Cukup.
Hari ini aku benar-benar mendapatkan banyak pelajaran dari anak-anak yang ada di sini.
Semua cerita-cerita mereka yang aku dengar, mampu membuatku lebih bersyukur atas karunia Allah yang telah diberikan kepadaku.
Aku juga sangat bangga kepada anak-anak yang tetap tegar dan menjalani kehidupan seperti orang-orang pada umumnya.
Bahkan terkadang aku malu karena aku selalu mengeluh.
Tapi melihat anak-anak ini, mereka berjalan dan menjalani kehidupan seperti tak ada beban.
Padahal tak banyak dari mereka yang memiliki keterbatasan fisik.
Setelah perayaan dan acara potong kue tadi, aku memutuskan untuk pergi menemui Bu Anita yang tengah terdiam di rumah pohon.
Beliau sedang duduk termenung dengan tatapan mata yang mengarah ke langit. Aku menghampiri dan duduk di sampingnya.
"Ada apa, Bu?" tanyaku.
Bu Anita menoleh lalu tersenyum. "Acaranya udah beres?"
"Udah, Bu. Baru aja tadi."
"Oh gitu." dia manggut-manggut. "Gimana kondisi yayasan yang ada di sana? Baik-baik aja kan?"
"Alhamdulillah, Bu. Di sana juga udah ada donatur tetap. Pokoknya Ibu jangan khawatir karena aku dan Zaid bakal berusaha sekuat mungkin untuk mengembangkan Yayasan kita."
"Alhamdulillah, Nak. Ibu seneng banget dengernya."
Dari ujung mata, aku melihat Bu Anita terus memperhatikanku.
Tatapannya masih sama seperti Bu Anita yang aku lihat dulu. Beliau selalu berusaha untuk bisa membahagiakan anak-anak panti yang sama sekali tidak ada hubungan darah dengannya.
Aku salut dengan kerja keras bu Anita.
Dan aku bersama anak-anak lainnya terutama Zaid, akan seberusaha mungkin untuk mengikuti jejak beliau.
Bagiku anak-anak adalah generasi penerus bangsa yang harus dipertahankan sikap dan kepribadinya. Karena ketika kita mendidik mereka menjadi anak yang baik dan membanggakan, maka aku yakin negara pun akan sehat.
Sebaliknya kalau kita melihat fenomena-fenomena anak yang masih kecil saja sudah bisa berlaku kriminal, berujar dengan perkataan yang kotor dan tak baik, bahkan sikapnya yang brutal, maka bisa dipastikan negara tersebut tidak akan maju.
Kemajuan negara ini, itu bergantung pada anak-anak yang sedang kita didik sekarang.
Apalagi zaman yang semakin modern, tak sedikit dari anak-anak yang justru melupakan etika atau hal-hal yang seharusnya dilakukan sebagai seorang anak.
Mereka terlalu sibuk dengan dunianya sendiri hingga terkadang perintah dari orangtua pun tidak dilaksanakan.
Itu yang justru membuatku semakin prihatin dan ingin memajukan yayasan ini agar ke depannya anak-anak bisa lebih memahami bahwa etika lebih berharga dari yang lain.
Aku juga tak mau melihat anak-anak menjadi pengamen lagi di jalanan.
Aku ingin mereka menghabiskan waktu masa anak-anaknya seperti lazimnya seorang anak.
Biarkan urusan mencari uang atau mencari makan, untuk orang dewasa.
Sebab nanti pun semua anak pasti akan merasakan masanya sendiri untuk dewasa dan dan mencari uang.
"Bagaimana, Nak?" tanya Bu Anita kemudian.
Aku mengerutkan kening. "Maksud ibu?"
"Apa..., kamu udah nemu calon?"
Bibirku seketika kelu tatkala mendengar pernyataan semacam ini.
Entahlah.
Sebelum Bu Anita, ada banyak orang khususnya para donatur yang sering aku jumpai dan mereka menanyakan hal yang sama kepadaku.
Bukan aku berusaha menghindar. Justru aku tidak tahu harus menjawab apa.
"Kamu ini anak yang sholeh." ujarnya sambil mengelus lututku. "Kamu, anak yang tegar dan hebat. Bukannya ibu mau menuntut pribadi kamu. Hanya saja umur kamu sekarang udah dewasa, Mahes. Sudah sepatutnya kamu mencari calon untuk bisa mendampingi kamu merawat yayasan kita. Ibu tahu, sendiri itu memang bukan keinginan. Tapi setidaknya kamu juga harus berusaha untuk mencari."
Aku tersenyum kecil. "Iya, Bu. Umur Mahes sekarang memang sudah dua puluh delapan tahun. Tapi nggak tahu kenapa, Mahes belum ada pikiran sampai sana. Mahes masih pengen ngurus anak-anak dan ngebahagiain mereka semua."
"Itu perlu, Mahes. Tapi kewajiban kamu untuk menikah, itu yang lebih diutamakan. Lagi pula tak hanya kamu yang mengurus yayasan. Masih ada Zaid dan pengurus-pengurus lainnya yang bisa menghandle urusan kamu. Nanti kalau kamu sudah menikah, Ibu juga akan meminta Zaid untuk menikah juga. Kamu harus tahu, Nak. Menikah itu untuk menyempurnakan separuh agama. Kamu jangan terbuai oleh nikmat dunia. Memang apa salahnya kalau kamu menikah? Justru kalau orang yang kamu nikahi adalah orang yang baik, dia pasti akan mendukung dan membantu kamu dalam mengembangkan Yayasan kita agar lebih maju."
Aku terdiam sejenak.
Sebenarnya, apa yang dikatakan Bu Anita memang benar.
Terkadang kalau sendiri, aku juga merasakan kesepian.
Rata-rata yang aku jumpai, orang-orang seumurku mereka sudah memiliki pasangannya masing-masing. Bahkan tak hanya pasangan, mereka pun sudah memiliki anak.
Aku juga normal.
Terkadang kalau aku menjumpai orang-orang seperti mereka, dalam hati aku pun ingin merasakan hal itu dan merasakan bagaimana indahnya memiliki pasangan.
Aku juga tak bisa membayangkan bagaimana nanti aku akan menjadi seorang ayah, yang kemudian mengurus anak-anak mengajari mereka belajar.
Sebenarnya aku juga ingin.
Tapi aku belum siap.
"Sejujurnya, Mahes juga nggak mau sendiri, Bu. Mahes pun ingin seperti orang-orang yang sudah memiliki pasangan ataupun memiliki anak. Tapi yang jadi permasalahannya, Mahes belum siap dan belum terlalu memikirkan sampai sana. Pernikahan itu adalah suatu hal yang sakral. Bukan hanya kita mengikat ataupun menjalin hubungan dengan orang lain. Justru di situ tanggung jawab Mahes semakin besar untuk merawat anak perempuan yang telah dirawat sebaik mungkin oleh kedua orang tuanya sejak kecil. Bukannya Mahes tak mau. Justru Mahes mau. Cuma..., Mahes belum siap buat mikirin itu matang-matang. Mahes takut nggak bisa ngebahagiain anak perempuan kebanggaan ayahnya."
"Semuanya ada proses, Nak." ujar Bu Anita. "Ibu paham dengan alasan kamu itu. Tapi setidaknya kamu harus pikirkan lagi. Kamu anak yang baik dan ibu yakin, kamu pasti bisa merawat anak orang lain. Masa merawat anak-anak saja kamu bisa, tapi merawat orang yang kamu cintai nggak bisa?"
Sebenarnya, tak hanya itu masalah yang menjadi pikiranku saat ini.
Aku masih belum bisa melupakan bagaimana ketulusan dan kebaikan dari seorang Balqis yang telah menjadikanku seperti sosok yang sekarang orang-orang lihat.
Aku tidak tahu sekarang dia bagaimana keadaannya.
Bahkan terkadang dalam hati kecil, aku selalu bilang bisa saja dia sudah menikah dengan orang lain?
Lagi pula hal itu mungkin-mungkin saja. Mengingat umurku yang kini sudah dua puluh delapan tahun, dan dia pun sama.
Mungkin akan ada pil besar yang mau tak mau harus aku telan bulat-bulat jika menerima kenyataannya itu.
Tapi setidaknya sebelum aku menikah, aku ingin dipertemukan dengan dia.
Aku ingin mengucapkan terima kasih karena dia sudah banyak membantuku sampai saat ini.
Balqis,
Kamu memang wanita terbaik yang pernah aku temui setelah Bu Anita.
Kamu memberikan banyak lentera terang dalam hidupku.
Dan kamu juga telah mengenalkanku apa arti cinta yang sebenarnya.
...