Setelah berbincang-bincang tadi, karena ada panggilan dari Afni Bu Anita turun ke bawah untuk suatu urusan.
Jadi..., di sini tinggal aku yang duduk di rumah pohon sendirian.
Ditemani oleh angin yang melambai, disertai iringan kisah kita yang belum lengkap.
Masa-masa sekolah dulu seketika menyeruak dipikiranku.
Aku berusaha mengalihkan dengan hal-hal lain, tapi tidak bisa.
Aku juga nggak tahu alasannya kenapa bisa sampai seperti ini.
Mungkin karena..., tempat ini menjadi saksi bisu atas perjalanan hidup dari seorang Mahes bersama Balqis.
Iya Balqis.
Kamu telah banyak merubah kehidupanku.
Di mana kamu dan kapan kita bisa kembali bertemu?
Setidaknya kalau kita sudah bertemu, aku akan memastikan bahwa beberapa bulan nanti aku akan menikah.
Aku ingin melihat kamu bahagia terlebih dahulu.
Sebab kamu pun selalu menomorsatukan kebahagiaanku saat kita masih SMA.
Aku masih ingat, kamu adalah satu-satunya perempuan yang berani membelaku ketika Dito mulai memperlakukanku tak baik.
Bahkan kamu sama sekali tak takut untuk membela orang yang benar meskipun kamu sendiri harus berhadapan dengan orang-orang yang jahat seperti Dito.
Dulu Dito memang jahat dan sikap angkuhnya begitu tinggi. Tapi aku tak tahu sekarang dia di mana dan apakah sikapnya masih sama atau tidak.
Tapi semoga saja semuanya bisa berubah ketika kita bertemu lagi nanti.
"Mahes, cita-cita mu nanti apa?" tiba-tiba aku mendengar suara Balqis yang jelas di telingaku.
Aku seketika berdiri kemudian mengedarkan pandangan ke segala arah. Tak lupa aku juga melirik ke bawah tangga karena bisa saja wanita itu ada di sini.
Tapi..., sedari tadi aku memang sendiri dan tidak ada orang yang kemari.
Aku terdiam dan kembali duduk.
Entah suara apa yang terdengar di telingaku ini.
Kalau diingat-ingat lagi, pertanyaan itu memang pernah diutarakan oleh Balqis ketika kita sebentar lagi akan lulus sekolah.
Waktu itu dia menyempatkan dirinya datang ke rumah pohon sambil membawakan banyak sekali makanan untuk kami, anak yayasan Bunda Kasih.
Setelah dia menanyakan hal itu, tentu saja aku segera mengambil papan tulis dan menuliskannya.
"Aku ingin mengabdi di yayasan." dia membacanya dengan jelas kemudian menyunggingkan senyum. "Masya Allah..., mulia sekali niat kamu, Mahes. Aku doakan semoga nanti, yayasan Bunda kasih buka cabang di tempat yang berbeda dan kamu jadi pengurus utamanya."
Aku tersenyum sambil mengaminkannya di dalam hati.
Saat itu, aku benar-benar dibuat terpukul yang luar biasa karena ternyata, kedatangan Balqis ke mari sambil membawa banyak makanan adalah kedatangannya yang terakhir di usianya yang sudah delapan belas tahun.
Perpisahan akan dilaksanakan besok.
Dan tiga hari kemudian, dia akan pergi ke luar negeri untuk melanjutkan sekolah.
Jujur aku menangis di sini dengan Balqis. Rasanya sakit sekali jika kita harus berpisah hanya karena saling mengejar masa depan.
Aku bangga karena Balqis akan menuntut sekolah di luar negeri. Tapi yang membuat aku sedih, adalah kapan kita bisa bertemu kembali.
Balqis tidak bisa janji dia akan pulang ke Indonesia lagi kapan.
Dan tentunya benar saja kekhawatiran kami.
Setelah perpisahan terakhir itu, selama sepuluh tahun aku tidak lagi bertemu dengan dia.
Ingin rasanya kita bertemu dan saling menanyakan kabar. Aku juga tak bisa membayangkan bagaimana keadaan Balqis saat ini yang tentunya akan banyak perubahan yang aku lihat.
Meskipun saat ini dia sudah berubah baik dari segi umur, wajah ataupun bentuk tubuh, tapi aku akan tetap menilai Balqis sebagai seseorang yang paling istimewa di dalam hidupku setelah Bu Anita.
Aku akan tetap mencintainya sama seperti aku mencintai dia ketika masih sekolah.
Dan tentunya..., hatiku tak pernah berbohong untuk soalan itu.
"Mahes? Aduh ternyata kamu di sini." Zaid menghampiriku sambil membawa makanan kecil. "Dari tadi aku nyari-nyari kamu di mana. Bahkan saking lamanya kita nggak ke sini, aku sampai lupa ternyata di belakang Yayasan kita ada rumah pohon. Tempat ini kan tempat favorit kamu. Pas aku baru inget dan ke sini, ternyata bener feelingku."
Aku tertawa kecil. "Iya kan ini spot yang paling aku rindukan pas mau ke yayasan Bunda Kasih. Meskipun kita memang udah punya yayasan di sana, tapi tetap aja vibes di sini itu beda banget. Iya kan?"
"Bener banget, Mahes. Rasanya kalau aku lihat tempat ini tuh..., jadi flashback gimana serunya kita pas kecil. Apalagi kamu masih inget nggak dulu kita pernah lomba naik tangga tercepat?"
"Yang di sini?" tanyaku memperjelas.
"Iya. Yang Tiara jatuh karena kakinya kayak ada yang narik."
"Ah iya bener." aku ketika mengingat kejadian itu. "Seru banget ya beneran. Justru kadang kalau aku lagi mikir, manusia itu nggak ada puasnya. Pas kita masih kecil, kita selalu ngomong kapan sih kita gede? Kayaknya kalau gede seru. Kemana-mana bisa sendiri, bisa punya uang sendiri. Eh ternyata pas kita gede, pengen balik lagi ke masa kecil."
"Hahaha iya bener!" sahut Zaid. "Sekarang tuh kalau aku lagi menghadapi suatu masalah kayak mikir, enak juga ya kalau aku aku balik lagi ke masa kecil. Di sana kita cuma tahu main, makan, tidur, belajar, seru-seruan pokoknya. Beda lagi kalau sekarang. Permasalahan rasanya tambah rumit dan kadang enggak bisa kita selesaikan sendiri. Iya engga?"
"Iya, Zaid. Aku juga selalu mikir gitu." jawabku sambil menyuapkan cemilan yang dia bawa untukku. Cemilan ini, sebenarnya bukan cemilan yang aku sukai ketika melihatnya.
Justru keripik kentang, adalah salah satu cemilan yang seketika mengingatkanku pada Balqis.
Ya.
Lagi-lagi wanita itu yang terus saja mengusik kepalaku tentang cinta.
Rasanya kalau ada orang yang bertanya, kepada siapa hati mereka dilabuhkan, tentunya kita tidak akan bisa langsung menjawab pertanyaan itu.
Justru bayangan dari wajahnya yang seketika menyeruak di kepala.
Entah senyumannya, kenangannya, bahkan cerita indahnya pun yang pertama kali kita ingat daripada mengutarakan namanya pertama kali.
"Eh by the way, suasana di sini ternyata masih sama ya." ujar Zaid kemudian. "Pohon-pohon yang dulu kita tanam pun sekarang udah tumbuh gede-gede. Nggak tahu kalau pohon mangga yang ada di sana." dia menunjuk salah satu tempat di dekat pohon kelapa yang menjulang tinggi.
Aku tertawa kecil. "Entah. Aku juga kurang tahu. Tapi emang iya siapa yang tadi kamu omongin. Rasanya kalau boleh meminta, aku pengen jadi pengurus yayasan nya di sini aja."
Zaid ikut tertawa. "Wah kalau boleh meminta pun aku pengennya gitu. Soalnya Yayasan disana sama di sini itu beda banget. Emang suasananya masih sejuk dan asri. Tapi chemistry-nya kurang dapet. Iya engga sih atau cuma aku aja yang ngerasain kayak gitu?"
"Aku juga sama kaya kamu, Za." balasku. "Mungkin tempat ini adalah saksi bisu dari perjalanan hidup kita dulu. Kita berusaha membangun rasa percaya diri, tegar, kuat, dan sikap lainnya di sini. Jadi pas kita datang, kayak..., sep! Semua kenangan-kenangan pas kecil tiba-tiba ada di kepala. Jadi rindu. Pengen ngulang lagi kayak dulu, tapi engga bisa. Bahkan kayak ada yang kurang."
"Iya. Apa lagi enggak ada Balqis di sini."
...