Bersimpuh di kamar Rava, Lyra melirik ke jam dinding. Hari sudah hampir menjelang sore, tetapi tuannya itu masih saja berbaring di kasur dan memunggunginya. Sedari tadi, Rava bangkit hanya untuk pergi ke belakang saja.
"Sedari tadi, kamu tidak melakukan apa-apa, Rav. Tadinya aku tidak mau terlalu ikut campur dengan kegiatanmu, tapi kalau begini, aku juga jadi khawatir," desah Lyra akhirnya.
"Memangnya aku harus ngapain?"
Lyra sudah membuka mulut, tetapi memilih untuk menahan ucapannya. Dia tak yakin saran apa pun akan mengubah suasana hati Rava. Bisa-bisa malah mood tuannya itu makin turun. Hanya dalam waktu beberapa hari, pemuda itu telah mengalami dan melihat berbagai banyak hal. Terlalu banyak.
"Paling tidak, makan dulu, Rav. Ibu kamu pasti sangat khawatir."
"Kalau cuma sehari dua hari, manusia masih bisa hidup tanpa makan, kok," jawab Rava sembarangan.
Lyra sedikit menghela napas. Sebenarnya dia sudah jengkel dengan kelakuan tuannya itu, tetapi penyebab awal Rava sampai ada di titik ini adalah kedatangan dirinya. Coba kalau dirinya tidak muncul, Rava akan menjalankan minat menggambarnya dengan damai, tidak akan kehilangan mimpi dan melihat hal-hal yang membuat trauma.
Ada beberapa orang yang hanya punya sedikit alasan untuk terus menjalankan hidup. Rava salah satunya. Lyra sudah tahu walau dirinya belum lama mengenal tuannya itu.
"Lyra, sini sebentar," bisik ibu Lyra, melongok ke kamar Rava.
Lyra pun bangkit dan keluar dari kamar. Karena memakai kemeja dan rok panjang, luka-lukanya yang diperban tidak kelihatan oleh ibu Rava.
"Bantuin sebenar, ya. Biasanya ini tugas Rava, tapi mood-nya kelihatan sedang jelek sekali. Ibu nggak tega gangguin," ucap ibu Rava di ruang tamu, masih dengan suara lirih. Ia menunjuk dua keranjang plastik besar berisi roti tawar dan bahan-bahan lainnya.
"Baik." Lyra langsung mengangkat dua keranjang itu dengan mudahnya.
"Eeh? Ibu bawa satu, kamu bawa satu. Ini kan berat. Rava saja kesusahan."" Ibu Rava hendak mengambil salah satu keranjang, tetapi Lyra menahannya.
"Nggak terlalu kok, Bu." Lyra melenggang begitu saja. Dua keranjang besar itu dibawanya bak bungkusan kapuk.
Ibu Rava melongo sejenak, kemudian berteriak ke kamar anaknya, "Ibu berangkat dulu, Rav. Lyra yang bantuin."
"Iya, Buuuu ...," jawab Rava tak bersemangat.
Lyra dan ibu Rava keluar dari rumah, berjalan di gang sempit.
"Kamu jangan marah sama Rava, ya. Sebenarnya, udah lama dia nggak begitu lagi. Walaupun Rava kelihatan lebih sering duduk di depan komputer, ibu tahu dia nggak membuang waktu. Dia sedang berjuang. Terakhir, katanya dia sedang tahap negosiasi sama platform komik .... Atau apalah, ibu nggak paham," terang ibu Rava, masih terkagum-kagum dengan tenaga Lyra.
Lyra terdiam sejenak. "Rava sudah lama tidak begitu? Maksudnya bagaimana, Bu?"
"Dulu sih dia sering mojok di kamar dan nggak ngapa-ngapain, terutama kalau habis dimarahi bapaknya atau di sekolah .... Ah, ibu bisa dimarahin Rava kalau cerita lebih banyak." Ibu Rava terkekeh pelan. "Intinya, ibu cuma mau bilang, jangan terlalu keras sama Rava, ya. Dari dulu, hidupnya udah susah."
Meski masih penasaran dengan masa lalu Rava, Lyra memilih tutup mulut. Bukan haknya mengorek kehidupan pribadi seseorang.
Beberapa meter berjalan, mereka tiba di gerobak yang sengaja ditaruh di pinggir jalan. Lyra membantu memebrsihkan gerobak, mengeluarkan barang-barang dari keranjang, sampai menata dagangan. Dia melakukannya atas inisiatif sendiri, sama sekali tanpa disuruh.
Senyum hangat terbentuk di bibir ibu Rava. "Kamu memang rajin, ya. Waktu ibu nggak ada, kamu yang membersihkan rumah, kan? Kalau Rava yang melakukannya, nggak mungkin sebersih itu. Kamu tadi juga merapikan kamar Rava, kan? Padahal, itu tanggung-jawab Rava, loh. Kamu bakal jadi calon istri yang baik, deh."
Lyra tak mengerti mengapa wajahnya mulai memanas. Melihat pipi gadis itu merona, ibu Rava terkikik pelan.
"Kamu bakal jadi calon istri buat siapa pun yang meminang kamu," imbuh ibu Rava.
Lyra makin tak mengerti arah pembicaraan ibu Rava.
Setelah semuanya beres dan ibu Rava sudah mulai menerima pembeli, Lyra pamit. "Kalau begitu saya pulang dulu ya, Bu."
"Hmmm .... Gimana kalau kamu bantuin ibu aja? Daripada nganggur jagain Rava yang bengong melulu," usul ibu Rava. "Ibu jamin, ini nggak bakal membosankan, kok."
Sebenarnya Lyra merasa lebih nyaman dekat dengan tuannya. Kalau ada monster, mereka bisa langsung bergerak. Namun, Lyra tak enak kepada ibu Rava yang sudah memberinya tempat berteduh dan makan secara cuma-cuma.
"Baik, Bu," jawab Lyra akhirnya. Toh, tempat jualan ini tak begitu jauh dari rumah Rava. Hanya perlu beberapa lompatan saja.
Selanjutnya, ibu Rava mengajari Lyra membuat roti bakar. Dari mulai memotong roti, mengolesinya dengan isian, memarut keju, sampai memanggangnya. Hanya sebentar saja, Lyra sudah bisa melakukan instruksi ibu Rava. Lyra hanya akan bertanya mengenai takaran untuk olesan yang tak pernah ia gunakan sebelumnya.
"Mbak pegawai baru, ya?" tanya seorang pemuda yang memesan roti.
Melihat wajah pemuda itu sedikit merona dan sikapnya cengengesan, ibu Rava hanya menggeleng-ngeleng sambil tersenyum, terus berkutat dengan roti di panggangan.
"Nggak, cuma bantu-bantu," jawab Lyra datar. Sebelum pemuda itu melanjutkan pertanyaan, Lyra menyerahkan pesanannya. "Ini, dua puluh ribu."
"Ah." Si pemuda menyerahkan uang pas. Sebelum ditanyai lagi, Lyra melayani pembeli lain.
Pengunjung hari itu lumayan banyak. Lelaki yang mencoba mengobrol dengan Lyra pun tak sedikit. Bahkan ada yang berbisik kepada ibu Rava, bertanya apakah Lyra sudah punya pasangan. Ibu Rava selalu tertawa dan menyarankan agar mereka langsung bertanya saja kepada orangnya.
"Kalau kamu tidak tersenyum, pembeli bisa pada kabur, loh," ucap Ione yang mampir ke tempat itu bersama Stefan.
"Aku rasa nggak bakal pengaruh, sih. Orang seperti Lyra pasti akan banyak menarik pembeli," timpal Stefan, sedikit tertawa.
"Maksudnya, kalau ada penjual cantik, biasanya jadi viral dan laris, gitu?" tanya ibu Rava, tengah membungkus pesanan Stefan. "Yah, kalau itu yang terjadi, ibu tetap bakal seneng, sih. Tapi, ibu pengen orang yang datang ke sini itu emang senang sama roti bakar kampung ini."
Stefan membayar sejumlah uang kepada ibu Rava. "Yah, kan roti bakar ibu memang enak. Nanti juga bakal pada balik lagi karena rasanya."
Setelah itu, Stefan pamit dan pergi bersama Ione menggunakan mobil sport-nya.
"Syukurlah, hari ini dagangan laris manis," ujar ibu Rava saat hari sudah cukup malam. Ia memasang tanda tutup dan mulai beres-beres. Lyra pun mulai menyatukan sampah-sampah ke sebuah tas plastik. Melihat ekspresi Lyra yang tidak berubah sedari tadi, ibu Rava menghela napas sambil tersenyum. "Tapi, Ibu setuju sih sama mbak Ione tadi, kamu ini perlu tersenyum, Lyra. Bukan cuma waktu jualan saja, tapi di kehidupan sehari-hari."
Lyra tak menjawab dan meneruskan pekerjaannya, kali ini mengelapi gerobak. Ibu Rava pun memegang kedua tangan perempuan itu. Lyra pun berhenti dan menatap wajah ibu Rava dengan ekspresi yang masih sama saja seperti sebelum-sebelumnya.
"Percaya sama Ibu. Dengan tersenyum, selain membuat orang di sekitar kamu bahagia, diri kamu juga akan jadi bahagia," ucap ibu Rava lembut. "Sekarang, cobalah tersenyum."
Lyra tak mengerti arti ucapan ibu Rava. Hanya dengan sebuah ekspresi, seseorang bisa mempengaruhi suasana hati diri sendiri maupun orang lain?
Sraaaakkkk!!!
Begitu menoleh ke jalanan, Lyra melihat sebuah sepeda motor menggelasar. Pengemudinya sudah tergeletak di aspal dengan posisi seperti masih mengemudi. Ia pun menatap ibu Rava lagi, wanita itu mematung dengan ekspresi seperti mau berbicara.
Serta-merta, Lyra melepaskan tangannya dari ibu Rava, kemudian melangkah mundur sembari mengaktifkan baju tempur dan senjatanya. Pandangannya waspada, beredar ke sekitar.
Syut!
Lyra berguling menghindar, sebuah anak panah luput darinya dan menancap di aspal. Mata Lyra pun tertuju ke satu sosok di atas atap sebuah rumah. Sosok berwujud perempuan mungil dengan rambut berwarna cherry tua yang panjang tergerai. Sosok itu mengangkat busurnya. Dari tangannya, muncul cahaya berwarna merah muda. Warna yang sama dengan baju tempurnya yang mirip gaun pendek. Cahaya itu membentu anak panah, sebelum akhirnya menjadi solid.
"Namaku Kacia," ucapnya sambil membidik. "Maaf, aku harus membunuhmu."