"Terima kasih." Aku tersenyum kepada ibu penjaga kantin. Aku mengambil semangkuk bubur dan susu coklat yang kubeli di kantin. Pikiranku melayang pada Ayato. Mungkin ia bersikap dingin karena kepalanya pusing sekali, mungkin ia tak bermaksud begitu.
Aku tersenyum tipis, membayangkan senyum malu-malu Ayato ketika aku merawatnya. Sama seperti saat ia dulu.
"Suzumi!" panggil seseorang antusias.
Aku menoleh, mendapati sekumpulan anak laki-laki yang terlihat mencolok dengan tampilan mereka. Kebanyakan dari mereka menata rambut dengan berbagai gaya, lengkap dengan seragam yang sengaja dibuat berantakan. Tim basket kebanggaan sekolah kami.
"Ya, Senior?" sahutku. Meski terkadang sebal dengan kelakuan mereka yang menggoda perempuan di sana dan sini, aku berusaha tetap sopan. Bagaimana pun mereka seniorku.
Lelaki yang kuketahui dari Hatsumi adalah kapten dari tim basket tersebut menepuk kursi kosong di sebelahnya. "Duduk di sini saja."
"Terima kasih, Senior, tapi aku sedang buru-buru." tolakku sopan.
"Kalau begitu, duduk saja di sini. Aku akan menjaga agar tidak ada yang mengganggu makanmu." ucapnya. Sementara teman-temannya yang lain sibuk bersiul menggoda.
"Maaf, aku sudah makan di istirahat pertama. Aku hanya mau mengantarkan makanan ini. Permisi, Senior." Aku membungkuk seadanya.
Entahlah apa yang mereka bicarakan setelah aku pergi, aku mempercepat langkahku menuju Unit Kesehatan Sekolah. Tersenyum sendiri, aku membayangkan bila setidaknya aku akan bisa mendapatkan hati Ayato lagi.
Sesampainya di ruangan UKS, aku tersenyum tipis kepada petugas medis UKS dan menyampaikan bahwa aku ingin mengantarkan makanan untuk Ayato, yang untungnya masih ada di sana.
Aku menggeleng tidak habis pikir. Saat pelajaran, aku sempat melihat kursi Eiji yang juga kosong ketika aku pergi ke toilet. Kupikir ia menjaga Ayato dengan khidmat, ternyata saat masuk, aku melihat Eiji sedang tertidur nyenyak di kasur UKS sebelah Ayato, lengkap dengan bunyi mengoroknya.
Aku hampir saja tertawa melihat Ayato yang sesekali mendesis kesal karena Eiji yang ribut sehingga ia pun tak bisa tidur. Aku menghampiri mereka dengan perlahan dan meletakkan semangkuk bubur di meja yang berada tak jauh dari kasur mereka.
Barulah kusadari bahwa Ayato ternyata sedang menatapku. Buru-buru, masih dengan susu coklat yang ada di tanganku, aku membungkuk sopan.
"Ah, Senior!"
"Apa yang kau lakukan di sini?" Ia menatapku malas.
Meski sedikit sedih, aku paham. Ayato memang seperti ini. Jauh sebelum kami berpacaran, ia memang sedingin ini terhadap orang yang ia baru kenal.
"Aku hanya mengantarkan bubur karena tadi Senior belum makan saat istirahat pertama." jelasku dengan senyum.
Ayato mengangguk kemudian matanya beralih kepada tangan kananku yang memegang sekotak susu coklat.
"A-Ah! Ini susu coklat untukmu juga." Aku mendekat, ingin memberikan susu coklat itu pada Ayato.
"ARGH!!" erang Ayato kesakitan. Sontak, aku mundur. Ada apa? Apa yang terjadi dengannya?
"Senior!" Aku berusaha mendekat namun, dengan tangannya, ia memberi isyarat agar aku berhenti bergerak.
"Berhenti di sana."
Aku melihat ke arah Eiji yang tampak menggeliat, pertanda bahwa ia sudah bangun. "Hoaaamm... ada apa?"
Ayato diam saja, menahan rasa sakit di kepalanya, membiarkan Eiji sadar dengan sendirinya dan segera menghampirinya. "Kau kenapa?!"
"Senior, apakah kau tidak apa-apa?" tanyaku, khawatir setengah mati. Namun, yang kudapatkan malah tatapan bengis dari Ayato, tatapannya seolah mengusirku.
"Kakak Senior Hasegawa, aku hanya mampir sebentar untuk memberikan semangkuk bubur dan susu coklat ini kepada Kakak Senior Ryoma." jelasku singkat dan panik.
"Terima kasih, Suzumi. Tetapi, sepertinya keadaan Ayato sedang tidak baik, kembalilah ke kelasmu."
Aku sedikit terhenyak, Eiji yang selalu penuh dengan guyonan pun sedikit banyak seperti mengusirku.
"Baiklah, aku permisi, Senior." pamitku.
Ada apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi dengan Ayato?
***
Aneh sekali, aneh. Sangat aneh.
Aku cukup yakin Ayato terlihat baik-baik saja sebelum aku datang. Bahkan ia bisa dengan santai mengangguk kepadaku. Namun, saat aku mendekat untuk menyerahkan susu coklat kepadanya, ia terlihat sakit kepala.
Apakah aku adalah trigger dari sakit kepalanya?
Ah, tidak, tidak. Ini bukan film atau novel, dramatis sekali pikiranku.
Kalau begitu, kenapa? Ketika aku mendekat untuk membantunya, Ayato pun terlihat sangat membenciku. Aku tahu Ayato memang seperti itu dulunya. Saat aku pertama kali mengejarnya sebelum berpacaran, ia memang begini. Ia bahkan beberapa kali menghindar dariku. Tapi, setidaknya, tatapan benci ini tak pernah ia layangkan padaku.
Kenapa? Apa yang sebenarnyaㅡ
"Suzumi Yukiko!"
Pikiranku buyar seketika saat aku melihat wajah Hatsumi yang tampak kesal padaku. Aku mengerjap beberapa kali. Benar, aku sedang ada di rumah Hatsumi untuk mengerjakan tugas dari Guru Matematika, sesuai dengan janji kami tadi pagi.
Hatsumi menghela napas. "Kau betul-betul tidak mendengarkanku?"
"Ah, maaf. Aku sedang memikirkan hal lain." ujarku sembari menggaruk tengkukku yang tidak gatal.
"Apa yang sedang kau pikirkan, sih? Fokuslah, aku sudah hampir menyelesaikan soal ke-20. Dan, kau bahkan baru mulai mengerjakan soal nomor 5." omel Hatsumi.
Aku tersenyum tipis. Saat mengenal Hatsumi, kau takkan mengira ia sebawel ini. Namun, bila ia berani mengomelimu, itu berarti ia sangat peduli denganmu.
Aku berusaha mendengarkan Hatsumi meski setengah tidak mengerti. Meski begitu, akhirnya aku menyelesaikan tugasku.
"Apa kau akan pulang sekarang?" tanya Hatsumi yang baru saja kembali dari dapurnya, membawa sebotol susu rasa stroberi dan vanila beserta sebungkus besar keripik kentang.
Aku mengecek jam tanganku, pukul tujuh lewat sepuluh. "Aku pulang pukul setengah delapan saja."
Hatsumi mengangguk. "Baiklah."
Kami berdua kemudian mengobrol mengenai hal-hal kecil. Meski kami bertemu hampir setiap hari, selalu ada saja topik yang akan kami bahas. Kurasa, aku ingin memberitahu tentang kejadian yang menimpaku pada Hatsumi, tentang aku datang dari masa depan yang suram.
"Yukiko? Aish, kau melamun lagi." Hatsumi menghela napas.
"Y-Ya? Kenapa?"
Hatsumi menatapku cemas. "Apa kau punya masalah akhir-akhir ini?"
Sontak, aku menggeleng."Tidak, tidak!"
"Dari pagi tadi bahkan hingga sekarang, aku melihatmu banyak melamun. Ayo, kau bisa cerita padaku." Hatsumi menepuk pundakku.
Aku tersenyum tipis. "Tidak, kok. Kau tak perlu khawatir, aku hanya sedang memikirkan tugas apa yang harus segera kuselesaikan."
Aku mengecek jam tanganku, sudah setengah delapan.
"Hatsumi, aku akan pulang dulu. Terima kasih sudah membantuku mengerjakan tugas dan terima kasih susu stroberinya." Aku berdiri dan berpamitan pada Hatsumi.
"Kau yakin kau baik-baik saja? Perlukah aku meminta supir mengantarmu pulang?" Hatsumi ikut berdiri.
"Tidak, tidak perlu. Aku benar-benar baik-baik saja, tidak perlu repot-repot."
"Baiklah. Berhati-hatilah, jangan melamun di perjalanan pulangmu."
"Iya. Bye-bye!" Aku melambai kepada Hatsumi dan segera berjalan pulang ke rumah setelah menyapa sekilas satpam di rumah Hatsumi.
Aku menghela napas. Meski ini merupakan musim panas, tetapi saat malam hari, udara menjadi dingin. Aku memang langsung ke rumah Hatsumi setelah kami pulang dari sekolah, dan aku tidak tahu bahwa udara malam ini akan menjadi dingin.
Aku mengusap lenganku kedinginan dan mempercepat langkahku. Aku ingin segera sampai ke rumah dan tidur.
Aku mengambil resiko dengan berbelok ke jalan yang sepi agar lebih cepatm sampai ke rumah. Meskipun beberapa kali aku terpikir mengenai masalah Ayato, aku menepisnya. Setidaknya, aku tak boleh lengah di jalanan seperti ini.
Aku menghela napas ketika aku sampai di jalanan yang lebih terang, aku memperlambat jalanku. Sedikit mengistirahatkan kakiku yang pegal karena perjalanan yang lumayan. Aku berusaha mengingat-ingat. Setelah jalan ini, aku akan berbelok ke kiri, melewati gang pendek, lalu ke kiri lagi menuju jalan perumahanku.
Namun, aku seketika berhenti di depan sebuah taman yang tampak sepi. Meski begitu aku sontak tersenyum miris, ini taman kesukaanku dan Ayato. Aku ingat ia bahkan melamarku di sini.
Aku sudah siap untuk lanjut berjalan, namun aku melihat seseorang yang familiar. Bukankah ituㅡ
"Nenek?!"
Aku yakin ia adalah Nenek yang mengembalikan waktuku. Aku yakin, meski perawakannya terlihat jauh lebih tua dari kemarin, aku tidak mungkin salah.
"Nek?"
Nenek itu berbalik, mengerjap beberapa kali seakan mencoba mengenaliku.
"Ada apa, Nona?"
Nenek ini tidak mengenaliku? Aku ingat jelas baru kemarin ia bahkan tahu nama lengkapku.
"Nenek tidak mengenaliku? Aku yang kemarin, ah atau tadi pagi? Ah, yang jelas, aku Suzumi Yukiko, gadis yang tadi pagi Nenek kembalikan waktunya."
Dahi nenek itu berkerut, seolah ia tak mengerti. Aish, ada apa ini? Dia yang lupa atau aku yang gila?
"Nona ini bicara apa? Mengembalikan waktu apa?"
Aku berdecak frustasi. "Aku tidak tahu aku gila atau apa, tapi aku yakin sekali, Nenek adalah orang yang mengembalikan waktuku. Nek, aku gadis itu. Yang Nenek kembalikan waktunya dari tahun 2020 ke 2013, Nenek mengembalikan 7 tahunku."
"Maaf, Nona. Saya tidak mengenal Nona, mungkin Nona salah orang." Nenek itu tersenyum tipis kemudian menarik gerobaknya menjauh dariku.
Apakah aku memang sudah gila?
"Aish!" Aku berdecak kesal. Aku benar-benar frustasi. Tetapi, yang keluar dari mataku adalah air mata.
"Baiklah, aku mungkin memang sudah gila. Maaf bila aku salah orang, Nek. Aku frustasi sekali. Aku tidak tahu apa-apa, tahu-tahu saja aku kembali ke 2013. Atau mungkin ini masih 2020? Apakah aku berhalusinasi? Hah.." Aku meracau kesal, Nenek itu masih mendorong gerobaknya perlahan.
"Mungkin semua hal, bahkan kalender pun sama gilanya denganku. Atau mungkin ini mimpi. Tapi, bila aku benar-benar gila atau ini hanya mimpi, aku senang. Karena hanya di dunia ini aku bisa melihat Ayato. Namun, kenapa? Kenapa Ayato terlihat kesakitan melihatku? Ada apa dengan tatapan bencinya? Aku takut sekali melihatnya kesakitan, aku bahkan teringat dengan wajahnya yang saat itu ditikam berkali-kali untuk menyelamatkanku. Tapi, kenapa? Aku hanya tidak ingin ia kesakitan. Apakah di dunia mimpi pun aku harus melihatnya kesakitan?"
Biarlah, toh, ini dunia mimpi. Biarlah aku berteriak seperti orang gila. Toh, sejak kejadian itu, orang depresi dan gila pun lebih waras dariku.
Aku berdiri pelan-pelan, mengusap air mataku dan meraih tas ranselku yang terjatuh. Aku berhenti sejenak melihat Nenek itu yang terlihat sedikit kesusahan mendorongnya.
Aku menghampiri Nenek itu, meraih pegangan gerobaknya sehingga Nenek itu tampak sedikit terkejut.
"Aku akan membantu Nenek, jalanan di sini cukup kasar." ujarku.
"Ah, tidak perlu, Nona."
"Tidak apa, Nek. Anggap saja permintaan maaf atas ketidaksopananku."
Aku membantu Nenek itu mendorongnya hingga kami melewati jalan yang kasar ini. Bahkan, selama itu, Nenek diam saja. Ah... aku benar-benar salah orang.
Aku membungkuk pada nenek ini dan tersenyum tipis. "Sekali lagi, aku minta maaf, Nek."
Nenek diam saja, sudut matanya yang berkerut mengikuti pergerakanku yang berputar balik. Karena aku memang harus melewati jalan ini lagi untuk mencapai gang kecil, jalan pintas ke perumahanku.
Aku mempercepat langkahku, sesekali mengusap lenganku yang kedinginan sebelum Nenek itu tiba-tiba saja berucap.
"Kau tidak gila, Nona. Ini bukan dunia mimpi."
Aku terkejut. Dia baru saja bicara apa?
"Nek.."
"Maaf, aku berbohong. Aku mengingatmu, tentu saja. Kau tidak bermimpi, ini dunia nyata. Kau tidak gila."
"T-tapi? Kenapaㅡ"
"Nona, pernahkah kau mendengar pepatah bahwa racun adalah obat terbaikmu?"
Aku mengernyit.
"Nona memang lah penyebab Tuan Ryoma merasa kesakitan, tetapi ingatlah Nona adalah penawarnya. Nona adalah obat Tuan Ryoma."