Lapak-lapak di bagian dalam pasar itu banyak yang bergeser, bahkan terguling gara-gara tersambar oleh dua bidadari yang bertarung. Dagangan yang dijual pun berterbangan, kemudian berserak di lantai tanah yang becek.
Ursa benar-benar kewalahan. Konsentrasinya terpecah antara melindungi orang-orang di sekitarnya dan menghadapi serangan Medora. Berkali-kali ia menjadi tameng untuk orang lain,harus menerima cakaran-carakan mantar rekannya.
Medora tak peduli dan terus mendesak Ursa. Dan pada akhirnya, cakar-cakar Medora berhasil menyobek dada Ursa.
"Kamu memang hebat. Energi pelindungmu tebal sekali, sampai butuh waktu lama menembusnya." Medora mengibaskan tangan kirin untuk membersihkan darah di cakarnya.
Ursa meringis sambil memegangi dadanya yang kini berdarah. Medora dan dirinya sama-sama sudah mulai ngos-ngosan. Sedari tadi berpikir, Ursa menemukan cara untuk melawan Medora. Cara itu berisiko tinggi dan kemungkinan berhasilnya kecil, tapi lebih baik daripada terus seperti ini.
Ketika Medora menerjang kembali, Ursa menjatuhkan cakramnya dan melancarkan bogem mentah ke muka Medora. Medora pun terhuyung, tak menyangka serangan itu mengenai pipinya. Ursa pun mengangkat tubuh Medora dan membantingnya ke wajan besar berisi minyak panas di atas kompor.
"Argggghhhh!!!" Medora memegangi mukanya yang tersiram minyak panas. Namun, karena masih mempunyai energi pelindung, ia tak terluka sedikit pun.
Ursa menduduki perut Medora, hendak memukuli musuhnya itu. Namun, Medora keburu menangkap dan mencengkram tangan Ursa. Kemudian, dengan kelenturan dan gerakan yang rumit, Medora berhasil membalik keadaan. Kini, dia yang duduk di perut Ursa.
"Ide yang bagus, mengubah pertarungan menjadi jarak dekat untuk meminimalisir korban manusia di sekitarmu." Satu tangan Medora mencengkram leher Ursa, sementara satu tangannya lagi terangkat tinggi.
Di wajah Medora tak ada senyum kemenangan, apalagi ekspresi kepuasan. Seperti sebelumnya, senyum dan ekspresi teduhnya masih saja bertahan. Seolah apa yang diperbuatnya sekarang adalah sesuatu yang biasa saja.
"Tapi, kamu melupakan satu hal, Ursa.aku ini lebih ahli dalam pertarungan jarak dekat dibandingkan dirimu."
Tawa getir terlontar dari mulut Ursa. "S-sebelumnya, jawab pertanyaanku ini. Mengapa baru sekarang kau membunuhku? Kenapa tidak dari dulu?"
"Sungguh, awalnya aku mau bekerjasama denganmu agar bisa melampaui pemilihan ini dengan lebih mudah. Bekerjasama itu membuat semuanya lebih ringan, kan? Nanti, kalau pesertanya tinggal kita berdua, aku baru akan membunuhmu." Tangan Medora semakin kencang mencengkram leher Ursa. Kaki Ursa mulai berkelojotan. Ia berontak, tetapi usahanya sia-sia belaka. "Sayangnya, kamu malah bergabung dengan kelompok bodoh itu. Cepat atau lambat, mereka akan menghalangiku membunuh bidadari lain. Apalagi kalau mereka semakin banyak merekrut bidadari, aku bakal lebih kerepotan. Yah, mumpung ada anggota baru mereka di sini .... Hei, kenapa aku berbicara panjang lebar? Kamu kan sebentar lagi akan mati."
Medora menghujamkan tangan kanannya ke dada kiri Ursa, menghamburkan darah kental ke mana-mana. Kemudian, dalam satu tarikan keras, dia mengambil sesuatu dari dada Ursa itu. Sesuatu yang masih berdetak.
Tangan Ursa terkulai lemas. Mulutnya memuntahkan darah segar. Napasnya berhenti total. Matanya yang mengucurkan cairan bening, kini menatap kosong.
Medora pun bangkit berdiri. Sedikit mendongak, dia mengamati jantung Ursa di tangannya. Senyumnya telah lenyap tanpa bekas.
***
Medora berjalan dalam diam. Kedua ujung bibirnya turun, matanya memandang kosong ke depan. Senyum dan tatapan teduh yang biasa dia berikan kepada orang-orang sama sekali tak membekas di wajahnya.
Ia menenteng kantung plastik berisi belanjaan. Mumpung baru bertarung di area pasar dan penjualnya masih membeku, dia mengambil apa-apa yang diperlukan. Uang belanja dari Dirga jadi bisa digunakan untuk yang lain. Untuk dirinya.
Begitu memasuki rumah Dirga, bidadari itu berdecak. Rumah itu mengingatkannya dengan rumahnya dulu. Walau bagian dalam dan luarnya jelas berbeda, tetapi keduanya sama-sama jelek dan kumuh. Di dunia asal dia tak memiliki apa-apa, kenapa juga ketika tiba di bumi dirinya harus tinggal di tempat seperti ini?
Dan lagi, rumah itu mengingatkannya kepada ibunya. Tak banyak kenangan yang dimiliki Medora tentang wanita yang melahirkannya itu. Dia masih kecil sekali ketika dibuang ke jalanan. Paling-paling hanya teriakan murka beliau saja yang masih tercetak di otaknya. Itu pun dia tak ingat dimarahi karena masalah apa.
Medora melempar begitu saja kantung belanjaannya ke meja dapur. Kemudian, ia mulai membersihkan rumah itu.
Anak dan bapak sama saja. Sukanya menaruh barang sembarangan, tak pernah merapikan tempat tidur, dan tak pernah mau repot-repot menaruh piring atau gelas kotor ke tempatnya.
"Dengan kamu membereskan rumah dan memasak, maka ayah dari tuanmu akan senang. Kemungkinan beliau marah kepada tuanmu akan semakin kecil. Mental tuanmu jadi terjaga. Itu artinya, energi yang disalurkan tuanmu akan lebih lancar. Kamu ini menjalankan peranmu dengan sangat baik," tutur Piv, seperti biasa muncul tanpa memberitahu terlebih dahulu. Makhluk mungil itu duduk di atas televisi, terus mengamati Medora bekerja. "Yah, ada beberapa bidadari yang tidak peduli dengan mental tuannya. Mereka menganggap hal itu tidak terlalu berarti."
Medora hanya melirik Piv sekilas, lalu melanjutkan kegiatan menyapunya.
Saat sedang membersihkan kamar Dirga, perhatian Medora tertuju ke cermin kusam yang menempel di lemari pakaian. Ia menyadari ada sesuatu di refleksi wajahnya. Ada setitik darah di lehernya. Mungkin darah Ursa.
Medora menyeka darah itu dengan tangannya. Ia mematung, mengamati wujudnya sendiri dari atas sampai ke bawah.
Itu bukan rambutnya. Wajahnya tidak secantik itu. Dadanya terlalu besar, membuatnya selalu merasa aneh ketika bergerak. Kulitnya yang kelewat mulus juga memberikan sensasi janggal. Tubuhnya pun tidak langsing, melekuk indah, dan sekencang seperti ini.
Dia tak habis pikir. Buat apa pihak penyelenggara mengubah wujudnya sampai jadi seperti ini?
Sejak mendapat tubuh itu, dia jadi sering berandai-andai. Kalau dulu serupawan ini, dia pasti tak akan hidup di jalan. Lelaki kaya pasti akan memeliharanya. Dia tak akan menderita.
Menghela napas, dia melanjutkan pekerjaannya.
Setelah semuanya selesai, Medora pergi ke dapur untuk membuat makan siang. Ia meraih sebuah buku tulis lusuh yang ditaruh di atas kulkas bobrok. Dia membuka buku resep peninggalan mantan istri Dirga itu.
Lodeh dan perkedel. Medora sedikit mendengus. Terlalu banyak tahapan yang harus dilakukan dan itu merepotkan. Namun, hari ini adalah jadwal pembuatan makanan itu. Ia ingin selalu membuat makanan yang bervariasi, tentu saja agar Gilang tetap bahagia.
"Bu Dor, aku pulang!" suara Gilang terdengar dari halaman depan.
Serta-merta, Medora menggigit ujung bibirnya. Akan tetapi, hanya perlu beberapa detik sampai dia bisa kembali memajang ekspresi dan senyum teduhnya itu.
Ia pun berjalan menuju bagian depan rumah. Saat ini dia harus menyambut tuan yang membuatnya kesusahan. Kalau saja Gilang sedikit lebih besar, dia tak perlu menyesuaikan ritme anak kecil itu. Medora bisa lebih sering bertarung melawan monster untuk membuka kunci kemampuannya. Pagi sampai siang Gilang sekolah. Malamnya, bocah cilik itu pasti ngantuk berat. Medora hanya bisa bertarung di sore hari menjelang petang. Yohan yang SMA saja sudah bisa begadang, sedangkan Gilang pasti akan ketiduran kalau bertarung malam-malam.
GIlang yang baru melepaskan sepatunya sembarangan pun segera memeluk erat perut Medora.
"Loh, kok udah pulang?" tanya Medora lembut, walau dalam hati dia ingin membanting bocah kecil itu.
"Gurunya rapat, Bu." Gilang melepaskan pelukannya dan tersenyum ceria. "Oh iya, ini kok di tangan Gilang ada tanda baru?"
Gilang menunjukkan dua tanda abu-abu di lengannya, di bawah satu tanda yang sudah lebih dulu ada. Medora membaca dua tanda itu dalam hati: 'rotasi' dan 'ribuan serangan.'
"Iya, tadi Ibu melawan beberapa monster di pasar. Sepertinya, ibu sudah cukup banyak membunuh monster, jadi sudah saatnya kekuatan ibu ada yang terbuka. Kita beruntung mendapat dua kekuatan, tapi sayangnya kita harus memilih salah satu."
Napas Gilang tertahan. "Bu Dor nggak kenapa-napa! Aku kan nggak ada di dekat Bu Dor!"
"Ibu nggak apa-apa, kok." Medora berjongkok, menggenggam erat kedua tangan Gilang. "Ibu minta, kamu jangan pencet salah satu tanda itu. Kalau sudah dipencet, artinya kamu sudah memilihnya. Biar ibu berpikir dulumengambil yang mana."
"Oke!" Lagi-lagi Gilang tersenyum ceria.
Medora mengusap lembut kepala bocah cilik itu. Ia terus meyakinkan dirinya sendiri. Dia tak boleh menyerah dalam memainkan peran ini. Setelah itu, dia tak peduli lagi. Yang penting, dia bisa lepas dari lingkaran kemisikinan yang memuakkan itu.
Baginya, yang terpenting adalah dirinya sendiri. Dirga dan Gilang hanya orang asing.
Jalanan mengajarkannya untuk berjuang sendirian. Tak ada yang peduli padanya. Tak ada yang peduli dirinya kelaparan dan kedinginan. Kalaupun ada yang membantunya, mereka akan pergi.
***
Di depan sebuah gudang raksasa yang kosong dan terbengkalai, Yohan memakirkan motornya, buru-buru turun. Tak melihat bidadarinya di sana, ia pun berteriak. "Ursaaaa, kamu di mana!?"
Yang terdengar hanya gema suaranya sendiri. Setelah celingak-celinguk sebentar, pemuda itu memutuskan untuk masuk ke gudang, lewat pintu depan logam yang sudah rusak.
Tanpa disadari Yohan, seorang bidadari dengan baju tempur abu-abu tengah berjongkok di atas tiang listrik. Ia menggenggam erat sebuah ponsel yang sedikit berlumur darah. Layar ponsel itu masih menunjukkan sebuah percakapan tertulis.
Medora mematikan ponsel itu, lantas menyembunyikannya ke lipatan selendang yang melingkari perutnya. Kemudian, ia melompat turun dan berjalan mendekati Yohan.
"Kenapa kamu sendirian, Yohan? Ursa mana?" tanya sang bidadari.
Sedikit terhenyak, Yohan menengok ke belakang, langsung bernapas lega saat melihat Medora. "Bikin kaget aja .... Aku tadi dihubungin Ursa suruh ke sini, katanya ada monster. Tapi, dia belum kelihatan."
Medora manggut-manggut. "Kalau aku, tadi diberitahu Piv, katanya di sini memang ada monster."
"Gilang mana?" Yohan sedikit mengedarkan pandangan untuk mencari anak kecil itu.
"Kusuruh sembunyi. Lama-lama aku nggak tega kalau dia dekat-dekat sama pertarungan."
Yohan sedikit menggaruk rambut. "Hmmm .... Gitu, ya?"
Medora memajang senyuman pamungkasnya. Walau Yohan sudah mulai curiga, tapi keadaan masih cukup aman.
"Duh, Ursa di mana, sih? Sekarang hapenya mati lagi." Yohan kembali memandang berkeliling. Gerakannya mulai berlebihan. Jelas sekali kalau dia mulai panik. Ia pun membelakangi Medora. "Ursaaaa!!!"
"Ngomong-ngomong ...." Ursa menarik sebuah golok yang disarungkan ke bagian belakang selendangnya. "Ursa sudah menceritakan pertempuran melawan monster besar itu. Aku penasaran, waktu melawannya, dia memakai kemampuan yang mana?"
Medora tahu. Kalau menggunakan cakar, dia bisa dicurigai. Beda dengan golok. Semua orang bisa memakai benda itu. Tak hanya bidadari.
"Huh? Waktu itu cuma rotasi maut, sih." Yohan tercenung sejenak, kemudian berbalik untuk menghadap Medora. "Kenapa kamu tanya begitu?"
Crassss!!!
***
Saat kembali, Medora mendapati Gilang tengah bermain sepakbola di jalanan tak jauh dari rumah. Medora pun memberikan isyarat tangan agar Gilang mendekat.
"Ada apa, Bu Dor?" tanya Gilang yang bertelanjang kaki.
Tersenyum dan tak mengatakan apa-apa, Medora menarik lembut tangan kanan Gilang. Bidadari itu pun memencet tanda yang mempunyai makna ribuan serangan. Tanda di bawahnya—memiliki arti rotasi—pun langsung lenyap seketika. Gilang mengamati fenomena itu dengan takjub.
Medora lalu mengelus kepala tuannya. "Main lagi sana."