Chereads / Love Mare / Chapter 1 - Prolog

Love Mare

Seasonal_Girls
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 20.6k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Prolog

Sesekali, aku memejamkan mata. Menikmati alunan lagu dari headset yang terhubung ke telinga kiriku. Rembulan malam ini begitu terang, sehingga lampu taman yang rusak pun tak membuat malam ini gelap.

"Melihat apa?" Aku menoleh ke asal suara tersebut. Seorang laki-laki dengan tinggi 185 cm, rambut hitam yang tertata rapi menyodorkan sekotak susu stroberi. Aku melempar senyum, berterima kasih.

"Bulan malam ini terang sekali." ujarku. Laki-laki itu ㅡkekasihkuㅡ duduk di sebelahku, meraih satu headset yang tergeletak dan memasangkannya ke telinga kanannya. Kami selalu seperti ini. Duduk, menghabiskan sekotak susu, mendengarkan lagu. Bahkan tanpa berbicara, kami seakan sedang berkomunikasi.

Aku menyandarkan kepalaku ke bahu Ayato, namun, entah hanya perasaanku atau apa, dia seperti tegang. Seperti ada sesuatu yang ingin ia katakan.

"Ayato."

"Ya?"

"Kau... seperti tidak tenang? Ada apa?"

Mata laki-laki itu menatapku, bahkan dari matanya aku bisa melihat dia seolah menghindari mataku.

"Tidak."

Oke, baiklah. Aku menghiraukannya, kembali melihat bulan dan menyedot susu stroberiku.

"Yukiko?"

"Hmm?" Aku berdeham.

"Sudah berapa lama kita pacaran?" tanya Ayato.

Keningku mengerut. Sejak kapan Ayato peduli dengan hal seperti ini? Ayato itu selalu quality over quantity, dia tak peduli berapa lama kami berpacaran. Yang ia pentingkan adalah momen-momen yang kami lewati hari per hari.

"Kau gila?" Aku terkekeh.

"Tidak." jawabnya datar.

"6 tahun." jawabku, melihat kalendar di handphone. 5 September 2020.

"Hey, hari ini seharusnya hari jadi ke-enam kita."

Ayato mengangguk, menyetujui. Aneh, biasanya ia akan melebarkan kedua matanya, mengisyaratkan 'benarkah?'. Ini artinya, dia ingat bahwa ini hari jadi ke-enam kami.

"Yukiko."

"Iya?"

"Kakek... segera setelah aku lulus, kakek mewariskan perusahaan kepadaku. Dan.. emm.. aku.."

Ayato mengeluarkan satu kotak berlapis beludru, membukanya, menunjukkan sebuah kalung berliontin bulan.

"Aku.. ingin kita menikah. Mes- meski tidak sekarang, 1 atau 2 tahun lagi. Ketika kau lulus dan aku bisa sukses, aku akan melamarmu sekali lagi, dengan lebih pantas."

Aku menutup mulutku, aku tidak menyangka bahwa ia melamarku, meski tidak menikahiku sekarang.

Ayato tidak berani menatapku, ia terlihat kebingungan, berusaha mengatakan sesuatu.

"Aku tidak bisa membayangkan hidup dengan orang lain, aku bahkan tak pernah berpikir untuk berpacaran dan memiliki kekasih. Tapi, kau datang dan meluluhkanku. Tanpamu, kurasa aku tidak bisa bertahan, aku tidak bisa melewati ini semua. Aku ingin melangkah maju, tapi aku tak ingin lagi sendiri, aku ingin melangkah maju denganmu. Jadi, maukah kau maju denganku? Menunggu agar kita siap untuk maju bersama? Kalung ini adalah tanda bahwa aku berjanji aku akan melamarmu lagi dengan cincin. Ja-jadi, apakahㅡ"

Aku terkekeh dengan suara bergetar. "Kenapa kau mengulang kata-katamu?"

"Ah, itu-"

"Ya."

"Hah?" Ayato membelalak.

"Jawabannya ya."

Ayato tersenyum manis sekali, menyingkirkan rambutku yang tertumpuk di pundak dan memasangkan kalung itu.

Aku memandang sejenak liontin bulan itu. Indah.

"Indah, bukan? Seperti dirimu." komentar Ayato, seakan membaca pikiranku.

"Sekarang kau bisa menggodaku?"

Ayato menarikku ke dalam pelukannya.

"Terima kasih. Aku mencintaimu." ujarku dalam pelukan.

Ayato mengangguk dalam pelukannya. Masih saja gengsi.

***

"Bye-bye!" Gadis itu melambai dengan senyum lebar ke arahku. Sweater pink kebesaran itu membuatnya terlihat lucu, aku tidak bisa menahan senyum.

Sesaat sebelum ia menutup pintu, ia mengintip lagi. "Kau tidak menginap?"

Aku menggeleng, masih dengan senyum. "Ada yang harus kukerjakan malam ini."

Gadis itu mengangguk lucu, melambai kecil sekali lagi dan menutup pintu apartemennya.

Aku ingin menginap jujur-jujur saja, aku ingin menganggu gadis itu, tidur di sampingnya, melihat wajah bantalnya, tapi tidak bisa, ada dokumen pindah tangan perusahaan yang harus kuurus.

Aku membuka pagar rumahku, dan perasaan buruk langsung menyergapiku. Ada apa ini?

Dengan sedikit berjinjit, aku berjalan masuk. Sudah menjadi kebiasaan keluarga, kami harus sesopan mungkin saat malam hari dengan tidak membuat keributan.

Aku sampai di depan kamar kakek, kemudian mengetuknya pelan.

"Kakek." ketukku sekali.

Dua kali, tiga kali. Tapi, tidak ada jawaban.

"Kakek, aku akan masuk."

Di sana lah kakek duduk, di kursi kerjanya seperti biasa. Meski berumur, beliau merupakan pekerja keras. Bahkan, ketika perusahaan sudah dipegang oleh ayahku, beliau masih mengawasi keuangan perusahaan dan sebagian besar aktivitas perusahaan.

"Kakek.." panggilku pelan.

Aku memutar kursi putar itu dengan pelan dan terkejut saat tubuh kakek yang lemas langsung terjatuh ke lantai.

"KAKEK!"

Tidak ada napas, detak nadi tidak berdenyut lagi. Tidak, kakek tidak mungkin tiba-tiba meninggal karena penyakitnya. Beliau pasti dibunuh.

"SIAPA PUN YANG ADA DI SANA, KELUAR!" sentakku. Aku tidak bodoh, instingku tajam. Aku tahu siapapun pelakunya memanfaatkan kematian kakek sebagai pengalih perhatianku.

"Hahaha, sudah kuduga, instingmu terlalu kuat untuk pengalih perhatian seperti ini."

Aku terdiam, tetapi tetap siaga. Instingku mengatakan dia seseorang yang kukenal, postur tubuh itu, aku tak mungkin salah.

"Kau tidak mengenalku, Ayato?" Laki-laki yang kuperkirakan berumur hampir separuh baya membuka tudung jaketnya, menunjukkan wajahnya.

"Paman..?"

Aku tahu. Sekali lagi, aku tidak buta. Aku tahu seluruh keluargaku tidak menyukaiku, mereka iri. Bahkan, aku tahu terkadang mereka berusaha untuk menjatuhkanku.

Namun, aku tidak menyangka bahwa rasa iri mereka mampu membawa paman hingga membunuh kakek.

"Ternyata, ada alasan di balik mengapa ayah menjadikanmu cucu emasnya. Baiklah, aku mengerti sekarang. Tapi, maaf, aku tak bisa menerima itu. Sejak kau lahir, semua perhatian menjadi milikmu. Kau tamak, kau merebut semuanya semaumu."

Paman menarik pelatuk, mengarahkannya tepat padaku.

"Kau lebih baik mati, seperti ayah dan ibumu."

Ayah... dan ibuku..?

Ayah dan ibu meninggal? Tidakkah mereka sedang mengurus cabang perusahaan di luar negeri?

Namun, saat aku sadar, peluru hampir mengenaiku kalau saja aku tak cepat menghindar.

"Kau bingung? Hahahaha, ternyata kau bodoh juga. Ayah dan ibumu kubunuh di luar negeri, aku juga yang mengirim pesan palsu bahwa mereka harus tinggal beberapa bulan di luar negeri."

Dengan penuh amarah, aku menerjang ke paman. Meski sudah berumur, fisik beliau yang cukup sehat memang tak mudah untuk kujatuhkan langsung.

Meski selamat dari tembakannya, tembakan yang meleset mengenai seluruh bagian rumahku. Beling kaca berpecahan, perabotan berserakan.

Pasalnya, fisikku yang masih muda tentu saja bisa dengan mudah melumpuhkannya. Ya, sedikit lagi. Hampir, sedikit demi sedikit, sambil menghindar dari tembakannya, aku mendekat. Sedikit lagi, aku akan bisa melakukan pukulan telak padanya. Sedikit lagiㅡ

"Ayato?!"

Reflek, aku menoleh. Yukiko? Apa yang dilakukannya di sini?

"Yukiㅡ ARGH!"

Tepat ketika aku lengah sedikit, satu tembakan mengenai sisi perutku.

"AYATO!" teriak Yukiko dari sana.

"Ah, pacarmu datang juga. Baguslah." Paman melayangkan satu tembakan lagi, dan sialnya mengenaiku.

"Setelah aku membunuhmu, aku akan membawa pacarmu dan menjualnya. Wajah cantik dan tubuh semampainya akan menghasilkan banyak uang untukku."

Aku tidak akan membiarkan itu terjadi!

Aku meraih moncong pistol, entah tenaga dari mana aku langsung menendangnya, menahan rasa sakit akibat peluru di perutku, aku berusaha menjatuhkan pamanku. Aku bisa menendang jatuh pistol. Namun, yang tak kuduga adalah pisau lipat yang keluar dari belakang kantung celananya.

Lagi-lagi, luka bekas peluruku yang belum kering, ditambah lagi dengan tusukan pisau lipat.

"Yukiko, lari!"

"Tapi, kauㅡ"

"Jangan pedulikan aku! Panggil polisi dan lari!"

"AYATO! TIDAAK!"

***

15 menit sebelumnya.

Aish, Ayato manis sekali. Aku berharap ia menginap, meski menyebalkan, kehadirannya di sini membuatku senang.

Aku berbaring di kasurku, memandang lagi liontin bulanku. Segala perlakuan kecilnya selalu manis bagiku, tapi ini, ini manis sekali.

Jam sudah menunjukkan pukul 10 kurang 10 menit dan Ayato akan memarahiku bila aku keluar semalam ini, tapi kurasa aku akan segera pulang setelah makan satu cup ramen.

Ayato pasti sedang mengenakan kacamatanya, memeriksa dan menandatangani dokumen-dokumen. Ganteng sekali, aku bisa membayangkannya.

Ketika ia seperti itu, kau takkan bisa menentukan apakah wajahnya imut atau ganteng. Ketika ia sedang serius, rasanya kau ingin mimisan melihat ketampanannya. Namun, saat ia mengusap matanya karena mengantuk, rasanya aku ingin mencubit pipinya.

Oh, ya, soal mengantuk, mataku tertuju pada sebotol kopi instan. Baiklah, setelah makan, aku akan mengantarkan sebotol kopi instan ini dan juga sekotak susu coklat.

"Ah, permisi, apakah kau punya kertas memo dan pena?" tanyaku pada karyawan yang sedang menjaga toko.

"Silahkan." Ia menyodorkan benda yang kuminta.

'Ayato, minum kopi ini sambil

mengecek dokumen-dokumenmu.

Setelah selesai, habiskan

susu coklat ini dan segera tidur.

Love you♡'

"Terima kasih." Aku mengembalikan dua benda itu pada penjaga toko.

Setelah membayar belanjaanku, aku berjalan senang ke rumah Ayato. Bayangkan ia membuka pintu dengan kacamata dan rambut acak-acakannya. Ya, ampun!

Aku berjalan dengan ceria hingga sampai di depan rumahnya. Saat sedang berusaha menekan bel, aku dikejutkan dengan bunyi keras dari jendela di samping pintu.

PRANGG!!

Aku terlompat, terkejut dengan bunyi kaca yang pecah. Apa yang terjadi?!

"Ayato! Ayato!!"

Dari kaca yang pecah, aku berhati-hati, berusaha masuk ke dalam. Barulah aku mendengar bunyi tembakan.

Aku berlari dengan panik, masuk ke dalam dan mencari Ayato. Entahlah ke mana bungkusan kantung berisi kopi dan susu itu, aku melemparnya ke sembarang arah.

Di sana, kulihat Ayato dan yang kuketahui pamannya sedang bertengkar sengit.

"Ayato!"

"Yuki ㅡARGH!"

Tembakan mengenai sisi perut Ayato saat ia menoleh padaku. Aku panik sekali, isi kepalaku seperti kosong. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.

"AYATO!"

"Ah, pacarmu datang juga. Baguslah."

Satu tembakan.

"Setelah aku membunuhmu, aku akan membawa pacarmu dan menjualnya. Wajah cantik dan tubuh semampainya akan menghasilkan banyak uang untukku."

Yang mengejutkanku adalah Ayato yang tiba-tiba menerjang ke arah pamannya. Berusaha menjatuhkannya, namun sebuah pisau lipat yang entah darimana, menusuk kembali luka bekas tembakan Ayato yang belum kering.

"AYATO!!"

"Yukiko, lari!"

"Tapi, kau ㅡ"

"Jangan pedulikan aku! Panggil polisi dan lari!"

Dengan tangan bergetar, aku mengeluarkan ponselku dan menelpon polisi. Menceritakan secara singkat dan bergetar sehingga polisi bilang mereka akan segera datang.

Aku ingin membantu Ayato, tapi Ayato sudah tergeletak. Darah berlumuran di mana-mana.

"AYATO!" teriakku histeris.

Aku menghampirinya, memangkunya.

"Ayato..."

"Kenapa kau masih di sini? Kubilang lari!"

"Aku lebih baik mati daripada meninggalkanmu."

Namun, paman Ayato menarikku berdiri, menahan tubuhku.

"Lepaskan!"

Namun, tenaganya benar-benar kuat.

"Aku akan membawanya bersamaku. Hahaha, selamat tinggal, Ayato."

"Ayato! Lepas!"

Aku terkejut saat bunyi tembakan kembali terdengar dan paman Ayato yang mengerang kesakitan.

Ternyata, Ayato bangun dengan segenap kekuatannya yang tersisa, menembak kaki pamannya hingga ia lumpuh.

"Sialan!" umpat paman Ayato.

"Pergi!" hardik Ayato.

"Tidak!"

Sekeras mungkin, Ayato mendorongku hingga aku yang tak siap pun langsung tersungkur jauh.

Ayato mengarahkan pistol ke arah tabung gas yang tak berada jauh darinya.

"AYATO!"

"Lari!"

"NO, DONT!"

"Yukiko..."

Wajahnya yang berlumuran darah, ia berusaha mengangkatnya dan melihatku.

"Yukiko, I love you. Forever 'til death do us apart."

"AYAㅡ"

Aku terlempar kuat hingga keluar jendela, punggungku sampai menabrak  tiang penyangga yang ada di halaman depan rumah Ayato.

Yang kudengar setelah itu adalah bunyi sirine mobil polisi dan pemadam kebakaran serta ambulans.

Pemadam kebarakan segera menyemburkan air ke arah api, sedangkan polisi segera mencari Ayato serta pamannya.

"Yukiko? Yukiko!" Penglihatanku yang buram samar-samar melihat Eiji, teman dekat Ayato yang tinggal dekat dengan rumahnya.

"Eiji?" lirihku.

"Apa yang terjadi? Di mana Ayato?"

"Di... dalam."

Eiji mengelus punggungku, memberikan ketenangan.

"Kau tidak apa-apa?" Aku terdiam, melihat ke arah ambulans dan pemadam kebakaran.

"Aku yang menelponnya." jelas Eiji.

"Apa yang terjadi..?" tanya Eiji lembut, berusaha tak membuatku panik.

"Apa..."

Aku kembali menangis. "Aku tidak tahu."