Chereads / Mahesa Arnaf / Chapter 36 - Balqis: Merebak Asa

Chapter 36 - Balqis: Merebak Asa

Kita pernah disatukan dalam suatu hubungan yang begitu indah dan menyenangkan.

Aku pun sampai tak bisa melupakan kisah-kisah itu ketika kita bersama dengan yang lain.

Kenangan itu adalah kenangan yang paling indah aku rasakan sampai sekarang.

Mengenalmu bagai aku mendapatkan kehidupan yang baru dan cinta yang lebih berkualitas.

Tentu.

Aku tidak akan pernah dengan mudahnya menjatuhkan diri pada tempat yang salah.

Tapi ternyata kesalahan ini justru membawa aku pada lingkup kehidupan yang tidak lagi ikut bersama kamu.

Tak tahu sekarang kamu di mana dan bagaimana keadaannya.

Tapi kalau aku boleh mengutarakannya lebih jauh, aku benar-benar rindu.

Aku rindu cerita kita yang dulu pernah terurai sebegitu indah dan menyenangkan.

Kamu pengalaman terhebat yang pernah aku temui.

Kehadiranmu telah menggugah selera kehidupanku menjadi lebih baik.

Anda jika kita bisa memilih, mungkin aku akan terus memilih untuk bisa bersama kamu.

Tak peduli kamu akan bersama dengan yang lain ataupun tidak. Karena yang terpenting bagiku, ketika aku mengenalmu maka aku telah mengubah duniaku menjadi lebih indah dan bermakna.

Mahes, kamu adalah jalan cerita yang kini aku tengah cari keberadaannya.

...

Wanita itu masih berkutat di layar laptopnya saat ini. Tatapannya masih lurus dan tak lepas dari kata per kata yang ia ketik di papan keyboard.

Dia tampak begitu serius.

Bahkan orang-orang yang berlalu-lalang di hadapannya, sama sekali tak bisa membuat perhatian wanita itu pecah.

Dia terlihat sangat sibuk hingga orang-orang yang mengenalnya pun tak berani untuk mengganggu kesibukannya sekarang.

Di luar sementara hujan.

Hujan di siang hari memang sudah bukan lagi suatu langka apalagi saat ini sudah memasuki musim hujan.

Orang-orang yang berada di luar, seketika masuk ke dalam dan kembali duduk di tempatnya masing-masing untuk melanjutkan pekerjaannya.

Semenjak istirahat tadi, wanita itu masih belum beranjak dari duduknya. Dia selalu terlihat sibuk dan sibuk di hadapan orang lain.

Tapi, salah satu wanita yang berada di samping tempat duduknya selalu membuat dia terganggu dan tak mau melihat temannya ini begitu ambisius dalam bekerja.

"Hei! Stt!" wanita itu berdesis memanggil Balqis. "Sibuk amat mbak."

"Diem!" jawabnya singkat.

Wanita itu tertawa tatkala sukses melihat temannya diganggu. Dia paling suka menggoda. Tiada hari bagi dirinya tanpa menggoda Balqis

Untung saja wanita yang sering menggodanya adalah sahabat ia sendiri. Jadi Balqis tak terlalu mempermasalahkan soalan itu.

"Eh. By the way, kapan kita makan bareng?"

"Makan barang apa? Kan tadi kita habis makan."

"Ck." sahabat Balqis yang bernama Alya itu, dia merasa kesal karena jawaban Balqis selalu membuatnya tidak puas.

Dia menarik tangan Balqis dan mengubah kursinya agar bisa duduk saling berhadapan dengan dia.

"Ih. Aku sibuk."

"Engga." Alya menolak. "Pokoknya kamu harus ngobrol sama aku."

"Emang kerjaan kamu udah selesai? Aku masih banyak."

"Bentar ya." dia berdiri. "Adi!" wanita itu berteriak di dalam kantor.

Orang-orang sudah biasa mendengar teriakan seorang Alya. Wanita itu apa adanya memang. Apalagi kalau berada di lingkungan yang sudah dekat dengan dirinya, orang-orang tentu akan tahu sifat dia sebenarnya seperti apa.

"Apa?" Adi menghampiri wanita itu.

"Kamu lagi ngapain?"

"Gabut." jawabnya santai. "Dari tadi gua belum dapat tugas."

"Kebetulan dong. Bisa enggak lo ambil alih tugasnya Balqis? soalnya gue kasihan lihat dia dari tadi ngerjain terus."

"Wah boleh-boleh." serunya sambil memberikan tangan kepada Balqis. "Mana tugasnya?"

"Ah engga usah. Bentar lagi beres." Balqis merasa tak enak karena selama ini dia belum pernah memberikan tugasnya sendiri kepada orang lain. Ya walau tugas dirinya sama seperti tugas orang lain juga, tapi dia merasa tidak enak jika harus merepotkan orang lain.

"Engga apa-apa. Justru gue lagi butuh kerjaan biar nggak gabut. Mana handphone lagi di charger."

"Nah kan ayo. Kasihin aja." pinta Alya agak memaksa.

Karena keterpaksaan itu, akhirnya Balqis menyalin file-file yang tadi ia kerjakan ke dalam flash disk kemudian memberikannya kepada Adi.

"Maaf banget ya. Aku udah ngerepotin kamu."

"No problem." Adi menentang flashdisk itu kemudian kembali duduk di bangkunya.

Setelah melihat pria itu pergi, Balqis lantas mencubit pipinya Alya.

"Kamu ini emang mau ngobrol apa? Aku enggak enak sama Adi jujur. Dia anaknya baik banget bisa dimanfaatin sama orang lain. Nanti orang-orang malah mikirnya aku lagi yang manfaatin dia."

"Tapi Adinya juga tadi bilang dia lagi gabut. Engga apalah, Qis. Lagipula di antara semua orang-orang yang ada di sini cuma kamu orang yang bener-bener giat. Ayolah. Kita boleh kerja keras. Tapi kita juga harus tahu porsi diri kayak apa. Jangan terlalu fokus sama kerjaan. Apalagi pekerjaan kita itu di depan layar. Setidaknya mata harus di olah raga in juga. Jangan terlalu dipaksain ya. Radiasi lho. Engga baik buat kesehatan."

Balqis tersenyum. "Iya, Alya ku tersayang. Kamu memang sahabat aku yang paling paham dan peduli. Keren. Makasih banyak ya. Kamu udah sepeduli itu."

"Iya sama-sama." Alya kembali mencubit pipi tembamnya Balqis. "Eh by the way, kapan kamu mau balik lagi ke rumah?"

Wanita itu seketika terdiam. Sebenarnya ada hati dan niat untuk bisa pergi ke sana saat-saat ini juga. Tapi karena satu hal yang agak berat untuk diterima, wanita itu sedikit ragu untuk bisa pergi dan pulang ke rumah orang tuanya.

"Kok diem?" Alya melihat suatu hal yang ganjil dari rautnya Balqis.

"Engga sih."

"Ya terus kenapa? Emangnya kamu nggak rindu sama keluarga kamu? Atau mungkin teman-teman kamu yang ada di sana?"

"Aduh, Alya. Kamu jangan bilang kayak gitu. Lagipula anak merantau mana yang nggak rindu sama kampung halaman dan orang tuanya? Aku rindu semua yang ada di sana. Aku rindu orang tua, aku rindu lingkungannya, aku rindu teman-teman dan aku rindu semua kenangan yang ada."

"Tapi kenapa kamu nggak mau pulang?"

"Aduh. Bukannya aku nggak mau. Cuma..., mungkin kamu lebih paham dari pada aku."

Alya seketika mengerutkan kening. "Maksudnya?"

Balqis mencondongkan dirinya ke telinga Alya lalu berbisik sesuatu.

Sejurusnya, wanita itu manggut-manggut tanda paham lalu mengelus pundak Balqis pelan.

"Sabar, ya. Semua akan indah pada waktunya. Lagipula Allah nggak tidur kok. Kalau misal kamu emang bener-bener ditakdirkan seperti itu, ya mau nggak mau kamu harus bisa menerima. Kalaupun iya, berarti keinginan kamu dengan takdir itu sudah berjodoh."

"Aamiin. Tapi aku belum siap buat menghadapi semuanya. Rasanya berat, Ya. Aku nggak mau ngehancurin keinginan orang tua aku sendiri. Jadi ya..., mau nggak mau mungkin aku harus menempuh jalan seperti ini."

"Meskipun keinginan kamu dengan keinginan orang tua kamu berbeda, tapi aku salut sama kamu yang nggak mau ngebantah mereka. Aku salut sama kamu Balqis. Aku juga berdoa semoga keputusan nanti di akhir bisa meringankan hati kamu. Jangan pernah takut untuk terus berdoa sama Allah. Minta harapan dan kepastian di antara semua pilihan itu. Semoga kamu ditakdirkan dengan sesuatu yang lebih baik."

Balqis mengangguk kecil. "Aamiin...."

...