Hari-hari yang begitu membosankan.
Tak tahu kenapa semenjak Mahes tak sekolah, hatiku sama sekali tak bisa tenang. Pikiran yang berusaha aku fokuskan, terus saja terbayang-bayang oleh sesosok pria yang telah mampu mengubah kehidupanku menjadi seperti ini.
Aku tahu dia pria yang berbeda.
Namun tak sampai sana, rasanya aku ingin segera menemui Mahes dan meminta penjelasan lebih kepadanya tentang apa dan kenapa dari semua tragedi yang telah menimpanya itu.
Aku memang tak menceritakan dengan detail kenapa Mahes tak sekolah kepada teman-teman sekelas. Yang mereka tahu, Mahes hanya kurang enak badan saja hingga memutuskan untuk meliburkan diri beberapa hari.
Aku akan mencari tahu apa yang terjadi setelah pulang sekolah nanti.
Aku ingin mendengar semuanya dari Mahes.
Iya.
Aku akan ke sana dan memaksanya untuk memberitahukan perihal semuanya.
Tringgg!!!
Pikiranku seketika buyar tatkala mendengar bel sudah berbunyi menandakan waktunya pulang sekolah.
Dengan segera aku membereskan seluruh buku dan benda-benda yang ada di meja karena jujur. Aku benar-benar tak sabar untuk ingin cepat-cepat pergi ke yayasan Bunda Kasih.
"Qis, kamu mau pulang bareng kita?" ujar Ayra, teman dekatku bersama Azni dan Syifa.
Aku tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Ngga, Ay. Kamu aja duluan ya. Aku mau ke rumah Mahes dulu."
"Oh, mau jenguk?"
"Iya."
"Ya udah kalau gitu. Kita duluan ya. Hati-hati di jalannya." seru Ayra sambil tersenyum yang kemudian dibalas lambaian tangan olehku saat dia dan yang lain pergi meninggalkanku.
Baiklah.
Setelah selesai piket, aku lantas mematikan AC dan lampu kemudian menutup pintu.
Tapi baru saja aku berjalan beberapa langkah, tiba-tiba Dito dan kawan-kawannya mencegatku.
Aku benar-benar malas sambil mendelikkan mata.
"Qis?"
"Apa?" tanyaku ketus.
"Tumben lo nggak pulang bareng Ayra?"
"Suka-suka."
"Jadi lo pulang sendiri?" Dito terus bertanya.
"Hm." jawabku tanpa mengiyakan.
"Ya udah kalo gitu kebetulan."
Aku melirik Dito dengan sinis.
"Kebetulan apa?"
"Ya kebetulan. Gimana kalo lo pulang bareng gue aja? Gue pasti anter sampe depan rumah, kok. Dan satu. Kalo pas nanti di jalan lo mau makanan dengan harga seberapapun itu, bilang aja. Gue pasti belikan."
Aku tersenyum kecut. "Terima kasih atas tawarannya. Tapi maaf, aku enggak bisa. Aku harus segera pulang."
"Eh ya justru itu." Dito malah menghalangi jalanku. "Biar cepet gue aja yang anter. Gimana?"
"Engga, Dito. Kamu ini kenapa, sih? Sudah aku katakan setiap kamu mau anter aku pulang, aku bakalan engga mau."
"Iya tapi kenapa?"
"Ya engga mau aja. Udahlah. Minggir." Aku menerobos dia.
"Oh. Kayanya lo mau ke rumah si bisu itu, ya?"
Aku seketika menghentikan langkah saat Dito mengatakan hal itu.
Jujur.
Tanganku langsung mengepal kesal.
"Nah kan diem. Aduh...." pria menyebalkan itu kembali berhadapan denganku. "Lo ini ada apa sih, Qis? Masa lo mau temenan sama yang bisu kayak gitu? Emangnya lo engga bisa lagi nyari cowo yang sempurna apa?"
"Heh Dito, cukup ya! Awas kalo aku ngedenger lagi kamu ngeledek Mahes kayak gitu."
"Tapi kan emang bener? Dia itu bisu. Yang bisu kalo mau di apa-apain bakal tetep bisu. Dasar anak bis-"
Plakkk!!!
Belum sampai dia menyelesaikan ucapannya, aku dengan segera melemparkan tamparan keras ke pipinya karena rasa geram.
Ya.
Aku benar-benar geram melihat tingkah Dito yang arogan dan selalu mengkudeta setiap orang, yang menurutnya layak untuk dikudetakan.
Semua orang yang ada di sekitar seketika melirik ke arahku. Wajah mereka seakan tak percaya karena aku telah menampar seorang ketua geng di satu sekolah ini.
"Dengar, Dito!" ujarku dengan suara kecil. "Aku peringatkan sama kamu sekali lagi. Kalau kamu masih ngejek Mahes dengan sebutan itu, awas saja! Kamu akan tahu akibatnya!"
Aku bisa melihat raut Dito merah padam. Entah menahan malu, entah menahan amarah.
Aku tak mau tahu.
Dengan segera aku pergi meninggalkannya dengan perasaan yang campur aduk.
Aku hampir saja tersulut emosi. Sikap Dito tadi benar-benar keterlaluan dan harus diberi pelajaran.
Kalau didiamkan, dia akan merasa bebas dan tak segan-segan untuk menghina siapapun yang menurutnya pantas untuk dihina.
Aku tak mau senioritas masih berlaku pada zaman seperti sekarang.
Seharusnya ketika teknologi sudah berkembang maju, adab dan etika pun lebih diutamakan nomor satu.
Tapi sayangnya..., justru kenyataan berbanding terbalik dengan ekspektasi.
Miris sekali.
...
Selepas kejadian kecil tadi, aku kembali melanjutkan niatku untuk pergi ke rumah Mahes.
Kali ini aku menaiki angkot agar bisa cepat sampai sana.
Tak membutuhkan waktu delapan menit, akhirnya mobil membawaku tepat sekali di depan gerbang besar yang bertuliskan 'Yayasan Bunda Kasih'.
"Terima kasih, pak." ujarku sambil menyodorkan uang lima ribu.
Beliau tersenyum. "Sama-sama." jawabnya kemudian berlalu.
Aku tersenyum kecil tatkala melihat gerbang ini.
Rasanya..., aku baru menemukan kehidupan yang sebenarnya tatkala pertama kali menginjakkan kaki dan berbaur dengan orang-orang yayasan saat itu.
Di sana aku mendapat banyak sekali pelajaran.
Di samping anak-anaknya yang ramah dan mudah diajak bergaul, suasana alamnya pun benar-benar membuatku berdecak kagum.
"Kak Balqis?" baru saja sampai gerbang, Tiara sudah menyapaku.
Aku tersenyum. "Kamu bagaimana kabarnya?"
"Baik." jawab Tiara. "Kalau kakak sendiri?"
"Kakak juga baik."
"Syukurlah kalau begitu."
"Apa..., Mahes ada di dalam?"
"Iya. Tapi tadi kata kak Zaid, kak Mahes lagi istirahat."
"Oh." aku manggut-manggut. "Kamu bisa antar kakak ke sana?"
"Dengan senang hati." Tiara menarik tangan kemudian membawaku ke depan pintu Mahes.
Tapi baru saja aku akan mengetuk pintu, tiba-tiba Zaid sudah berada di sampingku.
"Hai. mau ketemu Mahes?"
Aku mengangguk kecil. "Apa dia ada di dalam?"
"Tadi sih iya. Tapi sekarang nggak."
Aku mengerutkan kening. " Loh? Memangnya dia kemana?"
"Ayo ikut aku." Zaid berjalan terlebih dahulu dan aku tidak bisa bertanya apa lagi selain mengikuti kemana dia akan pergi.
Firasatku ternyata benar.
Zaid membawaku ke belakang yayasan yang mana, di sana terdapat rumah pohon.
"Kamu naik aja ke sana." ujar Zaid.
"Loh kamu? Engga akan ikut?"
"Aku nanti nyusul."
"Oh baiklah."
Tanpa perlu berlama-lama lagi, aku lantas menaiki tangga yang akan membawaku ke atas rumah pohon.
Aku sudah tidak sabar ingin melihat kondisi Mahes tentang apa dan bagaimana kejadian itu bisa terjadi menyimpannya.
Ketika dua pijakan lagi akan sampai, aku mendengar ada suara seseorang yang merintih.
Aku bisa memastikan bahwa suara itu adalah suara Mahes.
Benar saja.
Sebuah pemandangan yang baru kali ini aku lihat, tatkala menjumpai Mahes yang kesakitan sambil terus memegang kakinya.
"Mahes, kamu kenapa?" dengan cepat aku berlari ke arahnya.
Dia benar-benar terkejut saat melihatku.
"Kamu terpeleset?"
Mahes mengangguk sambil menunjuk genangan air di balkon rumah pohon.
"Aduh. Kamu kenapa engga hati-hati? Tadi malam kan hujan. Lantai luar pasti basah dan licin. Sudah sebentar. Tunggu di sini, ya. Aku mau ambil obat dulu."
...