Sejak saat Vero diajak oleh pamannya datang kembali ke cafe, tempat kejadian orang tuanya meninggal, kondisi Vero makin memburuk. Vero tidak mau berbicara kepada siapa pun, kecuali pamannya. Bahkan, hal yang paling terburuk adalah, saat usia Vero sudah mengharuskannya untuk sekolah, namun Vero tetap tidak mau untuk sekolah.
Namun, pamannya yang tidak mau menyerah begitu saja dengan keponakannya itu pun, mencoba menakut-nakuti keponakannya itu, dengan mengancamnya. Karena sudah dua tahun Vero berhenti sekolah dan tidak bertemu siapa pun, kecuali Rudolf dan Stev yang selalu mengontrol kondisi Vero setiap minggunya.
"Vero, ayo sarapan," ajak Rudolf, dan terlihat Vero yang hanya terdiam memandang ke arah luar jendela kamarnya.
Kejadian seperti itu, kerap kali terjadi, bahkan sepertinya terjadi setiap hari. Terkadang Rudolf merasa emosi, karena di masa-masa yang seharusnya ia gunakan untuk bersenang-senang, kini harus ia jalani dengan merawat Vero keponakannya.
Karena tidak mendapat jawaban dari Vero, Rudolf pun menghampiri Vero yang hanya terdiam memandang arah luar, dimana kali ini pohon berguguran setelah beberapa bulan lalu, musim panas.
"Vero … apakah kamu mendengar pamanmu yang sangat tampan ini?" tanya Rudolf dengan tingkat kepercayaan diri yang sangat tinggi, sambil mencoba menggoda keponakannya agar mau menanggapinya.
Lagi-lagi nihil, tidak ada jawaban yang Rudolf dapatkan dari keponakannya itu. Rudolf hanya dapat menghela napas pasrah.
"Ayo, Vero … kita sarapan bersama, paman sudah siapkan sereal kesukaanmu," ucap pamannya sambil terus menatap keponakannya.
Kemudian, Vero menatap pamannya dengan tatapan dingin khas miliknya. Namun, Rudolf sudah tidak kaget dengan tatapan itu, karena setiap hari dirinya akan diberi tatapan dingin itu oleh Vero.
Vero langsung berjalan meninggalkan pamannya itu, menuju ke meja makan. Di meja makan, dengan hidangan yang sangat-sangat sederhana, membuat Vero sudah terbiasa dengan menu yang tiap hari kadang tak pernah berganti. Namun, Vero tidak pernah memprotes pamannya itu, karena ia paham jika pamannya itu adalah seorang yang sangat sibuk, pagi-pagi sekali, pamannya harus bangun dan menyiapkan sarapan untuk Vero.
"Maafkan paman--" ucap Rudolf yang telah duduk berhadapan dengan Vero.
"Hanya ini yang bisa paman sediakan untukmu," Vero dengan fasih menirukan kalimat yang setiap pagi ia dengar dari pamannya, saat menyediakan sarapan untuknya.
Rudolf membelalakkan matanya, saat mendengar Vero mengucapkan beberapa kata kepadanya. Meskipun itu terdengar mengesalkan, namun Rudolf begitu bahagia mendengarnya, karena dirinya sudah sangat lama tidak mendengar keponakannya itu berbicara dengan jumlah kata yang cukup banyak seperti tadi.
"Vero … apa paman tidak bermimpi?" tanya pamannya dengan nada tidak percaya.
Namun, Vero tidak menjawab pertanyaan pamannya itu. Kini Vero sedang fokus menikmati sereal kesukaannya.
Rudolf mencubit pipinya beberapa kali, karena masih tidak percaya jika Vero baru saja berbicara padanya.
Setelah yakin, bahwa kejadian itu bukan mimpi, kini Rudolf memperhatikan Vero yang sedang lahap menyendoki sereal di mangkuk putih yang ada di hadapannya.
"Vero … paman ingin mengatakan sesuatu padamu," ucap pamannya sambil terus memperhatikan Vero.
Sejenak Vero menatap pamannya, namun langsung mengalihkan pandangannya pada sereal miliknya yang sebentar lagi akan habis.
"Kamu sudah lama sekali berhenti sekolah--"
Prakkk!!!
Suara bantingan sendok terdengar, sebelum Rudolf menyelesaikan perkataannya. Siapa lagi jika bukan Vero, karena Vero selalu tidak pernah mau jika diminta untuk bersekolah lagi.
Saat itu juga, Vero berdiri dari tempat duduknya dan berniat untuk pergi ke tempat persembunyiannya yang paling aman, yaitu kamar.
"Tunggu Vero! Dengarkan paman baik-baik, paman tidak akan segan-segan bunuh diri dan mati mengenaskan di hadapanmu, seperti yang terjadi pada kedua orang tuamu, jika kamu tidak mau mendengarkan dan menuruti permintaan paman agar kamu mau bersekolah lagi," ancam Rudolf dengan nada yang sangat serius.
Vero yang mendengar ancaman pamannya, langsung menghentikan langkahnya saat itu juga.
"Ingat itu baik-baik, Vero! Paman tidak main-main," Rudolf kembali memperingatkan keponakannya itu.
Vero terdiam sejenak memikirkan ucapan pamannya yang terdengar begitu serius di telinganya. Kemudian beberapa saat, Vero teringat kejadian tragi situ lagi. Namun, karena suara sentakan dari pamannya, ia langsung terbangun dari alam ingatannya.
"Vero!" seru pamannya.
Vero langsung gelagapan mendengar sentakan pamannya yang memanggil namanya.
"Baiklah, aku akan bersekolah, tapi aku mau bersekolah di rumah saja, paman," jawab Vero dengan cepat yang ada dipikirannya.
Meskipun begitu, Rudolf tetap bersyukur karena keponakannya itu mau menuruti permintaannya. Meski harus home schooling, namun itu tidak begitu buruk, Rudolf ingat perkataan Stev, jika penyembuhan Vero membutuhkan waktu dan kesabaran.
"Baiklah kalau begitu, tapi kamu harus ikut dengan paman ke pasar hari ini," jawab pamannya.
Vero kembali berpikir sejenak. "Tidak! Aku tidak ikut," jawab Vero dengan penuh penekanan.
Mengingat pasar adalah tempat yang sangat ramai, sehingga membuat Vero tidak mungkin mendatangi tempat itu.
"Sepertinya paman belum satu jam mengingatkan tentang ancaman paman untukmu, Vero," ucap Rudolf sembari menatap wajah Vero yang sangat gugup, akibat memikirkan situasi dan keadaan di pasar.
Ancaman demi ancaman terus terlontar dari mulut Rudolf. Membuat Vero berpikir dua kali dalam bertindak.
"Jangan terlalu lama!" jawab Vero dengan terpaksa.
Rudolf pun, tersenyum penuh kemenangan setelah mendengar jawaban Vero. dan langsung merangkul keponakannya itu.
"Kalau begitu ganti bajumu, lalu langsung ke garasi, kita berangkat sekarang," ucap Rudolf.
Vero tidak menjawabnya lagi, ia hanya langsung bergegas menuju kamarnya, untuk segera bersiap-siap.
Kini Rudolf yang sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil pun, tengah menunggu keponakannya yang sangat ia sayangi.
Tanpa aba-aba, Vero masuk dengan santai. Seketika Rudolf menoleh ke arah Vero yang baru saja memasuki mobil.
Dan saat itu pula, Rudolf langsung tertawa dengan kerasnya, sampai membuat Vero mengerutkan keningnya dalam.
"Kenapa kamu seperti mata-mata yang sedang menyamar, Vero?" tanya Rudolf disela-sela tawanya.
Vero langsung memperhatikan gaya berpakaiannya. Memang gaya pakaian yang dikenakan oleh Vero benar-benar sangat tertutup, sehingga membuat Rudolf tidak bisa menahan tawanya.
Vero mengenakan jaket berbahan kulit dengan kupluk yang dapat dikenakan di kepalanya. Serta dengan tambahan topi berwarna hitam yang makin membuat Vero terlihat lucu bagi Rudolf.
"Kalau begitu, aku tidak jadi ikut, paman," jawab Vero sambil memperhatikan pamannya yang terus saja tertawa.
Seketika Rudolf menghentikan tawanya. "Tunggu, kita akan berangkat sekarang," ucap Rudolf sambil menahan tawanya dan menghidupkan mobilnya.
Setelah perjalanan yang cukup jauh, Vero dan pamannya pun, sampai di pasar tradisional yang paling terkenal di daerah bagiannya.
Sebelum keluar dari mobil, Vero memandang ke sekeliling tempat yang kini ia akan kunjungi itu. Hilir mudik orang-orang yang sibuk dengan kegiatan masing-masing, makin membuat Vero merasakan keringat dinginnya mengalir di punggungnnya.
Rudolf yang akan keluar dari mobil pun, dicegah oleh Vero yang masih terpaku di tempat duduknya.
"Paman, bolehkah aku menunggu di dalam mobil saja?" tanya Vero sambil memperhatikan lalu lalang orang.
"Tidak boleh, kamu harus ikut dengan paman," jawab Vero dengan tegas.
Vero hanya dapat meneguk salivanya dan pasrah dengan semua yang akan terjadi. Melihat pamannya sudah keluar dari mobil dan menutup pintu mobilnya, Vero segera menyusul pamannya dengan berlari seperti orang yang sedang dikejar sebagai pencuri.
Vero berkali-kali menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan keadaan, meskipun dirinya sudah berdampingan dengan pamannya.
Namun, dengan tidak sengaja, mata Vero menemukan sesuatu yang membuat dirinya kaget dan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Vero terus menatap gadis yang mengalihkan perhatiannya. Sampai tanpa sadar dirinya berjalan menjauh dari pamannya yang sedang asik membeli beberapa kebutuhan bulanan untuk mereka.
Vero terus mengikuti kemana gadis itu pergi, dan langkahnya terhenti ketika seseorang mengatakan sesuatu dan menatapnya dengan mata sinis.
"Siapa kamu?!" tanya gadis yang mengalihkan perhatian Vero itu.
Vero pun, menghentikan langkahnya dengan cekatan. Namun, ia tidak dapat berkata apa-apa di depan gadis yang terlihat seumuran dengannya itu.
"Kamu mau mencuri ya?!" tanya gadis itu lagi dengan nada tak suka.
Namun, lagi-lagi Vero hanya menjawab pertanyaan gadis itu, dengan gelengan kepala. Mata Vero malah terus memperhatikan wajah gadis itu.
"Atau kamu penguntit? Gayamu aneh, nampak seperti mata-mata," tuduh gadis itu.
Mendengar kata mata-mata, Vero langsung tersadar dari pandangannya. dan saat itu juga, ia mendapati tatapan sinis dari seorang gadis di hadapannya itu.
Vero benar-benar malu dan tidak tahu harus berbuat apa saat itu, Vero hanya dapat menggaruk tekuknya yang sebenarnya sama sekali tidak gatal. Ia benar-benar gugup saat ini, dan tidak tahu harus berbuat apa.
Melihat gerak-gerik Vero yang tidak menunjukkan bahwa dirinya bukan seorang pencuri, gadis itu berpikiran jika laki-laki yang terlihat sebaya dengannya itu, adalah seorang yang pemalu.
Gadis itu, mencoba menghilangkan tatapan tajamnya. Ia kini memasang wajah biasa saja.
"Perkenalkan namaku, Kirana. Aku bersekolah di Bodwell High School, aku orang asli sini, kalau kamu?"
Bukannya menjawab pertanyaan gadis cantik bernama Kirana itu, Vero malah berlari meninggalkan gadis itu menuju pamannya. Saat gadis itu memperkenalkan namanya, membuat jantung Vero berdetak lebih cepat dari biasanya, membuatnya merasa sangat gugup.
Sedangkan gadis itu hanya mengerutkan keningnya, sembari memandangi punggung Vero yang berlari secepat kilat.