Tak ada Rava di sisi Lyra. Energi pelindung di tubuh bidadari itu akan lebih cepat terkikis. Kecepatan dan tenaganya juga tak akan maksimal. Dan yang cukup fatal pula, ia tak bisa mengaktifkan kekuatannya. Tak ada pilihan lain, Lyra memutuskan untuk melompat kabur.
Kacia melesatkan sebuah anak panah, yang langsung berubah menjadi rangkaian pita warna-warni di udara, kemudian menjerat tubuh Lyra. Lyra pun tak bisa melakukan apa pun. Ia jatuh, berguling-guling di atap sebuah rumah, sampai akhirnya mendarat di halamannya.
Lyra berontak, tetapi jalinan pita itu justru semakin kencang menjerat tubuhnya. Paru-parunya sampai sesak kesulitan bernapas.
Sebuah anak panah lain melesat agak jauh di atas tubuh Lyra. Kali ini anak panah itu meledak, membuat hujan pita. Namun, hujan pita itu bukanlah seperti dari sebuah balon yang diledakkan di pesta ulang tahun. Pita-pita yang jatuh menukik tajam dan kencang. Lyra hanya bisa meringis kesakitan saat pita-pita itu merajami tubuhnya.
"Arggghhh!" Sampai akhirnya, energi pelindung di tubuhnya tuntas. Beberapa pita berhasil menggores tubuhnya dan ada satu yang menembus pahanya.
Hujan pita telah berhenti. Jeratan di tubuh Lyra hilang menguap. Ia pun bangkit dengan susah payah, seraya memegangi pahanya yang mengucurkan darah.
Syut!
Lyra menghindari satu anak panah yang datang. Jarak Kacia tinggal beberapa meter darinya. Lyra pun mengaktifkan senjatanya, menangkisi anak-anak panah yang datang kepadanya. Bukannya menjaga jarak, Kacia malah terus melangkah maju sambil terus memanah.
Begitu jaraknya dengan Lyra sudah begitu dekat, Kacia menyabetkan busurnya. Lyra berhasil menangkis dan langsung menyadari bengkak merah di kedua pipi Kacia. Tak hanya itu, mata sang bidadari mungil tersebut juga begitu sembab.
Kemudian, saat Kacia berputar untuk melancarkan serangan lanjutan, Lyra menemukan banyak sekali luka-luka sabetan berwarna merah tua di punggung lawannya itu. Saking banyaknya, hanya tinggal sedikit bagian punggung Kacia yang tidak dihiasi luka.
Sedetik perhatiannya tefokus kepada hal itu, Lyra telat menyadari kalau tangan Kacia yang tidak memegang busur sudah menggenggam anak panah. Kacia pun melancarkan kombinasi tusukkan dari paha sampai ke punggung Lyra. Lantas, Kacia menghantami kepala Lyra dengan busurnya. Lyra pun sampai jatuh sempoyongan karena kombinasi pukulan itu. Pandangannya sedikit mengabur.
Alih-alih melanjutkan serangan, Kacia justru melompat mundur cukup tinggi, lalu kembali melesatkan panahnya. Lyra susah payah menangkis dengan pedang bermata gandanya.
Duar!
Bukannya mental dari pedang, anak panah itu justru meledak keras, sampai mendorong tubuh Lyra ke udara. Tubuh bidadari itu kemudian mendarat di tanah, berguling-guling dengan luka semakin banyak.
Merasakan nyeri dan panas tak terkira di sekujur tubuhnya, Lyra y kesulitan untuk bangkit, padahal Kacia sedang mendatanginya dengan busur tersampir. Kedua tangan bidadari berbusana merah jambu itu itu sudah memegang anak panah, masing-masing satu.
"Argggghhhh!!! Lyra hanya bisa berteriak begitu anak-anak panah itu ditancapkan ke kedua tangannya sampai menembus tanah.
Kacia menodong Lyra dengan busur panahnya. "Maaf, tanpa adanya tuan, kemampuan kamu jadi jauh di bawahku. Tidak adil memang, tapi aku harus memanfaatkan kesempatan yang ada."
Melihat mata anak panah itu begitu dekat dengan mukanya, Lyra memejamkan mata. Ekspresinya masih sama seperti biasanya, tetapi perasaannya campur aduk. Bayangan tentang rumah-rumah sederhana berbentuk bulat memenuhi pikirannya. Paman, bibinya, sang adik, keluarga besarnya, tetangga-tetangganya, seluruh kaumnya. Mereka menunggunya, menaruh harapan padanya, kepada seorang gadis yang jarang bicara dan selalu dianggap tidak ramah, yang sebelumnya tidak pernah melakukan hal berarti.
"Maaf," bisiknya, sangat lirih. Matanya mulai terasa basah.
Menit-menit berlalu, panah Kacia belum juga menembus tengkorak Lyra. Sekarang, telinga Lyra justru menangkap isakan tertahan.
Begitu membuka matanya, Lyra melihat Kacia sudah bercucuran air mata. Tangan Kacia yang tengah membidik, kini bergetar tak terkendali.
Seorang pria tambun berjambang keluar dari persembunyiannya di balik tumpukan batu bata. Wajahnya sudah begitu merah karena amarah. "Kacia! Kamu ngapain!?"
Kacia mundur, menurunkan busur panahnya. Sambil menggeleng-gelengkan kepala, bidadari itu terus menangis. "Saya tidak bisa, Tuan Fino. Saya tidak bisa membunuhnya. Saya tidak sanggup."
Ione datang, langsung mendarat di antara Kacia dan Lyra. Stefan turun dari punggung bidadarinya itu, segera memeriksa Lyra.
"Astaga! Kamu nggak apa-apa?" tanya Stefan, terkejut dengan luka gores, tusuk, dan bakar di sekujur tubuh Lyra. Menyadari kedua tangan Lyra terpasung oleh panah, Stefan meringis. "Pertanyaan bodoh. Sori."
"Bisa kamu bantu lepaskan panah ini?" balas Lyra, dengan nada biasa, bak tidak mengalami cedera.
Stefan langsung bergidik. "Kamu yakin?"
"Kalau cuma begini, aku tidak akan mati, kok."
Dengan posisi siap meniup seruling, Ione mengamati Kacia, yang terus saja menunduk dalam tangis, tak merespon hujan bentakan dari Fino.
"Lawan mereka sekarang!!!" Fino terdengar histeris bak anak kecil yang rewel. Ia terus menunjuk-nunjuk Ione. "Dari kemarin-kemarin, kita cuma ngelawan monster melulu. Sekarang, kita akhirnya ketemu bidadari lain!!! Kalau kamu nggak mau ngelawan mereka, mana bisa kita menang!?"
"Hei, lelaki yang baik tidak akan memarahi wanita seperti itu!" Ione menurunkan serulingnya. "Apa kamu tidak mendengarnya, hah? dia benar-benar sudah tidak mau bertarung!"
"Diam kamu!" hardik Fino kepada Ione. "ini bukan urusan kamu!"
"Maaf sekali, Tuan," rintih Kacia, akhirnya berbalik dan membopong paksa tubuh gendut tuannya. "Saya benar-benar tidak bisa melakukannya."
Mata Ione sedikit membelalak ketika mendapati luka-luka sabetan di punggung Kacia.
Fino pun berontak keras. "Lepasin! Kamu harus ngelawan mereka! Aku udah muak sama kehidupanku! Aku harus menang! Lepasin! Kamu mau aku hukum lagi, hah!? Mau kutampari lagi!? Mau kusabeti lagi!?"
Menahan tuannya agar tak terjatuh, Kacia melompat pergi dari tempat itu.
"Tunggu!" Ione berbalik, hendak mengajak Stefan mengejar Kacia. Namun, ia langsung mengurungkan niatnya.
Mata Lyra sudah terpejam. Bidadari itu tak sadarkan diri.
"A-apa ini gara-gara aku, Yon?" Stefan gemetaran memegangi anak panah berlumuran darah, yang kemudian berubah menjadi cahaya dan lenyap.
"Aku tadi dengar, kok. Dia sendiri yang meminta kamu mencabut panahnya. Ini bukan salah kamu. Yah, dengan kondisi terluka parah seperti ini, mungkin tubuhnya syok waktu kamu mencabut panah itu." Ione berjongkok, mengamati kondisi Lyra dengan saksama. "Duh, luka yang kemarin juga belum sembuh benar, sekarang dia malah jadi begini."
"Kita bawa ke rumah sakit?"
"Jangan." Ione pun mengangkat tubuh Lyra. "Para bidadari dilarang keras mendatangi dokter bumi. Bisa terjadi keributan kalau mereka memeriksa tubuh kami. Kalau keributannya kecil, pihak atas masih bisa memanipulasi orang-orang yang tahu rahasia tubuh kami. Yang susah itu kalau keributannya sudah jadi besar."
"Jadi, kita harus ngapain, Yon?"
"Aku bawa ke rumah kamu saja. Luka di tubuh dia ini terlalu parah, jadi tidak bisa disembunyikan. Bisa heboh kalau ibu Rava lihat," terang Ione, cepat dan lugas. "Yang terpenting adalah keberadaan tuan di sisinya. Kamu yang jemput Rava, ya."
Stefan mengangguk mantap, langsung berlari menuju mobilnya, sementara Ione mulai melompat, bertolak dari tempat itu.