Setelah sampai di rumah, Rudolf membawa barang-barang dan beberapa tas belanjaan yang ia beli dari pasar tadi.
"Vero, tolong bawakan tas berisi buah ke dalam, ya!" perintah Rudolf yang terlihat sedikit kewalahan dengan barang bawaan yang cukup banyak.
Dengan cepat, Vero langsung mengambil tas yang dimaksud oleh pamannya, dan membawa tas itu sesuai dengan yang diperintahkan oleh pamannya.
Rudolf mengerutkan keningnya bingung. Mengapa keponakannya itu terlihat sedikit berbeda setelah pulang dari pasar.
Rudolf langsung mengikuti jalan keponakannya itu menuju dapur. dan benar saja, setelah Vero meletakkan tas buah di meja dapur, Vero membuka pembicaraan dengan pamannya itu.
"Paman," panggil Vero dengan nada malu-malu.
Rudolf yang sedang merapikan barang-barang dari pasar itu pun, tersentak mendengar keponakannya memanggilnya.
Saat itu juga, Rudolf langsung menghentikan kegiatannya, dan fokus memperhatikan keponakannya yang kini sedang menatapnya dengan tatapan malu-malu.
"Sepertinya aku harus sering-sering mengajakmu ke pasar," ucap Rudolf yang masih tidak percaya.
Namun, sebelum keponakannya berubah pikiran, Rudolf langsung menggelengkan kepala untuk kembali fokus pada pembicaraannya dengan keponakannya itu.
"Ada apa, Vero?" tanya Rudolf dengan suara yang lembut, membuat Vero sedikit memicingkan matanya.
"Bolehkah aku bersekolah di Bodwell High School saja?" tanya Vero dengan wajah serius.
Seketika Rudolf langsung membuka mulutnya tidak percaya dengan apa yang keponakannya katakan kepadanya.
"Bodwell High School … apa paman tidak salah dengar, Vero?" tanya pamannya dengan mata yang membelalak.
Vero hanya menjawab pertanyaan pamannya itu dengan menggelengkan kepalanya.
"Tapi kenapa tiba-tiba kamu mau bersekolah di sana?" tanya pamannya penasaran.
"Di sana sekolah umum yang banyak sekali muridnya Vero," tambah pamannya, kembali meyakinkan keponakannya itu.
Namun, Vero tidak menjawab pertanyaan pamannya itu. Karena pamannya mungkin akan menertawakannya jika ia beritahu alasannya ingin bersekolah di sana.
Rudolf mengerutkan keningnya dan terus memikirkan apa yang menjadi alasan Vero mau bersekolah di sekolah umum yang sangat terkenal itu.
"Apakah kamu benar-benar yakin--"
Belum selesai Rudolf mengatakan pertanyaannya, Vero sudah lebih dulu menyela pembicaraannya.
"Apakah paman tidak sanggup membiayaiku sekolah disana?" tanya Vero ragu-ragu sambil menundukkan kepalanya.
Rudolf diam sejenak, kemudian tertawa dengan kerasnya, membuat Vero yang tadinya menundukkan kepalanya, langsung mendongakkan kepalanya melihat wajah pamannya yang sudah berwarna kemerehan karena tertawa dengan kerasnya.
"Mengapa paman tertawa?" tanya Vero dengan tatapan aneh.
Rudolf yang menyadari keponakannya itu tidak menyukai jika dirinya tertawa pun, langsung menghentikan tawanya.
"Ah, tidak. Paman hanya tertawa mendengar pertanyaanmu, padahal kamu ini pewaris tunggal dari dua perusahaan tekstil terbesar di Negara ini, tetapi mengapa kamu takut paman tidak bisa membiayaimu," jelas pamannya.
Namun Vero tidak menanggapi penjelasan Rudolf. Ia hanya terlihat berpikir sejenak.
"Paman…." panggil Vero lagi.
"Iya," jawab Rudolf dengan wajah serius dan senyuman manis kepada keponakannya itu.
"Apa yang harus aku siapkan, untuk bersekolah?" tanya Vero dengan malu-malu.
Kali ini Rudolf benar-benar tidak bisa menyembunyikan perasaan senangnya, ia seperti mendapatkan sesuatu yang sangat berharga baginya, karena Vero benar-benar berniat untuk sekolah.
"Kalau begitu, kita harus ke pusat perbelanjaan, untuk membeli pakaian dan peralatan sekolahmu, kemudian besok paman akan antarkan kamu ke sekolah untuk mendaftar," jawab pamannya dengan berlutut sambil memandang wajah Vero antusias.
Vero mengangguk paham, kemudian setelah merapikan semua barang yang telah mereka beli dari pasar, akhirnya Vero dan pamannya pun, bergegas untuk pergi ke pusat perbelanjaan yang jaraknya sekitar tiga kilometer dari rumah mereka.
Sesampai di pusat perbelanjaan, Vero kembali tertegun di dalam mobil, ketika pamannya sudah bersiap untuk turun dari mobil.
"Ayo, Vero!" ajak Rudolf menyadarkan Vero yang masih terdiam di tempat duduknya.
Vero menoleh pamannya. "Apakah aku benar-benar harus ikut?" tanya Vero sambil memandang ke arah lalu lalang orang dari kaca mobil.
Rudolf menghela napasnya. Ia pikir, Vero sudah benar-benar tidak takut jika bertemu dengan orang lain, namun ternyata Vero masih takut jika melihat keramaian. Tetapi tidak masalah untuk Rudolf, yang terpenting Vero mau untuk bersekolah lagi.
"Ayo!" ajak pamannya lagi.
Kemudian Vero melepas sealbet dari tubuhnya, dan membuka pintu mobil perlahan.
Akhirnya, kedua pria yang terlihat seperti kakak beradik itu pun, masuk ke pusat perbelanjaan tersebut. Mereka menyusuri toko-toko dengan segala macam barang yang dijual disana.
Sampailah mereka pada satu toko peralatan sekolah terbesar dan terkenal di pusat perbelanjaan itu. Rudolf langsung masuk ke toko tersebut. Sedangkan Vero yang melihat banyak orang di dalam toko tersebut, masih tertegun di depan toko itu.
Rudolf yang menoleh ke belakang untuk memastikan keberadaan keponakannya pun, mendapati Vero masih berdiri di luar toko tersebut.
"Kemari," ucap Rudolf sambil mengisyaratkan Vero untuk ikut bersamanya, dengan lambaian tangan.
Vero yang tadinya tertegun di depan toko tersebut pun, langsung menuruti perintah pamannya, dan menghampiri pamannya dengan cepat.
"Ada yang bisa dibantu, tuan?" tanya pelayan toko dengan ramah.
"Oh, tentu! Saya butuh satu set peralatan sekolah yang lengkap dengan mutu yang baik," jawab Rudolf dengan suara yang sedikit keras, sehingga membuat beberapa ppengunjung toko tersebut dapat mendengar ucapan Rudolf.
"Baik, tuan, jika boleh saya tahu, umur berapakah anak tuan?" tanya pelayan toko itu.
Rudolf yang mendengar pertanyaan pelayan toko itu pun, langsung mengerutkan kening dengan sedikit kesal. Sementara Vero, menahan tawanya dan menutupi mulutnya dengan telapak tangannya.
Melihat Vero yang tertawa, Rudolf langsung tidak jadi marah. Baru kali ini dirinya melihat keponakannya itu tertawa setelah sekian lama.
"Maaf, tuan, berapa umur anak tuan?" tanya pelayan toko itu lagi.
"Umur anak saya, 15tahun," tukas Rudolf dengan terpaksa.
Kemudian pelayan toko langsung mengambilkan barang yang diinginkan oleh Rudolf. Tidah butuh waktu lama, pelayan toko itu, kembali datang dan membawa satu set besar yang di dalamnya telah lengkap dengan pakaian dan peralatan sekolah.
"Terima kasih sudah mencarikan produk yang terbaik untuk anak saya," ucap Rudolf dengan senyuman terpaksa.
Sedangkan Vero kembali menahan tawanya ketika pamannya mengatakan bahwa dirinya adalah anaknya.
"Sama-sama, tuan. Silakan bayar di kasir ya, tuan," ucap pelayan toko tersebut.
Rudolf menghela napasnya, ia berusaha menahan rasa kesalnya pada pelayan toko itu.
"Baiklah," jawab Rudolf kemudian langsung melangkahkan kakinya menuju kasir, untuk membayar barang yang telah dibeli olehnya.
Setelah membayar semuanya, Rudolf membawa satu set barang itu menggunakan trolly menuju mobilnya.
Sedangkan Vero yang mengintili Rudolf, hanya berjalan mengikuti langkah kaki Rudolf.
Namun, saat Rudolf telah membuka bagasi dan memasukan semua barang-barang tadi pun, ia menoleh pada Vero.
Namun, tidak didapati keberadaan Vero disana. Membuat Rudolf sedikit cemas, karena sejak tadi ia hanya berjalan lurus, tanpa menoleh untuk memeriksa Vero di sampingnya.
Lantas Rudolf segera memeriksa di dalam mobil, kalau-kalau Vero sudah lebih dulu masuk ke mobil tanpa sepengetahuan Rudolf. Namun saat dicek, hasilnya pun nihil, Vero tidak berada di dalam mobil. Rudolf sudah mulai kebingungan.
Namun, saat Rudolf membalik badannya, ia mendapati Vero sudah berasa di belakangnya dengan membawa dua buah es krim di kedua tangannya.
Rudolf menghela napas lega, setelah melihat keponakannya baik-baik saja.
"Kemana saja kamu, Vero?" tanya pamannya.
Tanpa menjawab, Vero kemudian memberikan satu buah es krim rasa vanilla kepada pamannya. dan setelah itu, Vero langsung masuk ke dalam mobil tanpa mengatakan apa pun.
Rudolf yang merasa kaget dengan kejadian itu pun, hanya tertegun dengan satu es krim di tangannya.
"Terima kasih, Nak," ucap Rudolf beberapa saat kemudian, namun sudah tidak terdengar oleh Vero yang sudah masuk ke mobil lebiih dulu.
Kemudian Rudolf segera masuk ke mobil juga, untuk kembali ke rumah dengan perasaan bahagia akibat perlakuan keponakannya itu.
Meskipun sebenarnya sepele, namun itu sangat berarti untuk seorang Rudolf yang setiap hari selalu bersama Vero dan tidak pernah mendapat perlakuan seperti itu selama ini.
Bahkan, Rudolf benar-benar akan mengingat dan menyimpan momen itu di dalam ingatannya baik-baik.