Aku dan Zaid masih berada di posisi yang sama. Kami saling bersenda gurau dan membicarakan tentang suatu hal yang akan dilakukan di masa depan nanti.
Kami juga banyak mendiskusikan hal-hal yang sedang terjadi saat ini.
Apalagi kalau dalam segi opini, aku akui Zaid adalah orang yang paling pintar dalam menyampaikan pendapat yang bisa diterima oleh orang-orang banyak.
Sederhananya saja aku.
Dari dulu sampai saat ini kalau aku meminta pendapat kepada Zaid, aku selalu setuju dan tak pernah menolaknya sedikitpun.
Kita memiliki satu pemikiran yang sama.
Dan tentunya hal itu adalah hal yang paling aku senangi dalam pertemanan.
Bayangkan saja kalau misalnya kita tak memiliki pendapat yang sama terhadap teman sendiri, aku yakin pasti akan ada banyak slek yang terjadi di antara kita berdua.
Lagipula aku sudah terbiasa tidak banyak bicara apalagi kepada orang-orang yang tidak terlalu aku kenal.
Bahkan, terkadang masih ada kebiasaan-kebiasaan kecil ketika aku disuruh yang masih dilakukan sampai saat ini.
Itu aku lakukan karena ketidaksengajaan.
Yaa contohnya, aku sering kali menjawab dengan isyarat kepada Zaid. Bahkan aku juga seringkali tersenyum ketika dia bertanya.
Tentunya hal itu membuat Zaid sedikit aneh dan malah berkata seperti ini.
"Hei. Kamu nggak bisu. Ayolah jawab!"
Di situ aku langsung tersadar lalu tertawa.
Kebiasaan yang sejak kecil sering dilakukan memang sangat sulit ketika kita ingin berusaha melupakannya di saat kita sudah besar.
Dari hal kecil atau dalam hal besar sekalipun.
"Kamu tahu nggak? Tadi aku nonton di berita miris banget."
"Apa?" tanyaku.
"Biasa, Mahes. Aku tadi baca cewek diperkosa sama sembilan cowok. Digilir gitu. Astagfirullah."
Aku seketika beristighfar juga. "Kenapa bisa?"
"Aku juga nggak tahu. Dan yang lebih buat aku aku kesel, pengen marah, ketika cowok itu merasa nafsunya sudah tersalurkan mereka malah membunuh cewek itu dengan sadis. Brengsek banget! Manusia nggak punya hati mereka ya "
"Ya Allah. Miris banget ya. Kasian. Maka dari itu kita sekarang pengen deket sama orang, agak canggung. Mau akrabin diri takut dimanfaatin orang jahat, mau acuh nanti dianggapnya malah sombong."
"Kita hidup di zaman yang serba salah." ujarnya. "Rasanya, apa yang kita lakuin nggak ada gunanya bagaimana mereka yang bisa nyinyir dan menilai hidup orang lain tanpa mau menilai dirinya sendiri lebih dalam. Aku sering banget nemuin kayak gitu. Aku pengen berusaha akrab, tapi mereka yang risih dan was-was sama aku. Oke aku paham. Tapi anehnya ketika aku berusaha acuh, biasa aja, mereka menganggapnya kita nggak punya hati. Anaknya sombong. Serba salah banget ya."
"Bener banget Za!" aku mengiyakan ucapannya. "Zaman sekarang itu udah rusak banget. Bahkan ketika aku masih bisu aja, selalu aku dengar dari orang-orang kalau ketemu sama aku itu mereka bisik-bisik kayak yang nggak suka sambil bilang, 'Dia anaknya jarang ngomong banget ya. Sombong. Mentang-mentang wajahnya ganteng. Ketemu orang gede nggak mau nyapa. Anak sekarang nggak tahu etika sama adab. Bisanya cuma main handphone aja.'"
Zaid terbelalak sambil menatapku. "Seriusan ada yang ngomong gitu ke kamu?"
"Serius. Aku sering dengar mereka ngomong kalau aku lagi sekolah ataupun pulang sekolah. Seringnya aku jalan kaki apalagi kalau pas pergi sekolah karena sambil olahraga juga." jelasku.
"Ya Allah. Mereka nggak tahu gitu ya. Kan mungkin ketika kita ketemu sama orang, kita suka bisa ngelihat orang ini ada yang istimewa atau enggak. Maksud aku kan kamu setiap hari bawa papan tulis kecil waktu itu. Masa mereka nggak paham? Lagipula anak normal mana yang mau bawa bawa papan tulis ke sekolah? Emang siapa sih yang udah ngomong gitu ke kamu Mahes? Jujur aku kesel dengernya lho. Andai kalau misalnya aku dengar itu pas lagi bareng sama kamu, aku pasti bakalan sela orang itu. Nggak peduli dia mau udah dewasa atau masih kecil, yang penting mereka harus tahu bahwa kita nggak boleh husnudzon sama orang-orang. Kesel lho aku dengernya. Serius."
Aku tertawa melihat sikap Zaid ketika dirinya sedang kesal terhadap suatu hal. Ini yang aku salut kan dari sosok dia yang tak pernah berubah dari kecil sampai sekarang.
Zaid selalu membelaku dalam banyak hal. Bahkan terkadang aku sampai bingung sendiri, entah bagaimana caraku agar bisa membalas semua kebaikannya.
"Orangnya sih aku enggak tahu karena pas jalan dia ngomong gitu sama temannya."
"Terus kamu engga kesel?"
"Kesel sih engga. Cuma ya kadang pengen ketawa. Soalnya mereka ngomong gitu karena mereka belum tahu kenyataannya kayak gimana. Lagi pula aku nggak terlalu mempermasalahkan itu semua. Aku nggak terlalu ambil hati. Mereka bilang kayak gitu karena mereka nggak tahu. Kalaupun mereka tahu, aku yakin mereka nggak akan bilang kayak gitu."
Zaid terdiam sesaat sambil menghadapkan wajahnya ke arah jalanan. Aku tak bisa menebak pikirannya seperti apa. Tapi yang aku tahu, pikirannya saat ini sedang berjalan jauh membahas suatu hal yang masih membuat pikirannya kacau sampai saat ini.
Dia seringkali bertanya padaku tentang suatu hal itu. Aku yang terkadang tahu jawabannya, bisa menjawab dan terkadang kalau masih samar-samar, tak pernah aku jelaskan.
"Mahes?"
"Hm?" jawabku masih dalam pandangan yang yang menatap lurus ke depan.
"Kamu masih inget gak sama teman-teman kamu di sekolah SMA?"
"Pastilah."
"Terus kamu masih ingat sama Dito?"
Aku terhenyak ketika mendengar nama itu.
Bukan dendam.
Tapi ketika aku mendengar namanya, perlakuan buruk dia saat dulu kepadaku tiba-tiba menyeruak kembali dan bermunculan di permukaan.
Yang namanya kejadian paling ter ter dalam kehidupan, mana mungkin aku bisa lupakan. Iya walau aku sudah melupakan dan memaafkan kesalahan dia, tapi tetap saja perlakuannya itu masih membekas di ingatan.
Apalagi aku masih ingat saat dulu dia memukuliku dan tak memberiku kesempatan untuk belajar.
Sakit memang rasanya diperlakukan buruk oleh teman sendiri.
Tapi untungnya aku bisa mengambil pelajaran bahwa tak semua teman bisa berada bersama kita. Kita hidup di dunia ini tak akan ada selamanya orang yang suka.
Ada orang yang suka secara diam-diam atau menyatakan secara langsung, bahkan ada juga orang yang tak suka ecara diam-diam dan menyatakan ketidaksukaannya secara tak langsung.
Semuanya kembali lagi kepada kita.
Apalagi ketika aku sudah dewasa seperti ini saat mengingat kejadian dulu, ya sudah.
Toh semuanya sudah terjadi dan tidak akan bisa kita tarik agar kejadiannya tidak terjadi.
Lagipula aku yakin mungkin apa yang di lakukan oleh Dito hanya sebuah inprestasi ketidaksukanya terhadapku. Tak apa. Meskipun aku masih ingat, tapi aku sudah memaafkan dia.
"Pasti. Dito sama temen-temennya aja aku masih ingat."
"Terus kan pernah ketemu lagi?"
Aku berpikir sejenak. "Kayaknya enggak deh. Kan pas wisuda perpisahan aja dia udah nggak ada."
"Oh ya? Kemana?"
"Aku dengar dari orang-orang sih katanya dia udah disuruh ke Eropa sama orang tuanya. Tapi nggak tahu soalnya masih samar-samar."
Zaid tersenyum tipis. "Kamu tegar banget, Mahes. Jujur aku benar-benar salut sama kamu."
...