Pagi-pagi sekali, Vero telah siap dengan pakaian sekolah yang ia kenakan dengan rapi. Vero memandang dirinya pada pantulan cermin yang ada di kamarnya. Dirinya memperhatikan penampilannya dari atas sampai bawah.
Namun, suara pamannya tiba-tiba menggema masuk ke gendang telinganya yang tadinya merasa tenang, kini berubah menjadi bising dengan suara pamannya yang memanggil-manggil namanya.
"Vero … apakah sudah siap? Jika sudah siap, cepat keluar, kita sarapan, kamu harus datang pagi-pagi karena kamu adalah murid baru," ucap pamannya dari balik pintu kamar Vero.
Dengan malas, Vero menghela napasnya sembari meraih tasnya dan melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya.
Sesampainya di meja makan, Vero langsung duduk di kursi yang biasanya ia duduki setiap melakukan kegiatan makan bersama pamannya.
"Kamu nampak tampan seperti paman, Vero," ucap Rudolf yang terkesima dengan penampilan Vero yang terlihat sangat rapi mengenakan pakaian sekolah yang kemarin mereka beli bersama.
Vero hanya menggeleng sambil terus menyendok semangkuk sereal yang ada di hadapannya.
"Ah, kamu benar-benar tidak bisa diajak bercanda, Vero. Tapi tidak apa, yang terpenting kamu mau sekolah lagi sekarang," ucap pamannya sembari menyeruput secangkir kopi.
Setelah menyelesaikan kegiatan sarapan, Vero yang diantar oleh pamannya menuju sekolah pun, terlihat begitu gugup duduk di samping Rudolf yang tengah menyetir mobil.
"Apa kamu gugup, Vero?" tanya Rudolf disela-sela mengemudi.
Vero menganggukkan kepalanya sembari mengembuskan napasnya, mendengar pertanyaan pamannya.
"Tenang saja, semuanya akan senang berteman denganmu nanti, asalkan kamu mau berteman baik juga dengan mereka," ucap pamannya meyakinkan Vero.
Setelah beberapa menit di perjalanan, Vero beserta pamannya sampai di sekolah yang mereka tuju. Vero langsung ikut keluar bersama pamannya, dengan berjalan malu-malu tepat di samping pamannya. Karena sudah cukup banyak siswa dan siswi yang berlalu lalang di koridor kelas, membuat Vero berjalan dengan menundukkan kepalanya.
Vero dan pamannya menuju kantor atau ruang guru, untuk mendaftarkan Vero terlebih dahulu. Setelah masuk dan bertemu dengan wali kelas Vero, serta menyelesaikan beberapa administrasi, Vero pun, diantar menuju ke kelas oleh wali kelasnya.
Saat masuk ke kelas, murid-murid langsung duduk dengan rapi pada tempat duduknya masing-masing.
Vero yang sangat malu karena menjadi perhatian murid satu kelas itu pun, hanya dapat menundukkan kepalanya. Sampai pada saat wali kelas memintanya untuk memperkenalkan diri di hadapan teman sekelasnya.
Deggg….
Inilah hal yang paling ditakutkan oleh Vero, yaitu berbicara di depan orang banyak.
"Ayo, Nak silakan perkenalkan namamu pada teman sekelasmu," ucap wali kelasnya, kembali mengingatkan Vero yang masih saja terdiam dan menundukkan kepalanya.
"Kamu pria yang tempo hari di pasar, 'kan?" tanya seorang murid perempuan yang duduk di barisan kedua dengan lantangnya dan penuh percaya diri.
Namun, Vero mengenali suara itu, sehingga membuatnya buru-buru mendongakkan kepalanya, dan mencari sumber suara itu berasal. Saat ia mencari gadis yang ia cari itu, ia mendapati gadis yang ia temui di pasar kemarin, duduk dengan tatapan penasaran.
Tapi, entah mengapa tiba-tiba, seperti ada semangat dan rasa percaya diri yang muncul di dalam diri Vero, setelah mendengar dan melihat gadis yang ia temui di pasar kemarin.
"Iya," jawab Vero singkat.
"Wah, ternyata Vero dan Kirana sudah saling kenal?" tanya wali kelasnya.
"Iya bu," jawab Kirana sopan.
"Tapi, Vero harus memperkenalkan dirimu kepada teman-teman yang lain, agar yang lain juga mengenalmu, Vero," ucap wali kelasnya.
"Baik, bu," jawab Vero.
Kemudian dengan percaya diri, Vero berdiri dengan tegap dan memandang ke seluruh penjuru kelas, namun tidak berselang lama, ia malah tidak bisa lepas menatap Kirana.
"Selamat pagi, perkenalkan namaku Vero, aku tinggal di kota Vancouver, aku harap kalian bisa berteman baik denganku," ucap Vero memperkenalkan diri.
Sedangkan Kirana yang sejak tadi ditatap oleh Vero pun, juga balik menatap Vero dengan penasaran.
"Baik, ibu rasa perkenalannya sudah cukup, Vero kamu boleh duduk di samping Kirana, karena kursi di samping Kirana kosong," ucap wali kelasnya mempersilakan Vero untuk duduk.
Setelah wali kelasnya meninggalkan kelas, kelas kembali riuh dengan siswa-siswi yang berbincang-bincang dan berlari ke sana dan kemari, Vero mulai gugup duduk di dekat gadis yang membuat jantungnya berdetak lebih kencang tiap kali menatap matanya.
Namun di samping itu, Vero sangat senang bisa satu sekolah bahkan yang tidak ia sangka, ia malah satu tempat duduk dengan gadis itu.
"Kenapa saat di pasar, kamu lari saat aku ajak berkenalan?" tanya Kirana dengan lugunya, membangunkan Vero dari lamunannya.
Kali ini Vero benar-benar tidak tahu harus menjawab apa, namun saat dirinya akan membuka mulut untuk menjawab pertanyaan gadis bernama Kirana itu, guru yang mengajar pelajaran matematika pun datang.
"Kita lanjutkan mengobrolnya nanti saja," ucap Kirana dengan berbisik ke dekat telinga Vero.
Kali ini, rasanya jantung Vero benar-benar ingin copot saat itu juga. Ia dapat merasakan napas Kirana memantul ke telinganya. Namun dengan cepat, Vero segera menstabilkan detak jantungnya, dan mengikuti pelajaran dengan baik, dengan sesekali mencuri-curi pandang pada Kirana yang duduk tepat di sampingnya.
"Baiklah anak-anak, pelajaran hari ini telah selesai, ibu beri kalian tugas PR di buku cetak halaman 47, dikumpulkan minggu depan, sampai bertemu minggu depan," ucap guru matematika yang telah selesai menyampaikan materi.
Vero yang sejak tadi tidak bisa fokus karena terus saja memperhatikan Kirana pun, tidak sadar jika kini dirinya terus memandangi wajah Kirana. Sementara Kirana yang ditatap oleh Vero pun, merasa bingung dengan sikap Vero tersebut.
"Hei, kenapa kamu menatapku seperti itu?" tanya Kirana sambil melambaikan tangannya ke depan wajah Vero.
Vero pun langsung tersentak kaget. Ia gelagapan, dan Kirana yang melihat itu pun, terkekeh.
"Sejak kemarin kamu selalu memandangiku, apa ada yang aneh dengan wajahku?" tanya Kirana sambil memegangi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Ah, tidak-tidak, aku hanya sedang tidak fokus saja," jawab Vero dengan sangat gugup.
Kirana yang sangat lugu dan polo situ pun, hanya mengangguk dan tidak membahasnya kembali.
"Apa kamu lapar?" tanya Kirana dengan wajah antusias.
Dengan santainya Vero hanya menggelengkan kepalanya.
Kini hanya tinggal Vero dan Kirana yang ada di kelas, sedangkan yang lain sudah lebih dulu keluar kelas untuk memanfaatkan waktu sesuai keinginan mereka.
"Aku lapar, ayo kita makan di kantin?" ajak Kirana sambil berdiri dari kursinya dengan senyum manisnya.
Vero hanya terdiam dan tidak menjawab pertanyaan Kirana.
Kirana menghela napasnya, kini Kirana benar-benar yakin jika Vero adalah orang yang sangat pemalu.
"Kalau begitu, aku juga tidak akan ke kantin," ucap Kirana pasrah dan kembali duduk di kursinya.
Vero menoleh pada Kirana dan kembali menatap mata Kirana yang sedikit belok dengan kornea mata berwarna coklat.
"Apa kamu mau mengajariku mengerjakan PR matematika tadi?" tanya Vero memulai pembicaraan dengan ragu-ragu, sampai terdengar jelas jika suaranya sedikit bergetar karena gugup.
"Tentu saja, dimana alamat rumahmu? Biar saat aku ke sana naik sepeda, aku tak kesulitan mencarinya," tanya Kirana sembari menjelaskan secara singkat.
Kirana memang sangat suka mengendarai sepeda, bahkan untuk bersekolah pun, Kirana mengendarai sepeda, walaupun sebenarnya jarak antara rumah dan sekolah cukup jauh.
"Kita satu desa, rumahku adalah rumah besar bercat warna abu-abu yang ada di kaki Gunung Rocky, pasti kamu tahu itu," ucap Vero.
Kemudian Kirana segera mengangguk mendengar penjelasan Vero, karena ia sudah paham dengan daerah di dekat tempat tinggalnya, ia memang sering melewati rumah itu, karena itu memang jalur bersepedanya.
"Baiklah kalau begitu, setelah pulang sekolah dan pulang ke rumah untuk mengganti pakaianku, aku akan berkujung ke rumahmu," ucap Kirana tanpa pikir panjang.
Kirana memang siswa berprestasi di sekolah itu, bahkan dirinya mendapat beasiswa penuh dari sekolah itu, sehingga dirinya tidak perlu memikirnkan biaya sekolah.
Tidak salah jika banyak para pria yang mencoba mendekati gadis secantik dan sepintar Kirana. Namun, dengan sikap dinginnya pada pria yang mencoba mendekatinya, membuatnya tidak mudah untuk didapatkan oleh sembarang pria, termasuk Levi, siswa terkeren di sekolah itu yang sangat menyukai Kirana.
"Hai Kirana, sedang apa kamu di kelas?" tanya seseorang yang baru saja masuk ke kelas.