Chereads / A Song of the Angels' Souls / Chapter 14 - Permainan

Chapter 14 - Permainan

Zita berguling-guling menghindari tendangan Alsie, lantas berdiri dan tertawa-tawa keras. Tak membuang waktu, Alsie kembali melanjutkan serangannya. Bunyi denting keras pisau dengan perisai pun terdengar. Alsie terus memberikan kombinasi serangan dan Zita terus berlindung dengan perisainya. Di antara napasnya yang mulai terputus-putus, Zita terus saja tertawa.

"Apanya yang lucu, hah!?" seru Alsie, melompat dan menendang perisai Zita dengan kedua kakinya. Daya dorong tendangan itu mampu membuat Zita terjengkang dan perisainya pun terlepas.

"Aku akan menjadi ratu dan membasmi kaummu!" Alsie melompat ke arah lawannya.

"Arrgggghhhh!!!" Zita memekik ketika sabetan pisau Alsie menggores tubuhnya. Namun, yang selanjutnya terdengar hanyalah tawanya lagi. Meski tak bisa menghindari semua serangan Alsie yang membuat luka-luka di sekujur tubuhnya, Zita terus tertawa dengan ekspresi iblisnya.

Akhirnya, Alsie memilih melompat mundur. Dengan mata mendelik, ia mengamati sang musuh yang rambutnya sudah berantakan, bajunya sobek-sobek, dan tubuhnya berlumuran darah. "Apa-apaan ini?"

Dengan napas putus-putus, Zita menunduk. Ia terkikik-kikik, berjalan agak sempoyongan kepada Alsie. "Aku suka .... Aku suka ..... Aku .... Aku suka .... Aku suka ..... Aku .... Aku suka .... Aku suka ..... Aku .... Aku suka .... Aku suka ..... Aku .... AKU SUKAAAAAA!!!"

Tiba-tiba Zita melesat dengan kecepatan yang seharusnya tak dimiliki petarung yang sudah kehabisan stamina. Alsie sudah akan melawan, tetapi kedua tangannya keburu ditangkap Zita. Alsie kembali mendelik saat tangannya diremas keras dan diturunkan ke bawah.

Wajah gila Zita sudah begitu dekat dengan muka Alsie.

"Ahahahaha!!!"

Alsie tak bisa berkutik saat kening Zita menghantam keras keningnya. Zita terus tertawa-tawa, kembali membenturkan keningnya ke kening Alsie. Tak cukup sekali, tetapi berkali-kali. Terlalu banyak, sampai Alsie tak kuasa lagi menahan pijakannya. Ia terus mundur setiap mendapatkan benturan itu.

Merasakan cairan kental nan hangat dari kepalanya, Alsie membelalakan matanya. Hanya dengan serangan seperti ini, Zita bisa menghancurkan energi pelindung di tubuhnya?

"Ahahahahaaaa!!!" Dengan darah yang jauh lebih banyak mengalir di muka daripada Alsie, Zita memberikan benturan kepala terakhir, sebelum akhirnya terhuyung ke belakang. Tawanya kini terhenti. Pegangannya di tangan Alsie terlepas. Dengan gerakan bak orang mabuk, Zita pun melangkah mundur, sebelum akhirnya tumbang telentang ke hamparan paving.

Alsie pun jatuh berlutut. Selain nyeri, kepalanya juga dihinggapi sensasi melayang hebat. Pandangannya mulai kabur dan untuk mempertahankan keseimbangan saja dia kesulitan.

"Dasar sinting," umpatnya, masih belum bisa berdiri.

Dan tiba-tiba saja, Zita mengangkat tubuhnya. Alsie sampai jatuh terduduk saking kagetnya. Zita terkekeh-kekeh kecil, duduk dengan kaki lurus terbuka bak anak kecil. Keduanya pun saling bertukar pandang.

Tubuh Alsie mulai bergetar. Apakah lawannya ini memang iblis?

Perlahan, Alsie mengatur napas, berusaha menekan lonjakan degup jantungnya, kemudian mulai bangkit. Sementara itu, Zita mulai merayap untuk menggapi perisainya. Gerakan keduanya sangatlah lambat. Begitu Zita sampai di perisainya, Alsie sudah berdiri, walau tak bisa tegak.

Demi menguatkan tekadnya, Alsie mengingat-ingat alasan mengapa dirinya ada di sini. Kelebatan-kelebatan memori pun mulai kembali ke otaknya. Saat konvoi bersama ratu yang merupakan bibinya sendiri, Alsie menyaksikan sendiri kekejaman yang dilakukan kaum bermata setan. Waktu itu, ada yang meledakkan. Perlindungan konvoi pemerintah memang tak main-main, sehingga ratu tak terluka sedikit pun.

Yang menjadi korban adalah rakyat. Tubuh-tubuh mereka bergelimpangan penuh darah.

"Orang-orang di sekitar ratu banyak yang bilang, ratu itu terlalu lembek kepada kaum kalian." Sadar dirinya tidak bisa pulih dengan cepat, Alsie mengulur waktu dengan bicara. Mundur bukan pilihan. Kondisi Zita terlihat cukup parah dengan luka-lukanya. Ini adalah kesempatan emas, sebelum Zita membuat kerusakan lagi. "Karena aku adalah ajudan beliau, aku tinggal di istana, hampir setiap hari aku mendengar omongan semacam itu. Dan apa kamu tahu? Meski aku kerabat ratu, aku justru setuju dengan mereka yang berkata seperti itu ...."

Alsie tak sempat menyelesaikan ucapannya. Perisai Zita menyambar kakinya, membuat tubuhnya terjembab. Ia langsung berusaha bangkit dengan susah payah. Namun, nyeri hasil hantaman perisai di kakinya begitu hebat. Belum lagi efek luka di kepala yang belum juga hilang.

Sementara itu, Zita sudah merangkak mendekatinya. Mukanya kini merona merah, ekspresinya kembali menunjukkan kenikmatan yang amat sangat. Bahkan air liurnya sampai menetes.

Lambat-laun, akhirnya Zita sampai di hadapan Alsie. Alsie pun menyerang Zita, yang tak menghindar dan malah mendesah saat dadanya ditebas. Kemudian, bidadari berbusana kuning itu pun menjambak rambut Alsie.

Retakan besar di paving langsung muncul begitu wajah Alsie dihantamkan ke sana, diiringi bunyi retaknya tulang yang membuat ngilu. Seperti tadi, tentu saja hukuman Zita itu tidak dilakukan sekali saja. Zita terus-menerus melakukannya. Tawa kerasnya kini digantikan oleh desahan penuh gairah. Retakan di rangkaian paving pun lama-kelamaan makin lebar dan dalam, kali ini dihiasi pula oleh rembesan darah.

Beberapa menit berlalu, Zita akhirnya berdiri. Alsie sudah tidak bergerak, hanya tangan dan kakinya saja yang sesekali berkedik.

Dengan wajah yang semakin memerah, Zita mulai meraba-rava tubuhnya sendiri, meninggalkan jejak darah di busananya. Mulutnya mendesah-desah nikmat. Kemudian, ia menginjak-injak kepala Alsie. Bunyi retak yang membuat ngilu itu kembali terdengar, tetapi sekarang sangat beruntun, seolah memiliki ritme.

Janu hanya bisa mematung melihat bidadarinya jadi tak berdaya seperti itu. Tubuhnya gemetaran tak terkendali dan keringat mengucur deras dari kulitnya.

"Hei kamu!"

Janu terhenyak hebat begitu mendengar suara Bagas. Tuan Zita itu entah sejak kapan sudah berdiri begitu dekat dengannya.

"Lebih baik kamu pergi sekarang. Tidak ada yang tahu apa yang akan dilakukan kepadamu nanti," tegas Bagas dengan bibir bergetar. Melihat Janu masih saja membeku di tempatnya, Bagas mengencangkan suaranya, "Lari!!!"

Kembali terhentak, Janu pun putar badan, melarikan diri dari tempat itu.

"AHAHAHAHAHAAA!!!" tawa keras Zita kembali membelah udara.

***

Lyra mendarat di belakang sebuah bangunan yang terbengkalai, menurunkan Rava ke tanah, mengubah busana tempurnya ke baju biasa, kemudian duduk bersandar di tembok. Bernapas putus-putus, ia meringis kesakitan.

"Gi-gimana ini? Aku harus ngapain?" Rava gelagapan dan tak tahu harus berbuat apa.

"Tidak usah khawatir, pemulihan tubuh kita itu lebih cepat dari manusia biasa," ucap Ione, baru saja mendarat dan menurunkan Stefan, langsung duduk dan memeriksa lebam-lebam di tubuhnya.

"Aku ambil napas dulu, nanti kita lanjutkan perjalanan," ucap Lyra, masih saja tersengal-sengal.

Rava mengusap wajahnya, tak sanggup melihat keadaan dua bidadari itu. Rava yakin, dirinya akan mati atau paling tidak akan pingsan kalau mendapat luka-luka parah seperti itu. Hal seperti ini mempertegas kalau dirinya sedang terperangkap dalam peperangan.

"Kita meninggalkan mereka ....," desis Stefan, kemudian memukul keras-keras tembok bangunan. Saking kerasnya, darah sampai bercucuran dari ruas-ruas jarinya. "Kita meninggalkan mereka untuk mati."

"Belum tentu. Zita sudah cukup lama bertarung dengan kita, staminanya jelas jauh di bawah bidadari bernama Alsie itu," jawab Ione.

"Tadi kita tidak melihatnya kecapekan sama sekali. Bagaimana kalau saat melawan Alsie, staminanya belum juga drop?" timpal Stefan, menggeram keras.

Ione berdiri dan menepuk pundak tuannya. "Pikiranmu terlalu berlebihan, Stefan."

Menyadari sesuatu, Rava menelan ludah. Ia bergerak agak jauh dari yang lainnya. Jantungnya bak dihantami sesuatu yang keras. Kalau Alsie benar-benar mati, untuk apa dia mengubur mimpinya demi menyelamatkan bidadari itu?