Rava buru-buru turun dari mobil Stefan. Namun, menyadari dirinya ada di tempat asing dan tak tahu Lyra ada di mana, Rava mengurungkan niatnya untuk merangsek masuk.
"Yuk," ajak Stefan yang baru turun, bergegas melangkah sambil menggunakan ponselnya.
Karena tadi terus memikirkan Lyra, Rava baru sadar dengan kemegahan rumah Stefan. Rava tak pernah tahu, di kotanya ternyata ada yang memiliki rumah besar berarsitektur eropa seperti ini.
"Erm ...." Rava menoleh ke taman indah nan luas yang dipenuhi berbagai macam tumbuh-tumbuhan asing. "Orangtua Mas Stefan nggak akan curiga ada cewek luka-luka di bawa ke rumah?"
"Ini rumahku. Rumah ayahku lebih gede," terang Stefan, langsung memicu mulut Rava untuk membuka semakin lebar. "Aku telepon ibu kamu dulu, ya."
Saat Stefan sudah menempelkan ponselnya ke telinga, dia dan Rava sudah sampai ke pelataran marmer yang super mengilat. Saking mengilatnya, awalnya Rava mengira pelataran itu adalah kolam dengan dasar hitam.
"Iya, Bu Sinta. Rava sedang sama saya, kok. Yah, kami mau main game bareng. Sama mbak Lyra, sama mbak Ione juga. Maaf ngajaknya mendadak," ucap Stefan kepada ibu Rava lewat telepon genggam. Tangan pemuda itu menyerahkan kunci mobil ke seorang pria paruh baya berambut putih.
"Saya Herman, yang biasa nyupirin mas Stefan. Yah, sekarang kerjaan saya berkurang, sih. Mas Stefan lebih sering bawa mobil sendiri." Pria paruh baya itu tersenyum lebar sampai memperlihatkan gigi-giginya yang putih dan rapi. "Masnya ini teman mas Stefan? Jarang-jarang loh, mas Stefan bawa teman ke sini."
"Saya Rava, Pak," balas Rava pendek, menjabat uluran tangan pria itu.
"Saya masukkin mobil dulu, ya," pamit Herman.
Meski Herman hanya mengenakan kemeja biasa dan tidak memakai baju butler seperti di film-film, Rava mendapat kesan kalau pria itu bukan sekedar supir, tetapi pelayan pribadi Stefan. Rava sendiri tak tahu mengapa dia bisa berpikiran begitu. Barangkali aura Herman yang berbeda dari pria biasa.
"Iya, mbak Lyra sekarang ketiduran. Dia tadi mau minta maaf ke ibu karena pergi nggak bilang, tapi kelupaan," lanjut Stefan, tertawa ramah. "Mungkin, mbak Lyra cuma lupa pamit aja sih, Bu."
Rava menggaruk rambutnya. Karena barangkali Rava jarang sekali keluar rumah, ibunya tadi terdengar cemas waktu diberitahu mendadak dirinya akan menginap. Beliau keberatan gara-gara Rava tidak memberitahunya terlebih dahulu sewaktu masih di rumah. Stefan sampai menawarkan diri untuk meyakinkan ibu Rava.
Agak memalukan memang, Rava merasa diperlakukan seperti anak kecil. Namun, dia merasa tak protes. Dirinya memang terlihat lemah dan tidak bisa mandiri, jadi kalau ada kejadian mendadak seperti ini, sang ibunda pasti langsung curiga dirinya diapa-apakan.
Setelah melanjutkan basa-basinya sejenak, Stefan memotret Rava. "Buat bukti aja."
Begitu masuk rumah Stefan, Rava sedikit gemetaran. Rava tak pernah melihat secara langsung interior seperti itu, meski minimalis, tetapi semua ditata rapi, dan jelas tidak ada yang murah. Di mata awam Rava saja, mulai dari tirai sampai dengan perabotannya, semua itu terbuat dari bahan terbaik.
Beberapa meter melangkah, keduanya sampai di sebuah pintu. Selama perjalanan ke sana, Rava terus celingak-celinguk, merasa tak pantas berada di tempat itu. Pakaiannya terlalu lusuh dan dirinya belum mandi.
"Yon?" Stefan mengetuk pintu itu.
"Stefan? Kamu sama Rava? Rava aja yang masuk. Kamu di luar. Lyra sudah nggak pake baju," cerocos Ione.
Sementara Stefan menghela napas kecewa, Rava menarik napas lelah. Kalau tak ada peraturan dirinya harus dekat dengan bidadarinya yang terluka, dia tentu akan menolak. Jantungnya lama-lama bisa jebol.
Bukannya langsung masuk, Rava justru mengintip terlebih dahulu. Lyra sedang tengkurap di kasur dengan keadaan nyaris telanjang, hanya dilindungi kain kecil tipis di bagian pantat, serta perban-perban yang membalut beberapa bagian tubuhnya.
Ione yang duduk di kursi kamar itu pun mengernyitkan kening. "Kenapa, Rav?
Rava akhirnya masuk dan menutup pintu. Kepalanya menunduk dalam-dalam dan wajahnya dihiasi rona merah. Ione terkikik melihat kelakuan Rava, yang bergerak seperti robot karatan. Ketika pemuda itu duduk di kursi dengan membelakangi bidadarinya, gelak tawa keras keluar dari mulut Ione.
"Kamu polos sekali, ya?" ledek Ione, kembali berkutat pada ponselnya. "Ah, Lyra belum sadarkan diri. Tapi tenang saja, kalau kamu ada di sini, sebentar saja dia pasti akan bangun, kok."
Rava melirik kepada Ione. Memergoki bidadari itu tengah melihat foto-foto pria berotot yang hanya memakai celana dalam di media sosial, Rava langsung mengalihkan pandangan.
Kenapa bidadari tidak ada yang beres, sih?
"Hehehehe ...."
Rava langsung merinding saat mendengar tawa mesum Ione itu.
"Perut kamu six pack nggak, Rav?" tanya Ione tiba-tiba.
Meski tak mengerti demi apa dirinya ditanya seperti itu, Rava tetap menjawab, "Ng-nggak."
Rava merasa sesuatu yang buruk akan terjadi kalau dirinya tidak menimpali.
"Berarti kamu aman. Stefan juga tidak punya. Aku jadi tidak pernah melakukan apa pun kepadanya," desah Ione.
"Maksudnya?" Rava makin tak mengerti arah pembicaraan Ione.
Bukannya menjawab, Ione malah menjilat bibirnya sendiri. Matanya setengah menutup, memancarkan sinar gairah. Rava langsung merasakan tengkuknya bak disiram air es.
Melihat ekspresi ngeri Rava yang berlebihan, Ione tertawa kembali, kali ini lebih keras dari sebelumnya. "Hahahaha!!! Tenang saja, aku cuma becanda, kok. Aku masih punya moral. Aku tidak akan melakukan apa pun walaupun pertumu six pack! Sama saja seperti kamu yang tidak melakukan apa pun padahal bidadari bahenol ini selalu ada di dekatmu."
Dari lubuk hati terdalam, Rava tidak memercayai omongan Ione.
"Rava ...." Suara desahan Lyra terdengar pelan.
Rava langsung menoleh kepada bidadarinya itu. Seketika saja, darah makin banyak terpompa ke muka Rava, membuat pipinya semakin merah. Lyra sudah setengah bangkit. Kedua buah dadanya yang bulat dan kencang itu bisa terlihat jelas. Tak tertutup perban sama sekali.
Belum sadar sepenuhnya, Lyra menengok ke bawah, membisu sejenak, kemudian melotot dan langsung tengkurap kembali. Wajahnya pun dihiasi rona merah seperti Rava.
Sementara itu, Ione tertawa-tawa. Rava menutupi wajahnya dan kembali membelakangi Lyra. Keadaan itu berlanjut sampai akhirnya Ione berhenti tertawa. Bidadari Stefan itu menyeka sedikit cairan bening di ujung matanya.
"Maaf, Lyra." Rava menghela napas panjang. "Aku ...."
"Kalau ngobrol jangan begini. Jadi aneh, tahu." Tiba-tiba, Ione memeluk perut Rava dari belakang, lantas mengangkatnya tinggi.
Merasakan sensasi kenyal dan kencangnya payudara Ione di punggungnya, Rava sampai tak melawan, terlalu bingung dengan situasinya sekarang.
Rava didudukkan kembali di kursi, kali ini menghadap Lyra. Alih-alih, menatap tuannya, Lyra malah menghadap ke arah yang berlawanan.
Walau wajahnya masih panas, Rava berusaha tidak menghiraukan kejadian barusan. Ini bukan saatnya terganggung dengan hal seperti itu. Ia pun menunduk, berkata lirih," Maaf, Lyra. Gara-gara aku nggak ada, kamu jadi begini."
"Aku tidak menyalahkan kamu," timpal Lyra pelan
"Tapi ...."
"Tolong, jangan dibahas lagi," potong bidadari Rava itu.
Rava tak melanjutkan ucapannya. Meski Lyra berkata seperti itu, Rava tetap merasa dirinya egois. Karena tenggelam dalam emosi negatif, ia jadi tak memikirkan dampak yang akan terjadi. Padahal, dipikir dengan logika, jelas-jelas dia harus selalu bersiap di sisi Lyra untuk mengantisipasi hal seperti ini terjadi.
Ione menghubungi Stefan lewat ponselnya. Rava langsung bisa mengerti kalau Ione akan membahas sesuatu dan ingin Stefan yang ada di luar juga ikut dengar. Namun, tetap saja Rava merasa aneh. Bagaimanapun, Stefan begitu dekat dengan mereka.
Setelah mengecek kalau Stefan bisa mendengar, Ione menaruh ponselnya itu ke meja.
"Lyra, aku tahu kamu masih terluka, tetapi menurutku ada hal yang harus segera dibicarakan. Ini tentang bidadari berbaju merah muda yang kamu lawan tadi," tutur Ione, kali ini dengan nada serius. "Kamu melihat luka-luka sabetan di punggung dan bengkak di mukanya, kan?"
"Iya," jawab Lyra pendek.
"Dia baru melawan monster atau bidadari yang serangannya menyabet dan membuat muka bengkak?" tanya Stefan.
Ione menggeleng pelan. "Tidak. Aku mendengar kalau tuannya mengancam akan menghukumnya. Tuannya akan menyabeti dan menampar dirinya kalau tidak patuh."
Serta-merta Rava membelalakkan matanya. Isi perutnya seperti bergejolak hebat. Rangkaian memori di masa lalu mulai terjalin di otaknya.
"Manusia bisa menyiksa bidadari?" Stefan tercengang hebat. "Bukannya fisik bidadari itu jauh di atas manusia."
"Kalau mengaktifkan baju tempur memang iya," timpal Ione dengan suara tertahan. "Setelah energi pelindung habis, kami akan bisa dilukai dengan benda tajam. Untuk serangan tangan kosong atau benda tumpul, kami masih bisa bertahan walau jelas semua itu tetap memberikan efek. Lalu, yang terakhir, ketika tidak mengenakan baju tempur, pertahanan kami berkurang jauh. Fisik kami memang masih di atas manusia, tetapi ...."
"Kami memang tak akan langsung pingsan kalau dihantam sesuatu yang keras. Tulang kami juga tidak gampang patah seperti tulang manusia. Sendi dan otot kami pun tak mudah rusak seperti sendi dan otot manusia. Namun, kalau dipukul, disabet, atau ditampar keras oleh mereka, kami tetap akan terluka," sela Lyra, melanjutkan penjelasan Ione. "Dan tentu saja luka itu terasa sakit."
"Yang aku heran. Kok, bisa-bisanya dia tidak melawan waktu diperlakukan buruk seperti itu?" tukas Ione. "Dia jelas-jelas lebih kuat dari tuannya. Yang penting kan tidak sampai membunuhnya."
"Bagaimana bentuk sabetannya?" tanya Rava tiba-tiba. Suaranya sedikit menggeram. Kepalanya menunduk dalam-dalam.
"Maksud kamu?" Kening Ione mengernyit. "Bentuknya ya memanjang dan warnanya merah. Seperti berasal dari cambuk."
"Apa ada kemungkinan kalau dia disabeti dengan sabuk?"
Tak ada yang menjawab. Yang lain tak mengerti arah pembicaraan Rava.
Dengan napas mulai memburu, Rava bangkit dari duduknya. "Kamar mandi di mana?"
"Ah, keluar terus belok kanan, mentok belok kiri," terang Ione, makin keheranan dengan gerak-gerik Rava,
Rava pun berjalan cepat ke luar kamar. Lyra yang mendengar langkah Rava pun bangkit untuk mengecek. Rava sudah keluar kamar. Hanya menoleh kepada Stefan sekilas, ia berjalan ke kamar mandi. Setibanya di sana, ia mengunci pintunya rapat-rapat, langsung duduk di toilet.
"Ekkkhhh ...." Rava menutup mulutnya, mencegah dirinya muntah. Muak tak tertahankan sudah mulai hinggap di kerongkongannya.
Kenangan-kenangan mengerikan itu semakin kuat menghantui pikirannya, mengirimkan sensasi dingin tak menyenangkan ke seluruh tubuhnya.
"Apakah kamu ingin menolongnya." Tahu-tahu satu sosok Piv sudah berdiri di hadapan Rava. "Kamu itu tuan yang terkuat. Entah karena sebab apa energi kehidupan kamu itu sangat melimpah. Kamu bisa menjadi tuan untuk beberapa bidadari."
Rava menurunkan tangannya dari mulut. Mulutnya menganga. Beberapa saat membisu, Rava menelan ludah.
***
Di sebuah ruangan yang begitu minim cahaya, Kacia duduk sendiri, merapatkan tangan di dada, terus meneteskan air mata. Namun, isakannya tak terdengar samasekali, seolah sudah ditelan langit malam.
Ia tak mau tuannya itu semakin murka.
Wanita itu menggigil. Dinding gudang itu terbuat dari seng karatan yang sudah banyak berlubang. Angin dingin terus menerpa setiap senti tubuh mungil Kacia yang tak terlindungi seutas benang pun. Tadi, dia telah dilucuti oleh tuannya sendiri. Dia sudah diwanti-wanti untuk tidak memakai baju tempurnya, atau konsekuensi bakal lebih berat.
Kali ini, luka-luka sabetan tak hanya memenuhi punggungnya. Tangan, paha, kaki, perut dan dadanya sudah dihiasi luka-luka memanjang. Angin dingin yang datang dari luar menambah ngilu di luka-luka itu.
Bengkak di mukanya, sebagian telah digantikan oleh lebam.
Rasa sakitnya juga tidak hanya berasal dari sabetan atau apa pun yang dilakukan sang tuan ke mukanya. Tadi, tuannya itu lebih terlihat seperti setan daripada manusia.