Lyra terus menangkisi serangan lawannya. Ekspresi wajahnya tetap seperti biasa, dengan tatapan mata yang tajam dan mulutnya hampir tak bergerak sedikit pun. Sementara itu, mata Alsie terlihat seperti sedang melihat mangsa. Gerakannya pun begitu agresif. Ia seperti ingin menyelesaikan pertarungan itu segera.
Melihat kesempatan, Lyra menyarangkan rangkaian ke tubuh Alsie. Alsie pun terpaksa mundur.
"Ratu kita yang sekarang sudah lebih baik. Dia meloloskan beberapa kebijakan yang mempermudah hidup kami, walau itu masih sangat kurang," tutur Lyra dengan nada dingin. "Kalau penerusnya seperti Anda, berarti kualitas pemerintahan akan menurun."
"Berisik." Suara Alsie bergetar. Cengkramannya di kedua pisau mengencang. "Sejak zaman dahulu, kalian selalu membuat kerusakan."
Lyra masih mempertahankan ekspresinya. "Itu karena sejak dulu kami diperlakukan tidak adil. Kami terdesak. Kami dendam. Penyebab kaum saya melakukan perngrusakan adalah karena perbuatan kalian sendiri."
Sekarang giliran Lyra yang menyerang lebih dulu. Gerakannya lebih tajam dari sebelumnya. Alsie pun terdesak mundur. Kemudian, tangan Lyra meraih luka di pundak Alsie dan mencengkramnya. Alsie langsung berteriak kesakitan dan tak berdaya ketika Lyra menendang keras perutnya. Ia pun berguling-guling cukup jauh, sampai punggungnya membentuk ke tembok salah satu ruko.
"Uuuugh ...," erangnya.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Janu yang mendekati Alsie.
Decakan keras meluncur dari mulut Alsie. "Aku tidak menyuruhmu untuk mendekat!"
Lyra berjalan mendekati lawannya. Ia pun melakukan sesuatu ke pegangan pedang bermata gandanya. Pedang itu pun terpisah menjadi dua, membuatnya berbentut seperti pedang pada umumnya
Ekspresi kebencian dan marah Alsie makin kentara. Ia pun bangkit, walau dengan tubuh agak gemetar dan pundak yang mengucurkan darah.
Kali ini, keduanya sama-sama maju. Jual-beli serangan kembali terjadi. Lyra berada jauh di atas angin. Beberapa serangan Alsie memang berhasil mengenainya, tetapi dia lebih banyak memasukkan sabetan dan tusukan.
Rava hampir tak bisa berkedip melihat pertarungan itu. Bukan karena gerakan-gerakan Lyra yang masih sangat anggun, padahal jelas-jelas mematikan. Bukan. Ia justru fokus kepada Alsie yang jelas tampak kesakitan, meskipun serangan-serangan Lyra belum ada yang melukainya.
Ini nyata. Ini brutal. Mereka benar-benar bertarung sampai mati.
Mata Rava membelalak makin lebar. Jantungnya bagai diremas keras-keras. Akhirnya, energi pelindung di tubuh Alsie habis. Lyra berhasil menebas pinggang kiri Alsie, menghamburkan darah segar ke udara.
"Alsie!" pekik Janu ketakutan.
Alsie langsung melompat mundur. Lyra mengibaskan pedangnya ke bawah untuk membersihkan darah yang menempel. Alsie lantas berlutut sambil memegangi pinggangnya yang mengucurkan darah.
Rava sudah mengulurkan tangan, hendak meminta Lyra untuk tak menyerang Alsie lagi. Namun, sepertinya itu tidak mungkin. Lyra sudah berjalan lagi, matanya fokus kepada Alsie.
"Apa nggak ada cara buat nyegah dia?" tanya Rava kepada Piv, yang kembali berdiri di dekat kakinya.
Lyra kembali menyerang. Alsie sudah begitu kewalahan menghindar. Ia bahkan tak lagi melancarkan serangan kepada Lyra.
"Ada," balas Piv cepat.
"Benarkah!?" Rava sama sekali tak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu dari Piv. "Bagaimana caranya!?"
"Untuk mengabulkan keinginan yang berhubungan dengan bidadari, kamu harus menyerahkan salah satu milikmu yang berharga."
Helaan napas berat keluar dari mulut Rava. "Aku ini nggak punya apa-apa."
Piv melompat ke kepala Rava. "Kamu yakin?"
"Kamu lagi ngapain?" Rava merasa risih karena bulu tubuh Piv seperti bersatu dengan rambut di kepalanya.
"Ssssttt... Diam dan tenang saja. Aku hanya mau mengecek sesuatu, kok." Piv memejam saat Rava akhirnya berhenti berontak.
Beberapa detik berlalu, Piv kembali membuka matanya. "Ada yang bisa kamu korbankan, kok."
Sementara itu, Lyra masih saja melancarkan serangan. Gerakan Alsie mulai melambat. Napasnya makin memberat. Beberapa sabetan Lyra berhasil menyobek kulitnya. Masih untung luka-luka yang ada di tubuhnya belum ada yang terlalu dalah, sehingga dirinya belum tumbang.
"Akkkhhhh!!!" Sayangnya, keberuntungan bidadari itu telah habis. Begitu Lyra berhasil menyabet kakinya, Alsie akhirnya jatuh terduduk.
Lyra pun segera menempelkan bagian tajam salah satu pedangnya ke leher Alsie.
"Mau mengucapkan kalimat terakhir?" tanya Lyra. Napasnya memang sama-sama mulai habis, tetapi jelas kondisinya jauh lebih baik daripada Alsie.
Alsie menurunkan penutup wajahnya dan meludah ke armor Lyra. Dengan gerakan santai, Lyra menghapus ludah itu dengan tangannya, kemudian memosisikan kedua pedangnya bersilang ke leher Alsie layaknya gunting.
"Cepat lakukan!" Alsie mendelik lebar-lebar.
Akan tetapi, gerakan Lyra berhenti di situ saja. Tangannya seperti menolak untuk bekerjasama. Ekspresi Lyra mulai berubah. Ia memandangi pedangnya dengan mata membelalak dan mulut menganga.
Menyadari kejanggalan itu, Alsie cepat-cepat beringsut mundur, kemudian melompat menghampiri Janu. Masih terlalu syok dengan apa yang terjadi, Lyra telat bereaksi, Alsie keburu mengangkut Janu dan kabur.
Lyra menoleh kepada Rava, yang langsung tersentak, berbalik dan berlari.
"Rava, tunggu!" Lyra mengejar Rava dan dalam waktu singkat berhasil menghadangnya. Sekonyong-konyong, Lyra mencengkram kerah baju tuannya itu. Alih-alih langsung mengumpat, Lyra justru memeriksa keadaan sekitar terlebih dahulu. Alsie sudah tak kelihatan. "Kamu sengaja lari agar dia punya waktu untuk kabur, ya? Kamu juga meminta Piv untuk membuatku tidak bisa membunuh, kan?"
Rava membuang muka. Wajahnya mulai sedikit memucat.
"Kita pulang dulu, tapi jangan harap masalah ini selesai begitu saja," dengus Lyra.
Meski ekspresi Lyra sudah kembali seperti biasa, Rava bisa merasakan penekanan tegas dari ucapan sang bidadari. Tanpa meminta persetujuan, Lyra pun membopong tubuh Rava dan melompat, bertolak dari tempat itu.
Tanpa disadari Lyra atau Rava, ada dua orang yang mengawasi dari sebuah atap salah satu ruko.
"Aku terlalu lama melawan monster di titik lain, jadi sampai ke sini sudah telat, padahal jaraknya lumayan dekat," keluh salah satunya, perempuan muda berkulit cokelat terang, dengan rambut merah yang dikucir, serta memakai busana ketat warna ungu.
Satunya lagi, pria dengan rambut pendek dan perawakan sedang, membenarkan kacamatanya. "Ini bukan salah kamu, kok."
Si perempuan membenarkan jalinan tali menyilang yang mempertahankan belahan dada busananya. Belahan itu terlalu lebar dan rendah. Jadi, ketika talinya rusak karena serangan monster tadi, ia jadi agak kerepotan menjaga agar bagian pribadinya tidak terlihat. "Ugh! Kenapa pihak atas memberikan pakaian seperti ini, sih? Aku memang meminta yang tanpa armor, tapi tidak begini juga."
"Bagiku nggak ada yang salah dengan pakaian kamu. Buktinya kamu masih bisa bertarung dengan baik walaupun bajunya begitu." Si pria terkekeh kecil.
"Dasar." Perempuan itu mencibir. "Bilang saja kamu suka melihat pakaian seperti ini. Ngomong-ngomong, katanya kamu mengenal tuan dari bidadari bersenjata pedang ganda itu, kan?"
"Aku sekedar tahu aja. Namanya Rava. Ibunya jualan roti bakar dan aku ini langganannya. Walaupun makanan murah, tapi pemilihan bahan, rasio isiannya, sampai durasi pembakarannya selalu pas. Kalau pergi ke tempat jualannya, aku selalu ngobrol sama ibu itu."
Si perempuan masih berkutat dengan tali-temali di dada busananya. "Jadi, apa langkah kamu selanjutnya? Mendatangi rumahnya?"
"Iya, seperti itu. Aku akan cari tahu di mana rumahnya." Si pria memerhatikan manusia-manusia yang sudah bangkit. Sebagian besar tampak kebingungan, tetapi beberapa sudah mulai membantu yang lain.
Busana tempur perempuan itu berubah menjadi cahaya ungu. Hanya dalam beberapa detik, cahaya itu lenyap dan ia sudah memakai busana kasual layaknya orang normal. "Sepertinya sudah tidak ada monster atau bidadari lain di sini."
"Mereka butuh bantuan kita." Mata si pria masih tertuju kepada para korban.