Lonceng pertanda bahwa jam pulang sekolah sudah tiba pun, berbunyi. Sehingga membuat para murid berhamburan keluar kelas, untuk pulang ke rumah masing-masing.
Tidak terkecuali Vero dan Kirana yang selalu menunggu semua murid keluar dari kelas, barulah mereka akan pulang. Seperti saat ini juga, Vero dan Kirana juga sedang berjalan menyusuri koridor sekolah yang sudah sepi tidak berpenghuni.
"Kirana … hari ini aku akan mengantarkanmu pulang," ucap Vero antusias.
"Tidak perlu, Vero … aku bisa pulang sendiri," jawab Kirana, menolak penawaran Vero.
"Tetapi aku ingin mengantarkanmu, Kirana … ku mohon," ucap Vero meminta dengan ekspresi baby face.
Kirana yang melihat ekspresi wajah Vero yang begitu menggemaskan itu, langsung mengedip-ngedipkan matanya.
"Tidak perlu, Vero … aku akan pulang sendiri, lebih baik kamu minta jemput pamanmu atau naik bis yang menuju arah rumahmu," ucap Kirana.
Kirana yang terus menolak tawaran Vero, membuat Vero menjadi kecewa, dan menundukkan kepalanya, Vero juga menghentikan langkah kakinya.
Kirana yang masih berjalan, dan menyadari jika Vero menghentikan langkah kakinya, langsung menoleh ke belakang, dan didapati Vero berdiri dengan kepala tertunduk.
"Vero … kenapa kamu berhenti?" tanya Kirana, sambil memperhatikan Vero yang hanya terdiam.
"Aku tidak boleh mengantarkanmu, pasti karena waktu itu aku merepotkanmu, kamu harus mengantarkanku ke rumah, karena aku tidak tahu jalan pulang," ucap Vero, tidak berani menatap wajah Kirana.
Kirana menggelengkan kepalanya, saat mendengar ucapan Vero.
"Bukan begitu, Vero … aku tidak mau diantar olehmu, karena aku tidak mau merepotkanmu, jika harus lebih dulu mengantarku ke rumah, lalu baru pulang ke rumahmu," ucap Kirana, menyanggah ucapan Vero.
Perlahan Vero mendongakkan kepalanya, untuk menatap wajah Kirana. Kirana pun tersenyum tulus padanya.
"Baiklah kalau begitu, tapi bolehkah aku menemanimu saat menunggu bis di halte?" tanya Vero.
Kirana tersenyum dan terkekeh kecil mendengar pertanyaan Vero. Kirana segera menganggukkan kepalanya, untuk menjawab pertanyaan Vero.
Vero terlihat mengembangkan senyumannya lagi, setelah melihat anggukkan kepala Kirana.
"Ayo!" ajak Kirana antusias.
Vero pun menganggukkan kepalanya, sambil tersenyum manis kepada Kirana.
Kini mereka sudah berada di halte sekolah, Kirana mendapat biaya bis khusus dari sekolahnya, karena pihak sekolah mengetahui bahwa dirinya selalu berangkat dan pulang sekolah dengan berjalan kaki.
Tiba-tiba, saat Vero dan Kirana masih duduk di halte, hujan turun begitu lebatnya, membuat Vero dan Kirana harus menunggu dalam kedinginan.
Vero yang melihat Kirana nampak kedinginan, langsung melepaskan sweater miliknya, kemudian memberikannya kepada Kirana, yang tidak berhenti menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya.
Kirana yang melihat itu pun, langsung terdiam dalam derasnya hujan. Melihat Kirana yang tidak kunjung menerima sweater yang ia pinjamkan, membuat Vero langsung memakaikannya pada Kirana.
Setelah memakaikan sweater miliknya, tidak lupa Vero menggosok kedua telapak tangannya, kemudian menempelkannya pada Kirana.
Kirana yang sejak tadi hanya terdiam, dan memperhatikan perhatian Vero kepadanya pun, hanya terus menatap wajah Vero.
"Hangat…." gumam Kirana, namun masih terdengar oleh Vero, meskipun suara jatuhnya air hujan terdengar begitu keras di telinga, namun karena jarak Vero dan Kirana yang begitu dekat, membuat Vero masih bisa mendengarnya.
Vero kemudian balik memperhatikan setiap inci wajah Kirana, sambil tersenyum manis. Tangan Vero juga masih tertangkup pada wajah Kirana yang begitu lembut pipinya itu.
Kirana yang sadar jika ucapannya bisa didengar oleh Vero, pipinya langsung memerah karena tersipu malu.
Kirana yang tidak bisa menyembunyikan perasaan malunya, langsung mengalihkan wajahnya dari Vero.
"Kirana … apakah kamu tahu?" tanya Vero, mencoba membuat Kirana menatapnya lagi.
dan benar, Kirana langsung menoleh pada Vero, meskipun masih terlihat jelas pipi meronanya.
"Apa itu?" tanya Kirana penasaran.
"Aku selalu tidak menyukai cuaca hujan, karena ia selalu menampilkan keadaan yang begitu suram menurutku. Tapi kali ini, aku jadi tahu … hujan tidak pernah menakutkan, jika kita bersama orang yang kita sayangi," ucap Vero.
Kirana yang memperhatikan wajah Vero dan mendengarkan dengan seksama ucapan Vero di tengah derasnya hujan.
Wajah Kirana kembali memerah mendengar ucapan Vero.
"Vero … aku juga ingin mengatakan sesuatu, jika kamu tidak menyukai hujan, justru sebaliknya, aku begitu menyukai hujan, karena setelah hujan, banyak tumbuhan yang kembali segar, banyak tanaman yang tumbuh, dan aku begitu menyukainya," ucap Kirana.
Vero memperhatikan ekspresi wajah Kirana, saat dirinya mengatakan pernyataannya tentang hujan.
"Vero … apa aku boleh bertanya sesuatu padamu?" tanya Kirana.
Tanpa pikir panjang, Vero langsung menganggukkan kepalanya.
"Aku tahu masa lalumu sangat lah berat untuk dijalani, bahkan jika aku yang jadi kamu, mungkin aku sudah tidak sanggup untuk menjalaninya," ucap Kirana mengawali pembicaraan.
Vero mendengarkan semua ucapan Kirana, sambil memikirkan apa yang Kirana akan tanyakan padanya.
"Lalu … aku ingin bertanya, kenapa kamu tetap kuat sampai saat ini?" tanya Kirana dengan penuh kehati-hatian.
Vero yang mendengar pertanyaan Kirana pun, wajahnya langsung berubah menjadi sendu.
"Ada apa Vero? Apa pertanyaanku ada yang menyakitimu atau menyinggungmu, atau bahkan tidak pantas?" tanya Kirana dengan ekspresi bingung.
Vero menggelengkan kepalanya, dengan ekspresi sendu yang ia pasang di wajahnya.
"Kalau begitu, kamu tidak perlu menjawabnya Vero, tadi aku hanya ingin tahu saja," ucap Kirana.
Vero kembali menggelengkan kepalanya, sehingga membuat Kirana bingung. Sebenarnya apa yang dimaksud Vero, kenapa Vero sejak tadi terus menggeleng.
"Aku akan menjawabnya, untukmu," ucap Vero sambil menatap wajah Kirana yang menampilkan rasa bersalah.
"Tidak perlu, Vero … kamu tidak perlu menceritakannya padaku," ucap Kirana.
Vero memegang kedua pundak Kirana, dengan tatapan meyakinkan Kirana. Kirana yang melihat Vero berusaha meyakinkannya, membuatnya langsung kembali rileks.
"Mungkin jika kamu mengatakan bahwa aku terlihat kuat, jawabannya adalah salah, karena sebenarnya aku adalah orang yang sangat lemah, namun di setiap aku ingin menyerah, kata-kata terakhir yang bundaku katakan sebelum ia meninggal, selalu terngiang di telingaku, sehingga membuatku mengurungkan niatku untuk menyerah," jelas Vero.
"dan yang paling penting lagi adalah, Paman Rudolf … dia adalah orang yang selalu melindungiku, menjagaku, merawatku, sejak aku umur lima tahun, sampai-sampai ia harus merelakan kekasihnya demi aku," tambah Vero.
Kirana yang mendengar cerita Vero pun, menganggukkan kepala paham. Namun Kirana merasa merasa bersalah, karena harus mengingatkan Vero kepada bundanya lagi, dan mengingat kejadian pelik di masa lalu Vero.
"Maafkan aku, Vero … karena aku, kamu harus mengenang kenangan pahitmu di masa lalu," ucap Kirana sambil memperhatikan wajah Vero yang memerah, serta matanya yang berkaca-kaca.
"Tidak apa-apa, Kirana … terima kasih karena sudah mau peduli padaku," ucap Vero.
"Sama-sama, Vero … tapi apakah aku boleh bertanya satu pertanyaan lagi?" tanya Kirana.
"Silakan," jawab Vero.
"Maaf Vero, bukan bermaksud apa pun, tapi apakah kamu mendekatiku, karena aku mirip sekali dengan bundamu?" tanya Kirana dengan nada yang begitu hati-hati.
Namun saat Vero akan menjawab pertanyaan Kirana, suara klakson mobil terdengar di telinga mereka, sehingga membuat Vero dan Kirana langsung menoleh pada mobil yang berhenti di depan halte itu.
"Vero, Kirana … ayo cepat masuk ke mobil," ucap Rudolf di dalam mobil, dengan membuka sedikit kaca jendela mobilnya.
Vero yang melihat itu pun, langsung mengangguk paham, sambil meraih tangan Kirana, kemudian menggenggam tangan Kirana untuk diajak masuk ke mobil.
Akhirnya Vero dan Kirana berhasil untuk masuk ke mobil. dan pertanyaan yang tadinya akan dijawab oleh Vero pun, menjadi terlupakan.
Vero dan Kirana sedikit basah, karena harus melewati hujan sedikit dari halte dan mobil.
Kini Vero dan Kirana menuju ke rumah Kirana, dengan diantar oleh Paman Rudolf.
"Paman…." panggil Vero dari kursi belakang.
"Iya, Ver…." tanya Rudolf, disela kegiatan mengemudinya.
"Bagaiman paman bisa menjemputku? Bukankah saat berangkat tadi, paman mengatakan jika hari ini ada rapat yang penting bagi perusahaan," tanya Vero.
"Tidak apa-apa, Vero … masih banyak bawahan paman yang menggantikannya, karena paman tidak mau keponakan paman, pulang hujan-hujanan,"
Kata-kata Rudolf benar-benar menyentuh hati Vero, namun setelah mendengar jawaban Rudolf, Vero hanya terdiam.