"Maaf, Stefan. Sepertinya aku akan mengingkari sumpahku kepadamu," desis Ione, masih waspada menatap si bidadari berbaju kuning. "Aku harus membunuhnya."
Stefan tercengang. "Sumpah seperti itu nggak bisa sembarangan ...."
"Apa kamu tidak melihat ekspresinya!" bentak Ione, lebih terdengar seperti orang panik daripada marah. "Dia sudah membunuh dua orang seperti itu, tapi sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah! Lihat, dia masih bisa tersenyum seperti itu!"
"Kamu yang bilang sendiri, semua orang punya kesempatan ...."
"Tidak bagi orang seperti dirinya! Baginya, nyawa itu tidak berarti! Aku beberapa kali bertemu orang seperti dia! Pikiran mereka sangat berbeda dengan orang normal!" potong Ione lagi. Nada bicaranya makin meninggi.
"Tapi ...."
"Katakanlah dia bisa bertobat." Sekarang Lyra yang menyela omongan Stefan. "Sebelum kita bisa membuatnya insyaf, berapa banyak nyawa yang akan hilang sebelumnya?"
Stefan tercekat. Rava juga tidak bisa membantah. Kalau sudah dihadapkan kenyataan seperti pembunuhan tadi, idealisme tampak tak ada artinya.
"Arrrgggggghhhh!!!" Hanya dalam sekejap, ekspresi ceria Zita sirna. "Sampai kapan kalian mau mengobrol, hah!?"
Stefan dan Rava sama-sama bergidik ngeri saat melihat ekspresi Zita yang mirip setan. Kalau keberadaannya tidak berarti bagi Lyra, Rava tentu akan memilih kabur saja, daripada kepalanya hilang seperti tuan dari bidadari berbusana marun itu.
"Aku tak percaya bidadari sepertinya ditunjuk untuk mengikuti pemilihan ini," ucap Ione dengan suara tertahan.
Setelah saling melirik satu sama lain, Lyra dan Ione menerjang maju. Tertawa keras, Zita melentingkan tubuhnya ke belakang, sebelum akhirnya mendarat dan mengambil perisainya yang masih tergeletak. Ia pun langsung menangkis dan menghindari kombinasi rangkaian serangan dari Ione dan Lyra. Selain bunyi kelebatan gerakan bidadari dan denting senjata beradu, suara tawa keras Zita juga terus menggema.
Rava memang hampir tak bisa mengikuti gerakan para bidadari, tetapi dirinya tahu. Zita jelas bisa mengimbangi Ione dan Lyra. Bahkan, bidadari berbusana kuning itu berhasil menghantam dua lawannya itu.
Saat kepalanya mengikuti arah pergerakan para bidadari, Rava tanpa sengaja bertatapan dengan tuan Zita.
Bagaimana kalau dirinya dan Stefan melakukan sesuatu kepada tuan Zita? Misalnya, menyandera tuan Zita untuk mengancam bidadari berbaju kuning itu? Tanpa tuan, Zita bakal kerepotan, kan?
Seolah bisa membaca pikiran Rava, tuan Zita menggeleng-geleng kaku. Ia lalu membuat gerakan seperti menimang anak kecil. Mata Rava membelalak. Ia langsung bisa tahu apa maksudnya. Kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan Zita, maka keluarga sang tuan akan terancam.
Rava mengepalkan kedua tangannya erat-erat, mengutuk dirinya yang sudah berpikir buruk.
"Rava, lihat." Stefan menunjuk ke suatu tempat.
Rava tak bisa berkata apa-apa saat menemukan satu sosok Piv tengah berdiri di dekat kaki bidadari berbaju merah marun. Bukan sosok itu sendiri yang membuat Rava terkejut, tetapi apa yang dilakukannya. Piv itu membuka mulutnya lebar-lebar, sampai air liurnya menetes-netes. Terlalu lebar, sampai akhirnya bisa menangkap kedua kaki bidadari tanpa nyawa itu.
Napas Rava tertahan saat Piv mulai menelan tubuh bidadari itu layaknya ular. Perlahan tapi pasti, tubuh bidadari itu seperti ditarik memasuki mulut Piv. Yang bisa dilihat Rava terakhir kali dari bidadari itu adalah tangannya, sebelum akhirnya disedot juga oleh Piv.
Anehnya, setelah menelan bidadari itu, tubuh Piv masih seperti biasa, seukuran setengah bola sepak. Mulutnya pun kembali normal. Setelah bersendawa panjang, ia melenggang pergi begitu saja.
Rava masih membisu.
"Lebih baik yang barusan jangan kita pikirkan dulu. Kita fokus saja ke pertarungan," ujar Stefan dengan bibir bergetar.
***
Waktu sudah berlalu cukup lama, pertarungan masih saja berlangsung. Lyra dan Ione mulai sedikit terdesak. Tebasan Lyra dan pukulan seruling Ione sudah tidak ada yang bisa masuk. Tawa Zita kini lenyap. Dia malah menguap lebar.
Nafas Zita biasa saja, padahal dua lawannya itu sudah mulai ngos-ngosan.
Rava meringis. Andai saja dia atau Stefan bisa mengaktifkan kekuatan para bidadari. Paling tidak, mereka bisa membuka momentum. Sayangnya, kekuatan itu sudah dipakai tadi dan baru bisa digunakan kembali setelah beberapa jam.
"Membosankan," gumam Zita, kembali menguap. Ia menghantam wajah Lyra, kemudian menendang perut Ione keras-keras. Kedua lawannya itu pun berguling ke belakang. "Bagas, bagaimana kalau kita aktifkan kekuatan yang baru diambil dari bidadari tadi!?"
Mendengar hal itu, Stefan segera berlari kepada Bagas. Ione dan Lyra pun langsung bangkit, kembali menerjang Zita.
Zita memberikan cengiran mengerikan dan mengangkat perisainya. Tiba-tiba saja, tubuh Lyra dan Ione melayang tinggi, seperti didorong oleh sesuatu yang tidak kelihatan.
Pranggg!!!
Tubuh Lyra menghantam jendela salah satu rumah sampai hancur, sedangkan badan Ione mendarat keras di sebuah mobil yang terparkir. Saking kerasnya tubuh Ione mendarat, atap mobil itu penyok. Alarm mobil itu jadi meraung-raung karenanya.
"Ck, kekuatannya sama sekali tidak menarik," decak Zita, kemudian berlari dan melompat tinggi.
Melihat Zita di udara, Ione berguling minghindar. Mobil itu pun semakin penyok begitu Zita menghajarnya dengan perisai. Tak sempat beristirahat, Ione harus menghindari serangan Zita yang datang padanya. Namun, dia kurang cepat, lengan kirinya terserempet perisai Zita.
Dengan susah payah, Ione melompat-lompat mundur. Ia memegangi lengannya, yang kini dihiasi lebam besar. Energi pelindungnya telah habis.
Di tempat lain, Lyra baru saja bangkit dengan napas yang tak terkendali. Ketika ia akan mendatangi Rava, sebuah pisau terbang datang kepadanya. Bak mempunyai pikiran, pisau itu kembali dan terus menyerang Lyra.
Orang itu ada di sini. Lyra langsung bisa menyimpulkan. Ia membagi pedangnya menjadi dua, kemudian menangkis serangan Alsie di belakangnya.
"Ah, kita berjumpa lagi," desis Lyra, tak merubah ekspresinya meski mendapat tatapan kebencian dari Alsie.
Mereka pun bertarung. Dengan stamina yang minim, Lyra kesusahan melayani serangan dari dua arah berbeda. Sampai akhirnya, wajahnya berhasil digores pisau Alsie.
Pisau yang sedari tadi terbang, akhirnya mendarat di tangan Alsie.
Lyra menyeka darah di wajahnya. "Aku tahu kamu tidak suka padaku, tapi di sebelah sana ada 'mata setan' lain yang benar-benar membuat kerusakan. Kamu ...."
Ucapan Lyra terpotong karena Alsie berlari mendatanginya. Tak punya pilihan lain, Lyra meladeninya. Denting dua pedang beradu dengan dua pisau pun terus terdengar. Namun, Lyra lebih banyak menangkis.
Rava cuma bisa celingukan memandangi dua pertarungan itu. Baik Ione maupun Lyra benar-benar kelihatan terdesak. Zita dan Alsie sangatlah agresif. Bahkan Ione dan Lyra beberapa kali terkena serangan musuh, padahal tubuh mereka tak lagi diselimuti energi pelindung.
"Sial," umpat Stefan sambil menggigiti ujung jarinya.
Lyra terus saja mundur. Luka-luka akibat serangan Alsie di tubuhnya—walaupun tak terlalu dalam—sudah cukup banyak mencucurkan darah. Karena staminanya sudah begitu terkuras, Lyra tak bisa meladeni Alsie dengan baik. Hanya sesekali saja serangannya bisa masuk.
"Heh, segini saja kemampuanmu!?" ejek Alsie, terus saja menyerang dengan kedua pisaunya.
Lyra melirik sejenak kepada Zita yang tertawa-tawa dan Ione yang tengah berlutut dengan tubuh penuh lebam. Jarak mereka sudah cukup dekat dengannya. Ya, sedari tadi Lyra sengaja menggiring Alsie ke sana.
Dengan sisa-sisa tenaganya, Lyra menangkap tubuh Alsie, kemudian melemparkannya begitu saja kepada Zita. Tak sempat merespon, Zita hanya bisa pasrah ketika tubuh Alsie menyambar badannya.
Lyra tak membuang kesempatan dan berlari mendatang Rava. Menyadari rencana Lyra, Ione pun ikut melesat ke arah tuannya.
Melihat mata amber Zita, Alsie memasang tampang jijik. "Mata setan lagi?"
"Wah! Ada teman main baru!" Kembali tertawa, Zita berguling demi menghindari tusukan Alsie. Karena jual-beli serangan langsung terjadi setelah itu, keduanya tak sempat berdiri. Mereka terus saja bertarung dengan posisi berlutut.
"Kita pergi," ucap Lyra, langsung menyambar tubuh Rava, menaruhnya di bahu, dan melompat kabur. Rava tak sempat protes.
Sementara itu, ione mengambil pose hendak menggendong seperti biasa. Bukannya langsung naik, Stefan malah tertegun, memandang Alsie yang masih saja bertarung.
"Aku juga tidak ingin meninggalkannya, tapi kita tidak punya pilihan lain, kita bisa mati kalau terus bertarung." terang Ione cepat. "Bidadari bernama Zita itu benar-benar gila."
Stefan memejamkan matanya, menelan ludah, sebelum akhirnya naik ke punggung Ione.
Melihat Lyra sudah kabur cukup jauh, Alsie buru-buru bangkit. "Tunggu!"
Akan tetapi, baru juga mengambil satu langkah untuk menyusul, Alsie merasakan cengkraman keras di kakinya. Ia pun menoleh ke bawah.
"Mau ke mana kamu?" tanya Zita yang ternyata tengah memegangi kaki Alsie. Suara Zita kini mendesah dan wajahnya merona merah, ekspresinya seperti menunjukkan kalau dirinya tengah merasakan nikmat luar biasa. "Lawanmu itu aku."
Alsie menurunkan penutup mulutnya dan meludahi Zita.