi, berbalik memunggungi Zita, mulai melangkah dari tempat itu.
Ekspresi Zita berubah tidak bersemangat. Ia pun memunculkan senjatanya, sebuah perisai bundar.
"Awas!" pekik tuan Xi saat Zita berlari maju.
Namun, Xi sudah siap, dia kembali memutar tubuhnya dan menangkis hantaman perisai Zita dengan gagang tombaknya.
"Orang-orang seperti kamu yang membuat kaum bermata amber dan hazel dihakimi, padahal banyak dari mereka yang berhati baik," hardik Xi dengan nada tajam.
"Ahahahaha!" Zita melompat mundur, langsung memasang kuda-kuda. "Sudah kubilang, aku tidak peduli dengan yang seperti itu. Aku cuma ingin bermain!"