"Ayah, bunda …." teriak Vero histeris sambil terduduk di sudut kamarnya dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Rudolf yang mendengar teriakan itu pun, langsung berlari menuju kamar Vero. dan saat dirinya membuka kamar Vero, dirinya mendapati keponakannya terduduk dan nampak sangat ketakutan. Rudolf pun, langsung menghampiri keponakannya itu.
"Ada apa Vero? Kenapa kamu berteriak?" tanya pamannya bertubi-tubi dan nampak khawatir melihat kondisi keponakannya itu.
Namun, tak ada jawaban dari Vero. Vero hanya terus menangis sambil menutupi wajahnya dengan rapat.
"Ayah, bunda, Vero takut," ucap Vero disela tangisannya.
Rudolf yang mendengar itu pun, menghela napasnya. Kemudian mencoba menenangkan keponakannya itu.
"Vero … masih ingat, paman akan mengajakmu ke suatu tempat?" tanya pamannya.
Vero tak menjawab. Namun, tangisannya melirih.
"Paman akan mengajakmu ke tempat yang sangat indah jika di lihat di musim dingin seperti ini," ucap pamannya.
Setelah mendengar ucapan pamannya yang menarik bagi Vero. Vero segera menghentikan tangisannya. Kemudian perlahan, Vero membuka wajahnya yang ia tutupi dengan telapak tangannya.
Rudolf sedikit lega, melihat keponakannya itu dapat tenang setelah mendengar ucapannya.
"Vero … paman tahu, ini sangat berat untukmu. Tapi, paman yakin, bahwa kamu bisa melewati ini semua," ucap Rudolf sambil memandang lekat-lekat wajah sembab keponakannya itu.
"Apa kamu mau ikut bersama paman?" tanya Rudolf dengan wajah penuh antusias.
Vero tak menjawab pertanyaan pamannya. Namun, beberapa detik kemudian, Vero menganggukkan kepalanya perlahan, dan seketika membuat Rudolf merasa sangat lega.
"Baiklah, kalau begitu, kamu harus memakai jaket tebal agar tidak kedinginan," ucap Rudolf sambil meraih jaket berwarna coklat dengan hiasan bulu-bulu di bagian leher, milik Vero.
Rudolf segera memakaikan jaket itu kepada Vero. Kemudian menggendong Vero dengan sangat antusias. Rudolf membawa Vero ke dalam mobilnya. Kemudian langsung menghidupkan mobilnya, dan membawa Vero ke tempat yang Rudolf maksud.
"Kita akan kemana?" tanya Vero tanpa menoleh kepada pamannya.
"Kita akan mengunjungi suatu tempat," jawab pamannya sembari fokus dengan kegiatan menyetirnya.
Mobil itu kini terparkir di depan sebuah cafe yang tidak asing bagi Vero. Benar, Rudolf benar-benar membawanya ke cafe tempat kejadian pembunuhan ayah dan ibu Vero waktu itu.
"Kenapa paman membawaku kemari?" tanya Vero yang sudah tak fokus lagi, akibat memorinya terus saja memutar kejadian malam itu.
"Kita akan meniup lilin ulang tahunmu, yang belum sempat kamu tiup waktu itu," jawab Rudolf yang telah memarkirkan mobilnya dengan sempurna, dan kini memandang wajah keponakannya itu yang terlihat sangat tertekan dan ketakutan.
"Tidak, aku tidak mau masuk ke tempat itu!" tegas Vero.
"Jika kau tidak mau ikut, apa kamu berani, disini sendirian?" tanya Rudolf mencoba menakut-nakuti keponakannya itu, agar mau ikut masuk bersamanya.
Vero hanya terdiam, dan tidak menjawab ucapan Rudolf.
"Kalau begitu, biar aku saja yang akan meniup lilin milikmu," ucap Rudolf sambil berpura-pura membuka pintu mobil.
Namun, saat itu juga, Vero mencegah Rudolf untuk turun dari mobil.
"Tunggu, paman," ucap Vero dengan suara yang terdengar bergetar karena sangat ketakutan.
Rudolf menoleh kepada Vero. Terlihat wajah Vero yang bercucuran keringat, dan sangat terlihat raut ketakutannya.
"A-aku ikut de-denganmu," ucap Vero dengan terbata-bata.
Sementara Rudolf terlihat menyunggingkan senyum kecil di bibirnya.
"Baiklah, kalau begitu kita akan meniup lilinnya bersama-sama," jawab Rudolf.
Vero dan pamannya berjalan pada pelataran cafe yang tertutupi oleh salju yang cukup tebal. Vero melangkahkan kakinya ragu-ragu. Namun, Rudolf terus menggandeng tangannya sambil memberi keyakinan pada Vero.
Akhirnya, Vero bersama pamannya sudah berada di dalam cafe tersebut. Suasana cafe itu, terlihat tidak begitu ramai, karena ini adalah siang hari. Sehingga membuat pengunjung cafe belum banyak berdatangan.
Namun, Vero melihat seorang lelaki memakai jas berwarna hitam, dengan potongan rambut yang sangat rapih, duduk di meja yang ia duduki saat kejadian pembunuhan orang tuanya terjadi.
Vero kembali mengingat semua kejadian malam itu. Tangan dan kakinya bergetar hebat, sampai dirinya tidak sadar jika dipanggil oleh pamannya sejak tadi.
"Ayah, Bunda…." teriak Vero kemudian terduduk di lantai cafe itu.
Beruntung hanya ada Vero dan Rudolf beserta laki-laki yang dilihat Vero tadi yang ada di cafe itu. Sehingga tidak membuat mereka menjadi bahan perhatian orang lain.
"Bagaimana ini, Stev?" tanya Rudolf pada laki-laki berkemeja hitam yang dilihat oleh Vero tadi, yang tidak lain adalah teman Vero yang bekerja sebagai psikiater.
Rudolf sengaja menelpon temannya itu, untuk menanyakan kondisi keponakannya yang menurutnya ada sesuatu yang aneh pada keponakannya itu.
"Tetap tenang, kita harus membuatnya tenang," jawab Stev.
"Vero, lihat paman. Paman ada disini bersamamu," ucap Rudolf berusaha menenangkan Vero.
Stev menganggukkan kepalanya pada Rudolf, agar menyerahkan Vero padanya.
"Vero … apakah kamu suka bermain ski?" tanya Stev dengan nada bicara sangat lembut.
Tidak ada jawaban dari Vero, namun beberapa detik kemudian, Vero mendongakkan kepalanya, melihat Stev.
"Hei, perkenalkan namaku Stev. Kamu boleh memanggilku dengan sebutan paman, atau panggil saja namaku, Stev," Stev memperkenalkan dirinya pada Vero, dan berusaha mengalihkan pikiran Vero tentang kejadian itu.
"Apakah, kamu teman pamanku?" tanya Vero dengan polosnya.
"Ya, tentu saja. Aku teman pamanmu," jawab Stev dengan cepat.
"Dan kamu suka bermain ski?" tanya Vero lagi.
Kemudian Stev menjawab dengan anggukan. Beruntung, ia memilih bahasan yang tepat untuk Vero, sehingga membuatnya tertarik untuk bicara.
"Kalau begitu, apa kamu mau duduk bersamaku disana?" Stev menunjuk meja tempatnya duduk tadi.
Vero terlihat berpikir sejenak, untuk menjawab pertanyaan Stev.
"Apakah kita bisa duduk di kursi ini saja?" tanya Vero sambil menunjuk meja yang tidak jauh darinya.
Stev memaklumi keinginan Vero. Karena sangat berat untuk Vero menuruti Stev yang mengajaknya duduk di meja cafe tempat kejadian tragi situ.
"Baiklah, kita akan duduk disini saja," jawab Stev sambil tersenyum pada Vero.
Kemudian mereka bertiga duduk di meja dan kursi yang Vero tunjuk tadi.
"Sebenarnya, apa yang terjadi kepada keponakanku, Stev?" tanya Rudolf dengan sedikit berbisik pada Stev.
"Keponakanmu ini, mengalami trauma yang disebut Thantophobia, dimana dirinya merasa sangat ketakutan karena kehilangan orang yang ia cintai," jelas Stev sambil memperhatikan Vero yang sedang menyendok satu mangkuk sereal dengan susu panas kesukaan Vero.
"Apakah itu bisa disembuhkan, Stev?" tanya Rudolf dengan perasaan harap-harap cemas.
"Itu tergantung bagaimana keponakanmu, Dofl. Jika dirinya bisa membuat trauma itu menjadi kejadian biasa, maka semuanya akan berjalan normal seperti biasanya," jawab Stev.
Rudolf tampak menghela napasnya gusar.
"Apakah ada cara agar membantu proses penyembuhannya, Stev?" tanya Rudolf.
"Sepertinya, kamu harus membuatnya mau bersekolah kembali dan mengenal banyak teman. Sehingga nantinya, ia akan mendapat kenangan baru di memorinya," jawab Stev.
Rudolf menganggukkan kepalanya paham. Ia bersyukur, karena itu masih bisa disembuhkan. Karena Rudolf sangat memikirkan nasib keponakannya yang malang itu.
"Nanti kamu akan ku hubungi lagi, untuk jadwal keponakanmu berkonsultasi denganku," ucap Stev.
"Baiklah, Stev, aku percayakan semuanya padamu," ucap Rudolf yang nampak pasrah pada Stev.
Sedangkan Vero, tetap fokus menikmati sereal kesukaannya itu. Vero menjadi anak yang lebih suka menyendiri dan tidak suka tempat yang ramai. Sehingga membuat pamannya merasa khawatir dengan keadaan keponakannya itu.
Kini, Vero dan Rudolf sudah berada di dalam mobil dan sedang menuju ke rumah. Rudolf sedari tadi hanya terdiam memikirkan apa yang disampaikan oleh Stev.
"Thantophobia," ucap Rudolf spontan disela-sela menyetirnya.
Membuat Vero menoleh pada pamannya itu, yang tidak sadar mengucapkan kata-kata yang menurut Vero terdengar asing menurutnya.
"Apakah paman mengumpat?" tanya Vero dengan polosnya.
Rudolf yang sejak tadi terbawa oleh pikirannya pun, kaget saat Vero menanyainya seperti itu.
"Ada apa, Nak?" tanya Rudolf.
"Apa yang paman katakan tadi, apakah itu umpatan?" tanya Vero.
"Apa yang paman katakan tadi?" tanya Rudolf kikuk.
"Than-thanto--phobia," jawab Vero mencoba mengingat ucapan pamannya tadi.
"Ah, itu … bukan apa-apa Vero, itu hanya kata-kata asal yang muncul dari pikiran paman saja," jawab Rudolf asal, kemudian menggaruk tekuknya yang tak gatal.
Kemudian Vero hanya menaikkan kedua bahunya, dan tak membahasnya lagi.