"Cepat lakukan perjanjian denganku!" desak Kacia, meringis memegangi pinggangnya yang berdarah.
Rava yang masih syok karena kejadian barusan masih tak bisa berkata-kata.
"Kamu tidak perlu bertarung, Kacia. Biar kami yang menghadapinya," ucap Ione, kemudian menghadap Lyra. "Kamu mengenalnya, Lyra? Dia temanmu?"
Lyra sedikit melirik kepada Ione, berkata datar, "Bukan siapa-siapa."
"Ugh, aku sedih sekali kamu tidak menganggapku, Lyra. Apa kamu lupa, kita menghabiskan masa kecil bersama-sama, kan? Dari mulai bermain sampai mandi kita selalu bersama." Lois memajang senyum samar, lantas menunjuk Stefan dengan pedangnya. "Dan aku senang bertemu denganmu, adik kecil."
Stefan menelan ludah. Matanya masih menatap Marcel, kakak kandungnya sendiri. "Kenapa Kakak mengikuti pertarungan ini?"
"Pertanyaan bodoh." Marcel tersenyum meremehkan. "Sudah jelas, kan? Seperti kamu, mereka memasukanku ke pertempuran ini tanpa meminta persetujuanku terlebih dahulu."
"Kakak nggak berniat membunuh bidadari lain, kan?" tanya Stefan penuh harap.
Marcel langsung tertawa sinis. "Aku nggak nyangka kamu bakal senaif ini. Kamu kebanyakan mengonsumsi hal-hal berbau superhero, Stefan! Sebagai orang dewasa, seharusnya kamu tahu kalau sumpah para superhero untuk nggak membunuh itu mustahil diterapin di dunia nyata! Para bidadari punya keinginan, tuannya juga punya keinginan! Mungkin hanya kamu yang nggak punya keinginan! Sedari dulu, kamu hanya menjalani kehidupan gitu-gitu aja, kan? Mengalir terus, nggak ada rencana, nggak ada tujuan pasti, selalu menuruti apa kata ayah ...."
"Aku ingin pertempuran ini berakhir!" potong Stefan sengit. "Aku nggak mau ada pertumpahan darah lagi!"
"Maaf kalau aku mengganggu obrolan antar anggota keluarga ini." Ione menjejeri Stefan, melirik sekilas kepada Kacia yang kini terduduk. Aliran darah dari pinggang bidadari berubuh mungil itu terlihat makin deras. "Kami tidak punya banyak waktu. Teman kami ini perlu pertolongan segera. Aku cuma ingin bilang, bergabunglah dengan kami. Misi kami adalah membujuk semua bidadari untuk tidak bertarung lagi. Kalau para bidadari berhenti bertarung, kita punya kesempatan mendesak pihak atas ...."
"Tidak," potong Lois cepat, masih tersenyum tipis. "Aku mengerti tujuan rencanamu, tetapi pemilihan ratu ini sudah berkali-kali dilaksanakan selama ribuan tahun dan tidak ada yang berhasil membujuk pihak atas untuk menghentikannya. Lalu, seperti kata tuanku tadi, aku ini juga punya keinginan untuk dikabulkan."
"Keinginan kamu tidak pernah ada yang penting, Lois," serang Lyra tajam, masih saja dengan ekspresinya yang biasa.
Lois melebarkan senyumnya, menatap Lyra dengan saksama. "Aku tidak habis pikir, Lyra. Kenapa kamu bergabung dengan mereka yang tidak mau bertempur? Kamu punya keinginan juga, kan?"
"Kita sudah terlalu banyak bicara," desis Lyra, menghunuskan pedang bermata gandanya kepada Lois.
Lois pun sudah mengangkat rapier-nya, hanya untuk menurunkannya lagi dan menggeleng pelan. "Walaupun kalian tidak berniat membunuhku, tetapi dua lawan satu kurasa tidak adil. Bagaimana kalau kita sudahi dulu saja."
"Hei! Aku baru mau bergabung, kenapa kalian malah mau sudahan!?"
Semua yang ada di situ menoleh ke salah satu sisi lapangan. Satu sosok bidadari lain data dari sana dengan senyuman luar biasa lebar, serta kaki yang melompat-lompat ceria, membuat roknya yang berwarna kuning berkibar naik-turun.
Sebuah perisai bundar terpasang di sebelah tangannya.
Serta-merta, Stefan membisikkan sesuatu kepada Rava dan Kacia. Rava sedikit membelalak, namun tetap mengikuti instruksi Stefan: ia melepaskan kausnya dan mulai menyobeknya.
Sambil membebat perut Kacia, Rava berbicara kepada Piv terdekat, "Aku mau mengikat kontrak dengannya!"
Piv itu memejamkan mata dan menyentuh lengan Rava. Di bawah satu tanda cokelat yang ada di sana, muncul tiga baris tanda merah jambu. Ketiga tanda itu memancarkan cahaya yang juga berwarna merah jambu. Cahaya itu pun mulai berkelap-kelip pelan.
"Masih butuh beberapa menit sampai pengikatan kontranya selesai. Kalau cahayanya sudah berhenti berkedip, berarti kamu sudah menjadi tuannya secara resmi," tukas Piv.
Setelah sekilas berbisik kepada Lyra dan Ione, Stefan berseru kepada kakaknya, "Walaupun kita berbeda pandangan, tetapi kalian pasti setuju orang jahat harus dikalahkan! Bidadari yang baru datang ini membunuh untuk bersenang-senang! Dia sangat kuat! Bantulah kami melawannya!"
"Khusus untuk dia, aku tidak akan menghalangimu membunuhnya, Lois. Bahkan kalau ada kesempatan, aku juga akan membunuhnya," sambung Ione, sudah memasang kuda-kuda.
Senyuman Zita lenyap, tergantikan oleh seringai bengis. "Mau sampai kapan kalian mengobrol, hah!?"
Melihat sedikit perubahan ekspresi di wajah Lyra, Lois mengangkat pedangnya lagi. "Baiklah, orang seperti dia pasti akan merepotkan nantinya. Lebih baik kita membunuhnya bersama-sama."
"Kamu sudah tidak bisa membekukannya, ya?" lirih Lyra kepada Ione.
Ione menggeleng pelan. "Kalau alunan musiknya sudah lebih dari setengah, kekuatan pembekuku tidak bisa dipakai lagi."
"Ahahahaha!!!" Zita berlari ke depan. "Ayo, bermain!"
Lyra menerjang ke arah Zita, sementara ione meniup serulingnya. Seiring dengan lantunan merdu yang terdengar, Rava dan Kacia mulai dikelilingi semacam gelembung cahaya besar yang berwarna ungu tembus pandang.
"Ayolah!" Rava terus memperhatikan tiga tanda merah jambu di lengannya yang masih berkelap-kelip.
Terdengar denting keras. Pedang Lyra membentur perisai Zita. Ione sudah akan menyusul Lyra, tetapi dia merasakan sesuatu mendatanginya dari belakang. Dia berbalik dan menghalau serangan tusukan Lois.
"Kurang ajar!" Ione menendang perut Lois dan melompat mundur.
"Maaf, aku hanya melihat kesempatan." Lois lagi-lagi tersenyum, kembali melanjutkan serangannya.
Sementara dua pertarungan sengit terjadi, Rava masih menunggu kontraknya selesai. "Hei, Piv. Mau sampai berapa lama! Ini ...."
Rava menghentikan ucapannya saat kedua tangan Kacia menggenggam tangannya. Merasakan kehangatan dari tangan itu, Rava merasa interval degup jantungnya semakin naik. Namun, di saat yang sama, hatinya merasakan kesejukan.
"Tenang saja, tuan Rava. Tarik napas dalam-dalam, lalu hembuskan perlahan." Suara Kacia terdengar begitu lembut. "Percayalah dengan teman-teman Anda."
Rava melakukan apa yang Kacia perintahkan. Meski belum tenang sepenuhnya, Rava jadi bisa lebih fokus. Namun, Rava yakin itu terjadi bukan karena teknik pernapasan yang diajarkan Kacia. Yang membuat Rava lebih tenang adalah suara merdu dan senyuman Kacia.
"Jangan panggil aku tuan," pinta Rava pelan, tak sanggup menatap mata bidadari barunya itu. "Rava saja."
"Baik." Kacia juga mengalihkan pandangan dari tuan barunya.
Irama senjata yang saling beradu terus saja terdengar. Pertarungan antara Ione dan Lois cukup seimbang, dengan masing-masing berhasil menyarangkan beberapa serangan ke tubuh satu sama lain. Sementara itu, Zita terus saja mendesak Lyra. Entah sudah berapa kali tubuh Lyra dihantam perisai Zita.
Lyra pun memilih mundur. Rava menelan ludah. Posisi Zita sudah begitu dekat dengan gelembung tempat Rava dan Kacia bernaung.
"Apa ini, hah!?" Zita menyeringai ke gelembung itu dan menghantamnya dengan perisai, membuat Kacia dan Rava berjengit kaget.
Tidak terjadi apa pun. Gelembung itu berfungsi sebagaimana mestinya: sebagai pelindung untuk siapa pun yang ada di dalamnya.
Mendengus keras, Zita menempelkan mukanya ke gelembung itu dan mendelik kepada Kacia. "Halo, gadis mungil. Tunggu giliranmu, ya! Ahahaha!!!"
Lyra menyerang punggung Zita, tetapi Zita berhasil mengelak. Pertarungannya keduanya pun kembali berlanjut.
Kacia hanya bisa menelan ludah, sementara Rava mulai gemetaran. Menyadari hal itu, Kacia kembali menggenggam tangan Rava erat-erat.
"Tidak akan terjadi apa-apa, Rava! Percayalah padaku!"