Sesampainya di rumah, Lyra melempar tubuh Rava begitu saja, seperti membuang kantung plastik berisi sampah. Rava yang mendarat di kasur kamarnya pun langsung meringkuk sambil membuang. Busana perang Lyra berubah menjadi cahaya putih, sebelum hilang beberapa detik kemudian.
"Kenapa kamu melakukan itu?" tanya Lyra. Suaranya tidak keras, tetapi sangat penuh penekanan. "Apa yang kamu korbankan kepada Piv sampai aku tidak bisa membunuh lawanku?"
Rava melirik bidadarinya itu. Seketika saja, wajahnya memerah bak tomat matang. Jantungnya seperti digedor-gedor dan perutnya juga jadi agak mulas. Ia buru-buru menyembunyikan mukanya itu dengan bantal.
"Jangan menghindar." Lyra menarik bantal itu. Rava pun terpaksa menggunakan tangannya untuk melindungi pandangannya. "Kamu harus ...."
Merasakan sejuk di seluruh tubuhnya, Lyra menengok ke bawah. Ia mematung dalam diam. Wajahnya perlahan pun ikut memerah, walau ekspresinya secara ajaib masih sama saja. Ia menutupi dua bagian privatnya di dada dan area bawah, cepat-cepat berlari keluar dari kamar.
Waktu mendapat kabar kedatangan monster dari Piv, Lyra mengaktifkan armornya saat mandi, tak sempat memakai baju biasa terlebih dahulu.
Rava masih meringkuk di kasur, kembali menutupi wajahnya dengan bantal, belum berani mengubah posisi. Bayangan lekuk tubuh mulus Lyra masih membekas nyata di kepalanya. Bukannya mengapresiasi hal itu, dia malah ingin menghapusnya dari ingatan.
Aku masih punya moral. Aku masih punya moral. Aku masih punya moral. Aku masih punya moral. Aku masih punya moral. Aku masih punya moral. Rava terus menggaungkan kalimat tersebut di dalam pikirannya.
"Ehm .... Sudah aman, kok." Suara Lyra terdengar beberapa menit kemudian.
Dengan gerakan luar biasa kaku, Rava menurunkan bantalnya, hanya untuk memalingkan mukanya kembali. Lyra yang kini bersimpuh di dekatnya itu memang sudah memakai baju. Namun, lagi-lagi kaus yang dipakai perempuan tersebut kekecilan dan celananya terlalu pendek. Terlebih, tanpa bisa dikontrol, pikiran Rava kini memproses sosok Lyra menjadi versi yang tidak dilindungi selembar benang pun.
"Jadi, pertanyaanku tadi ...." Lyra berdehem lagi, wajahnya masih sangat merah. "Kamu belum menjawabnya."
Rava menarik napas begitu panjang, berusaha memfokuskan diri kepada topik serius ini. "Bukankah nyawa makhluk hidup itu berharga?"
"Naif sekali." Kini nada bicara Lyra terdengar meremehkan. "Aku tidak menyangka kalau kamu ini tipe yang idealis seperti itu. Seharusnya, kamu sudah bisa menyimpulkan tujuanku menjadi ratu dari obrolanku tadi, dengan bidadari itu. Intinya, kalau jadi ratu, aku akan berusaha memperbaiki keadaan kaumku. Kau tahu perjuangan butuh pengorbanan, kan? Terkadang pengorbanan itu adalah nyawa. Dalam hal ini adalah nyawa dari bidadari lain."
"Bukan begitu." Rava menelan ludah. "Bagaimana ya menceritakannya .... Yah, dulu ada suatu kejadian yang membuatku seperti ini. Jadi, aku kenal seseorang yang suka ikut tawuran. Bukan teman baik, sih. Cuma tetangga aja. Seumuran sama aku .... Kamu tahu tawuran, kan?"
Mendapat gelengan dari Lyra, Rava melanjutkan ceritanya. "Tawuran itu kayak perang antar dua kelompok. Biasanya pada bawa senjata, dari celurit, pedang buatan sendiri, sampai panah."
Rava memejamkan matanya. Kejadian itu cukup berat untuk disampaikannya secara lisan. "Kejadian ini baru terjadi tahun lalu. Waktu itu, aku terjebak di tengah-tengah tawuran antar dua sekolah di jalanan. Aku sembunyi di sebuah warung biar nggak ikut jadi korban."
"Apa yang mereka perjuangkan sampai berperang?"
"Kadang kehormatan sekolahnya ...." Rava sedikit tertawa getir. "Kadang hanya karena ejekan saja. Tapi, biasanya ejekan itu juga karena mereka ingin memancing pihak lawan agar mau tawuran."
Ekspresi Lyra berubah. Mulutnya menganga lebar. "Apa mereka sudah gila?"
"Jadi, anak ini .... Tetanggaku ini ikut tawuran itu. Aku ngintip dari warung. Dia maju paling depan bawa gir yang diiket sabuk, diputer-puter di atas kepala. Terus, lawannya datang dan ngebacok dia. Dia rubuh bersimbah darah. Nggak berapa lama, polisi datang, yang tawuran pada bubar. Mayat anak ini ditinggal begitu aja sama temannya."
Mata Lyra terpejam. "Cerita ini memang tragis, tapi aku belum bisa mengerti arah pembicaraan kamu, Rava."
Rava mengusap wajahnya. "Dampak kematian anak ini menurutku sangat besar, Lyra. Orangtuanya menangis terus-terusan dan aku yakin mereka nggak akan bisa melupakan anak itu. Dia adalah anak tunggal. Masa depannya masih sangat panjang. Setelah dia mati, semua selesai. Perjuangan orangtua dari melahirkan, merawatnya, sampai banting tulang mencari uang untuk menyekolahkannya jadi sia-sia belaka. Dari kejadian itu, aku pun berpikir, nyawa itu ternyata begitu berharga. Bidadari yang kamu lawan tadi pasti punya sesuatu dalam hidupnya yang membuat dirinya berharga ..."
"Kalau kamu harus membunuh orang lain untuk menyelamatkan ibumu, apa yang akan kamu lakukan, Rava?" potong Lyra dengan nada begitu dingin
Mulut Rava tertutup rapat. Dia tak bisa menjawab pertanyaan itu. Atau lebih tepatnya, tidak mau memikirkan jawabannya. Ia pun memilih untuk bangkit. "Aku mau mandi dulu ...."
Mendapati mata Lyra yang sudah dilapisi cairan bening, Rava merasakan letupan kecil di jantungnya. Pemuda itu pun kembali memalingkan wajahnya. "Aku tahu, kamu punya tujuan yang ingin dicapai. Memenangi pertarungan ini sangatlah berarti bagi kamu .... Aku nggak akan membela diri. Aku cuma mau minta maaf .... Walau mungkin permintaan maafku ini nggak bakal ada artinya."
Begitu Rava pergi dari kamar, Lyra mengusap sedikit air matanya yang mulai turun.
***
Bukannya mandi sesuai ucapannya kepada Lyra, Rava malah keluar ke halaman belakang. Setelah sedikit celingak-celinguk di pelataran sempit berpagar bambu reyot itu, ia mengambil sebatang ranting. Berjongkok, dia mulai menorehkan sesuatu ke tanah.
Garis pertama tidak sesuai keinginannya. Ia pun menghapusnya dengan kaki, kemudian menggoreskan garis yang lain. Namun, berkali-kali melakukannya, dia tak bisa membuat garis yang lengkungannya sesuai.
Dengusan keras meluncur dari mulut Rava. Ia tak mau menyerah. Setelah berkali-kali gagal membuat garis yang diinginkannya, dia nekat menggambar wajah seseorang. Setiap torehan yang dibuatnya, Rava merasa ada bagian dari dirinya yang hilang. Belum juga gambar itu selesai, dia sudah tahu hasilnya akan buruk.
Benar saja, gambar itu lebih seperti buatan anak kecil yang baru belajar. Matanya tidak simetris dan besar sebelah, hidungnya terlalu kecil, bentuk bibirnya berantakan, bentuk mukanya terlalu lonjong, rambutnya cuma seperti coret-coret, serta telinganya cuma berupa lengkungan saja.
Rava memandangi gambar buruk rupa itu dengan napas memburu. Ia menggertakan giginya, kemudian melempar ranting di tangannya. Ia tak kuasa lagi menahan air matanya. Cepat-cepat dia masuk ke rumah agar orang lain tak melihat. Punggung tangannya terus menghapusi air mata yang jatuh.
Ia tak bisa lagi mengejar impiannya. Ia tak bisa lagi mencari uang untuk membantu perekonomian ibunya.
Di dapur, Rava berpapasan dengan Lyra. Melihat mata Lyra yang sembab, Rava buru-buru menyambar handuk dan masuk ke kamar mandi.
Menyadari pintu belakang terbuka lebar, Lyra berjalan keluar. Dengan matanya yang masih berkaca-kaca, dia menemukan gambar Rava di tanah. Bidadari itu pun langsung tahu apa yang dikorbankan tuannya.
"Bodoh," desis Lyra, sedikit terisak.