Chereads / A Song of the Angels' Souls / Chapter 31 - Rotasi

Chapter 31 - Rotasi

Bidadari berbusana oranye itu memunculkan senjatanya: sebuah cakram raksasa yang terlihat seperti gelang besar dengan pinggiran yang tajam. Saking besarnya gelang itu sampai terlihat agak mirip hula-hoop

"Aku, Ursa sang penakluk, akan menghukummu!" serunya lagi, masih dengan senyum percaya diri.

Rava langsung melongo. Bidadari aneh lagi. Mana ada orang yang bertarung dengan berteriak-teriak layaknya tokoh kartun seperti itu?

"Rotasi maut!!!" Senjata Ursa menyalakan cahaya oranye terang. Ia pun menancapkannya ke badan sang monster.

Sepanjang hidupnya, Rava tak pernah membayangkan orang di dunia nyata akan menyerukan nama jurus seperti itu.

Sang monster berjengit. Saat senjata itu mulai berputar kencang layaknya gerinda atau penggiling, sang monster berteriak sangat kencang, "Grooooooooohhhhhhh!!!"

Senjata itu mulai melesak masuk ke dalam tubuh si monster, memancurkan cairan hitam pekat dalam jumlah banyak bak mata air yang baru ditemukan. Namun, Ursa tetap pada posisinya, berdiri dengan tangan dilipat. Masih dengan senyum percaya dirinya, ia tidak terpengaruh dengan guncangan akibat monster yang terus menggeliat. Bahkan dia tampak tak peduli dengan cairan hitam yang menyirami dirinya.

Setelah beberapa saat, Ursa melompat turun. Begitu mendarat, cakramnya keluar dari perut bawah sang monster dan terbang berputar-putar. Debam keras terdengar, disertai getaran di tanah tepat ketika monster itu akhirnya tumbang.

"Halo, panggil aku Ursa!" ujar bidadari itu, menangkap cakram yang datang kepadanya, masih dengan senyum penuh percaya diri.

Sementara Ione dan Kacia menurunkan senjatanya, tanda tidak ingin bertarung, Lyra dan Lois memasang kuda-kuda.

"Kenapa kamu masih ada di sini? Bukannya kamu berbeda kubu dengan kami?" serang Lyra kepada Lois.

Lois mengangkat bahu. "Ouch."

"Errr .... Aku memaafkan Lois, kok," ujar Kacia, sedikit meringis.

Mendapat lirikan tajam dari Lyra, Kacia sedikit berjengit.

"Jadi, kalian mau bertarung denganku atau tidak?" Ursa ikut menurunkan senjatanya. Kedua tangannya terentang. "Kalau boleh jujur, aku sebenarnya enggan melawan kalian yang kecapekan begitu."

Kondisi Lyra, Lois, Ione, dan Kacia memang sangat berantakan. Rambut mereka sudah tidak karuan, tubuh dan wajah mereka jadi dekil, dan tetesan-tetesan keringat mereka sudah sebesar biji jagung.

"Namaku Ione." Ione maju sambil mengangkat kedua tangan. "Kami tidak ingin bertarung. Kami ingin mengajukan sebuah penawaran."

Sebelah alis Ursa terangkat. Kepalanya sedikit meneleng. "Penawaran?"

Ione mulai mengutarakan rencananya untuk mengumpulkan para bidadari dan mendesak pihak penyelenggara. Ursa mendengarkan dengan saksama, sama sekali tidak memotong.

"Apa kamu yakin bisa melakukannya?" tanya Ursa ketika penjelasan Ione selesai.

Ione mengangguk mantap. "Kalau semua bidadari bersepakat, aku yakin hal itu bisa bisa dilakukan."

"Yohan!!!" Ursa berteriak ke arah lain. "Sampai kapan kamu mau bersembunyi!? Monster sudah tidak ada! Jangan takut dengan tuan-tuan para bidadari ini! Ada aku yang melindungimu kalau mereka menyerang!"

Seorang pemuda bertubuh kecil dan berwajah penuh jerawat muncul dari balik sebuah mobil. Takut-takut, dia berjalan mendekati bidadarinya, sesekali melirik kepada rombongan Rava.

Aneh. Rava merasakan sesuatu dari pemuda itu. Sesuatu yang familier. Apalagi saat mereka bertukar pandang.

"Namanya Yohan. Maaf, dia memang pemalu." Ursa merangkul erat tuannya itu. "Tapi, dia ini partner yang bisa diandalkan."

Wajah Yohan merona merah ketika tubuhnya semakin menempel erat dengan tubuh Ursa yang lebih tinggi darinya. Rava semakin bisa merasakan sesuatu yang familier itu dari Yohan.

Stefan mendesah lelah melihat hal itu dan kepalanya langsung dijitak Ione.

"Sebelum menjawab tawaran kalian, aku punya pertanyaan untukmu, Ione." Ursa mengamati wajah Ione. "Apa kamu punya alasan lain untuk menghentikan pertempuran ini? Bukan sekadar alasan abstrak seperti tidak ingin banyak nyawa melayang?"

Sebuah senyum tipis terbentuk di bibir Ione. "Tidak ada."

"Hatimu mulia sekali!" Senyum penuh semangat Ursa kembali lagi. "Baiklah, aku akan mengikuti kalian!"

"Eh?" Ione melongo. "Segampang itu?"

Ursa menunjuk Ione. "Aku bisa melihat kalau kamu benar-benar ingin menghentikan pertarungan ini!"

Mata Ione sedikit melirik Stefan, yang langsung memajang wajah penuh tanya.

" Ah, terimakasih kalau begitu. Bagaimana kalau kita bertukar kontak terlebih dahulu?" tukas Ione.

Ursa mengacak-ngacak rambut Yohan. Sang tuan pun berontak dan memberengut.

"Maaf, ya. Kamu jadi tidak bisa mendapatkan keinginanmu, Yohan. Yah, keinginanmu itu sebenarnya bisa didapatkan dengan perjuangan, sih." Ucapan Ursa terdengar tegas dan sedikit berapi-api. "Tenang, saja. Aku akan mengajarimu caranya .... Aah, kamu setuju kalau aku ikut mereka untuk menghentikan pertempuran ini kan, Yohan?"

"Terserah." Jawaban Yohan terdengar seperti gerutuan.

Ursa tertawa dan menggaruk-garuk rambutnya. "Yah, keinginanku sebagai ratu juga lucu, sih. Aku ingin semua orang di dunia bisa tersenyum dan selalu bersemangat. Tapi, itu juga bisa ditempuh dengan cara lain! Tapi, untuk sekarang, menyelamatkan nyawa bidadari adalah yang sesuatu yang lebih penting."

Ione dan Stefan saling bertukar senyum. Kacia juga tersenyum. Bidadari mungil itu memandang Rava, yang langsung menunduk dengan muka memerah.

"Jadi, apa yang harus kita lakukan terlebih dahulu, teman-teman baruku!?" Ursa merentangkan kedua tangannya kembali, tapi kali ini tampak seperti hendak memeluk.

"Aku muak," desis Lyra tiba-tiba, sudah membelakangi yang lain.

"Hooo ...." Mendengar ucapan itu, Ursa memilih untuk bersikap santai. "Apa aku salah bicara?"

Kedua tangan Lyra terkepal erat. "Kalian bertingkah seperti pahlawan suci yang enggan menumpahkan darah. Seharusnya kalian tahu .... Bahkan di Bumi juga kurasa sama saja. Terkadang, untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, kita harus menumpahkan darah! Untuk melawan leluhur kaum kami, orang-orang zaman dulu juga berperang! Perang itu menumpahkan darah! Di Bumi juga ada kezaliman yang dilawan dengan pertumpahan darah, kan!?"

Tiba-tiba Lyra berbalik dan menarik kerah baju Rava. Rava membelalakkan mata waktu melihat ekspresi bidadarinya itu. Mata Lyra sudah dilapisi cairan bening. Otot-otot wajahnya sangat menegang. Rava tahu itu bukan sekedar tatapan amarah. Lyra seperti sedang memandang sesuatu yang harus segera dihancurkan.

"Semua ini gara-gara kamu! Kalau kamu tidak mengorbankan kekuatanmu untuk membuatku tidak bisa membunuh, aku masih bisa berjuang untuk kaumku! Aku bisa menjadi ratu untuk ...."

Kacia melepaskan tangan Lyra dari kerah baju Rava.

"Rava sekarang adalah tuanku. Aku tidak bisa membiarkanmu berlaku semena-mena kepadanya," hardik Kacia tajam. Ekspresinya yang biasanya lembut, kini menegas.

"Maaf ...." Rava tak sanggup memandang wajah Lyra.

"Kamu tidak akan mengerti, Rava." Lyra menggeleng-gelengkan kepala, mulai melangkah mundur. "Kamu itu sehari-hari hanya mengurung diri di kamar dan tidak tahu kenyataan di dunia luar. Kamu tidak tahu bahwa dunia itu tidak hanya hitam dan putih."

"Aku cuma ingin melakukan apa yang kuanggap benar!" Rava tak sanggup lagi menahan perasaan menggelegak di dadanya. Akhirnya, dia bisa memandang wajah bidadarinya itu. "A-aku cuma ingin melakukan apa yang kuanggap benar ...," ulang Rava, kali ini dengan nada yang jauh lebih pelan.

Lyra sudah akan membantah, tetapi mengurungkan niatnya dan memilih untuk berbalik.

"Lyra!" panggil Rava ketika bidadarinya itu melompat pergi.

"Biarkan saja dulu." Ione menepuk pundak Rava. "Bicara sekarang hanya memperburuk keadaan."

Tiba-tiba saja, Lois melompat untuk menyusul Lyra. Stefan langsung menoleh kepada Marcel, yang tak ikut dibawa Lois.

"Dia cuma titip pesan kalau dia nggak akan membunuh Lyra," ujar sang kakak. "Kalau mau membunuh Lyra, dia bakal bawa aku biar lebih mudah melakukannya."

Rava terus memandang Lyra yang makin menjauh. Hati pemuda itu carut-marut. Semuanya membingungkan baginya. Apakah keputusannya membuat Lyra tak bisa membunuh itu salah? Namun, kalau tidak melakukan perbuatan itu, Rava tak tahu berapa lagi nyawa yang akan dicabut Lyra.

Di sisi lain, dengan tidak bisa membunuh, harapan Lyra menjadi ratu sudah sirna. Tanpa menjadi ratu, maka perjuangan Lyra untuk kaumnya itu mungkin akan jadi begitu berat. Mereka akan terus tertindas.

***

Lois berjalan pelan mendatangi Lyra yang sedang duduk di sebuah ayunan taman.

"Apa maumu, Lois?" tanya Lyra, sama sekali tak menatap teman masa kecilnya itu. "Aku tahu kamu mengikutimu sedari tadi."

"Ayolah, kita kan saudara."

Menghapus air matanya, Lyra menoleh kepada Lois. Pandangan Lyra langsung tertuju ke bagian bawah dari tubuh bidadari berambut pirang itu. "Dapat rok dari mana?"

Lois mengecek bawahan yang sekarang dipakainya: rok lipit panjang berwarna hijau lumut, sangat tidak cocok dengan jaket kulit yang dikenakannya. "Ambil dari jemuran orang. Celanaku ketinggalan."

"Pergilah, Lois. Aku ingin sendiri dulu." Lyra menghadapkan wajahnya ke depan lagi.

Menghela napas, Lois berjalan mendekat. "Kalau tidak suka dengan keberadaanku, kenapa kamu tidak mengusirku sedari tadi?"

Menit demi menit berlalu, jawaban tak kunjung keluar dari mulut Lyra. Lois kembali menghela napas, lantas melingkarkan kedua tangannya ke leher Lyra dari belakang.

"Aku baru pernah melihatmu marah-marah sampai berteriak seperti itu."

Lyra masih tak menjawab. Ia pun bangkit dan melepaskan tangan saudari angkatnya itu. "Aku mohon, jangan ikuti aku."

Belum juga Lois menimpali, Lyra keburu melompat pergi. Lagi-lagi menghela napas, kali ini Lois cuma berdiri di tempatnya, memandang saudarinya itu menjauh.