Chereads / Love Mare / Chapter 6 - Chapter 5

Chapter 6 - Chapter 5

Aku merasakan tubuhku terangkat seakan-akan tubuhku ringan sekali. Dalam keadaan setengah sadar, aku mendongak sedikit dan menyadari yang menggendongku bukanlah orang asing.

Sorakan kagum sekaligus iri dari murid-murid yang ada di kantin bahkan tidak kupedulikan. Aku sibuk memperhatikan laki-laki yang sedang mengangkat tubuhku itu.

"Ayㅡ Kakak Senior...?" lirihku.

"Diam, aku akan membawamu ke Unit Kesehatan."

Apakah mataku yang salah atau Ayato terlihat khawatir sekaligus... panik? Tapi, semua itu tertutupi oleh ekspresinya yang selalu datar.

Apa ini... benar-benar Ayato? Haha, mana mungkin, tadi saja ia menolakku di depan semua orang. Membentak pula. Mungkin saja ini hanya halusinasiku. Ya, setidaknya bila ini halusinasi, aku akan menikmatinya.

Aku menyandar ke tubuh kokoh yang kini menggendong tubuhku ala bridal style itu. Aku menahan senyum. Wangi ini sangat seperti Ayato. Ayato selalu punya wangi yang menenangkan meskipun aku tahu ia termasuk seseorang yang tidak sepeduli itu untuk mengenakan parfum. Tetapi, aku selalu suka wangi khasnya.

Wangi Ayato itu seperti hujan di pagi hari. Lembut, menenangkan dan segar. Kalau saja kami adalah sepasang kekasih seperti dulu, aku akan mendusal sepanjang hari padanya dan mengendus lehernya.

Aku ingat sekali. Saat Ayato sudah tidak sibuk, ia akan menginap di apartemenku dan kami akan menghabiskan seharian bermalas-malasan di kasurku. Saling memeluk, saling mendusal dan sedikit deep talk.

Wangi Ayato yang menenangkan, rasa sesak di dadaku, pusing yang mendera dan angin yang berhembus secara ajaib menjadi kombinasi yang membuatku terasa mengantuk sekaligus lemah.

Aku memejamkan mataku. Istirahat sejenak tidak apa, 'kan?

***

Aku meletakkan tubuh gadis itu di atas ranjang Puskesmas. Merepotkan.

Aku lekas menoleh saat Mai Hatsumiㅡ yang sepertinya adalah teman baik Suzumi Yukikoㅡ dan Eiji yang tergopoh-gopoh. Aku mundur sedikit saat melihat petugas medis yang juga mulai menghampiri gadis itu.

Petugas medis mencoba memberikannya oksigen melalui tabung oksigen kemudian dari sudut mataku, aku nelihat bahwa petugas itu menjelaskan kepada Mai Hatsumi mengenai keadaan Suzumi Yukiko. Melihat dari helaan napas lega dari Mai Hatsumi, sepertinya gadis itu tidak apa-apa.

Setelah petugas itu berpamitan, Eiji terlihat berusaha menenangkan Mai Hatsumi. Entahlah apa yang dibicarakannya, namun aku melihat saat Eiji seperti menawarkan untuk menepuk bahu Mai Hatsumi, bermaksud menenangkannya, gadis itu menghindar.

Pfft! Si bodoh ini.

Mai Hatsumi kemudian membungkuk, masih dengan wajah separuh tidak nyaman, separuh tidak enak. Sepertinya ia menyampaikan maafnya karena sudah menolak mentah-mentah Eiji.

Kemudian, gadis itu berbalik kepadaku dan membungkuk sopan. "Terima kasih banyak, Kakak Senior Ryoma. Maaf sudah merepotkan Kakak Senior dengan membawa Yukiko ke sini."

Aku menatapnya datar dan mengangguk. Namun, saat melihat Eiji, rasanya aku hampir tertawa. Sudut bibirku naik, biasanya ia akan tahu bahwa aku sedang menertawakannya.

"Mai, aku pamit terlebih dahulu. Titipkan salamku dan Ayato pada Suzumi, semoga ia lekas sembuh." ucap Eiji, sok berwibawa.

"Terima kasih sekali lagi, Kakak Senior." Mai Hatsumi membungkuk sekali lagi sebelum aku melenggang pergi, dengan Eiji yang segera mengekorku.

"Puaskah kau menertawaiku?" sindir Eiji skeptis.

"Dasar bodoh."

"Kupikir ia akan luluh dengan perhatian-perhatian kecil yang kuberikan." gerutu Eiji.

Aku menggeleng-gelengkan kepala tidak habis pikir. Bagaimana bisa aku menghabiskan waktu bertahun-tahun berteman dengan si bodoh ini?

"Berhenti membahasku, bagaimana denganmu?"

Aku menatap Eiji aneh, alis kananku terangkat naik.

"Suzumi jelas-jelas menyatakan perasaannya padamu. Jahat sekali kau langsung membentaknya."

"Sudah seharusnya."

"Tetap saja kau jahat sekali. Kau 'kan bisa bicara baik-baik dan menolaknya. Lagipula kenapa kau menolaknya? Ia cantik, lemah lembut. Setahuku, di minggu pertamanya menjadi murid di sini, anak seangkatan kita bahkan senior kita sudah banyak yang langsung mengejarnya. Meski tidak terlalu jenius, ia dikenal cukup rajin dan selalu jadi kesayangan para guru karena sifatnya yang penurut. Kau tidak tertarik padanya sama sekali?" jelas Eiji panjang lebar.

Aku mengangkat kedua bahuku. "Biasa saja."

"Dasar manusia aneh." Eiji mengejekku.

"Eh, jangan-jangan ia pingsan seperti itu karena ditolak olehmu?" celetuk Eiji tiba-tiba.

"Mana mungkin."

Memangnya ia pingsan? Saat hampir sampai, ia memang sepertinya menutup matanya. Kupikir ia tidur.

Aish, peduli apa aku.

"Bisa jadi! Karena ia shock? Mungkin sudah lama ia menyukaimu, jadi saat kau menolaknya, ia terkejut, sakit hati dan akhirnya pingsan."

"Berlebihan."

"Kita 'kan tidak tahu."

Mana mungkin. Pemikiran seperti apa itu? Sudah lebih dari dua puluh gadis yang kutolak. Sudah banyak gadis yang kutolak dengan cara yang lebih sadis. Merobek surat cinta di depan wajah mereka, memberikan kotak bekal yang sepertinya diselipkan diam-diam ke lokerku ke orang lain (karena bagaimanapun itu lebih baik daripada membuang makanannya) dan entahlah, sepertinya aku sudah melakukan banyak hal yang cukup sadis untuk menolak gadis-gadis yang menyatakan cinta padaku.

Biasanya, paling parah mereka hanyalah menangis sesegukan, marah-marah mengataiku sombong, tidak masuk sekolah karena malu, menyebarkan gosip ke satu sekolah bahwa aku sadis sekali dan sebaiknya tidak usah menyukaiku (aku mendukung yang ini, karena dengan begitu aku tidak perlu repot-repot menolak) atau yang paling parah adalah memaksa memeluk atau menciumku.

Tidak pernah ada yang pingsan (atau tidur) dan tiba-tiba sesak napas seperti Suzumi Yukiko. Mungkin, itu penyakit bawaannya. Memang sudah saatnya kambuh saja.

Tapi, apakah jangan-jangan Eiji benar? Ia punya penyakit bawaan dan ia sudah lama menyukaiku. Namun, saat aku menolak dan membentaknya kasar, ia terkejut dan penyakitnya kambuh.

Lalu, kenapa aku tadi reflek saja langsung membantunya?

Ah, Eiji sialan! Membuatku kepikiran saja.

***

Kedua mataku membuka perlahan, tetapi rasa pusing segera menyusul, membuatku meringis.

"Yukiko!"

Aku mengedip beberapa kali untuk memperjelas pandanganku. Aku bisa melihat Hatsumi yang menghela napas lega. Tangannya menggenggam tanganku.

"Kau tidak apa-apa?" tanyanya khawatir.

Aku mengangguk lemah, memaksakan sedikit senyum agar ia tahu aku sudah baik-baik saja. "Sudah lebih baik."

"Syukurlah. Semua orang sangat panik. Bahkan, Kakak Senior Ryoma buru-buru menggendongmu ke sini."

Hah...? Ayato? Jadi, yang tadi bukan imajinasiku? Itu benar-benar Ayato?

"Benarkah?!" Aku bertanya kepada Hatsumi dengan mata berbinar.

"Ya! Aish, kau sesenang itu?" Hatsumi mendecak.

"Apa ia benar-benarku menggendongku ke sini?"

"Iya!"

Aku terkikik bahagia. Jadi, aku tidak bermimpi.

"Kau sesuka itu pada Kakak Senior Ryoma?" Hatsumi menggeleng tidak habis pikir.

"Tentu saja!" Aku mengangguk-angguk semangat.

"Aku tidak bisa mengerti. Setelah ia membantumu, aku memang tidak bisa mengatainya jahat. Tetapi, melihat bagaimana ia menolakmu dan kau masih menyukainya... Suzumi Yukiko, apakah kau gila?" Hatsumi menatapku aneh.

Aku memajukan wajahku, tersenyum penuh kemenangan. "At least I'll try. Aku takkan menyerah sebelum bisa mendapatkan Kakak Senior Ryoma."

"Aish... kau tak pernah berubah, Yukiko. Kau selalu keras kepala. Kau tidak tahu betapa khawatirnya aku saat kau pingsan. Dan, apakah ada sesuatu denganmu? Apa kau sakit? Kau tak pernah bilang denganku tentang apapun."

Aku menunduk. Memang, memang ada yang kusembunyikan darinya.

"Dari kemarin, kau seolah menyembunyikan sesuatu dariku. Ketika aku bertanya, kau seperti berbohong."

Haruskah aku memberitahu Hatsumi? Tetapi, aku tidak ingin melibatkan Hatsumi dalam masalahku. Setidaknya, aku harus menyelesaikannya sendiri. Tapi, Hatsumi akan sedih bila ia tahu aku benar-benar menyembunyikan sesuatu darinya.

"Yukiko...?" lirih Hatsumi.

"Y-Ya?" Aku langsung menatapnya.

Raut wajah Hatsumi menjadi sedih, ia menundukkan kepalanya. "Ternyata kau benar-benar sedang menyembunyikan sesuatu dariku."

Aku terpaku. Tidak, aku tidak bermaksud begini.

"Hatsumi..."

"Yukiko, kau tahu, 'kan? Kau sudah kuanggap sahabatku sejak 4 tahun ini. Aku sudah hapal semua sikap dan kebiasaanmu. Ketika ada sesuatu yang mengganggumu, kau akan selalu begini. Kau akan selalu melamun dan terkejut bila aku memanggilmu. Kita ini sahabat, setidaknya begitu aku memandangmu. Aku ingin menjadi tempat kau mengeluarkan seluruh keluh-kesahmu dan membantumu sebisaku. Layaknya kau dulu membantuku untuk keluar dari neraka itu. Tapi, ah... sudahlah. Maaf aku mengganggu waktu istirahatmu." Hatsumi berdiri.

"Hatsumi!" Aku berusaha menahan lengannya tetapi, ketika Hatsumi menepis tanganku, hatiku seperti tergores.

"Tidak usah khawatir, aku akan menelepon orang tuamu untuk menjemputmu. Aku akan membantu membereskan barang yang harus kau bawa pulang, juga sepatumu. Jangan lupa mengganti sandal sekolah dengan sepatumu sebelum pulang."

Aku menggigit bibirku kuat-kuat, menahan tangisanku yang memaksa keluar. Aku terdiam tak berdaya menatap punggung sempit gadis itu yang tertutupi rambut kecoklatannya.

Memoriku kembali ke empat tahun lalu, gadis itu selalu seperti itu. Kehidupan sekolahnya tidak pernah membahagiakannya. Aku yang berjanji untuk membuat kehidupan sekolahnya lebih baik, kenapa aku yang sekarang membuatnya sedih?

Apa yang harus kulakukan sekarang?

***

Aku menutup tubuhku dengan selimut tebal setelah mengganti pakaian seperti suruhan Ibuku.

"Yukiko, apa kamu tidak apa sendirian di rumah?" tanya Ibuku, tangannya mengelus keningku.

"Ibu akan kembali ke toko lagi?"

"Iya, tapi bila kau ingin ditemani, Ibu akan menemanimu."

Aku tersenyum ketir, menggeleng lemah untuk memberitahu ibuku bahwa aku baik-baik saja.

"Tidak apa, Ibu kembali ke toko saja. Aku bisa menjaga diriku sendiri."

Ibuku tersenyum, mengelus pipiku kemudian beranjak ke pintu kamarku untuk keluar. Ia melihat ke arahku sekali lagi sebelum menutup pintu tersebut.

Setelah itu, aku menghela napas. Hatsumi, satu-satunya sahabatku kini marah padaku. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang.

Bukannya aku tidak ingin memberitahunya, tetapi hal ini akan terlalu berat bila ia tahu. Aku yakin ia akan mengiraku gila, bahkan aku pun sulit percaya atas apa yang terjadi padaku pada awalnya.

Dan, aku tidak mau sesuatu terjadi padanya. Sudah cukup ia kesusahan, aku tak ingin apa yang menjadi masalahku jadi ikut menyusahkannya juga.

Aku tidak apa bila aku harus memendam semuanya sendirian, asalkan aku tahu ada Hatsumi di sampingku, aku tidak akan takut.

Tapi... tapi... tapi sekarang, Hatsumi pun berpikir bahwa aku tidak menganggapnya seorang sahabat. Bagaimana bisa? Hanya dia yang kuanggap sahabatku sejak aku pertama kali bertemu dengannya.

Aku bukannya tidak tahu bahwa teman-temanku selain Hatsumi selama ini berteman denganku dengan alasan tertentu. Tentu saja tidak karena mereka tulus benar-benar ingin berteman denganku.

Air mataku turun tanpa sadar. Hatiku seperti diremas kuat-kuat sehingga aku menangis dengan dadaku yang terasa sesak.

Sekarang, aku sendirian. Apa yang harus kuperbuat?

***

Aku membuka mataku perlahan dan mengejapkannya beberapa kali. Mataku menatap ke sekelilingku yang gelap. Ah, sepertinya aku tertidur.

Ketika aku mengusap mataku, aku dapat merasakan adanya air mata yang mengering di sudut mataku. Ternyata, aku menangis hingga tertidur.

Jam dindingku menunjukkan pukul 7 malam, di mana seharusnya Ibu dan Ayah baru saja pulang. Aku mendudukkan tubuhku sejenak. Untunglah tubuhku terasa membaik.

Setelah mengikat rambutku asal-asalan, aku mematikan pendingin ruangan dan membuka lampu kamarku tepat ketika ponselku berbunyi.

Kontak Ibu terpampang. Bukankah Ibu di bawah?

"Halo, Yukiko?"

"Ya, ada apa, Bu? Aku sudah bangun, aku akan segera ke bawah. Tadi aku tertidur sebentar."

"Ibu hanya ingin mengabari bahwa Ibu dan Ayah akan pulang lebih telat. Tiba-tiba saja ada pelanggan yang buru-buru meminta dibuatkan roti untuk acaranya yang mendesak."

"Ah, apakah sibuk? Perlukah aku ke toko, Ibu?"

"Tidak, tidak apa, istirahat saja. Ibu dan Ayah mungkin akan mampir di restoran udon untuk makan malam. Mau Ibu bawakan apa saat pulang untuk makan malam?"

Aku mendengung sebentar, tanda bahwa aku sedang berpikir.

"Tidak perlu, Bu. Aku sepertinya akan keluar sebentar, aku akan makan di supermarket yang tidak jauh dari rumah."

"Tidakkah kau sedang sakit?"

"Tidak apa-apa, Bu. Aku sudah merasa lebih sehat. Lagipula kurasa aku membutuhkan udara segar."

"Baiklah. Jangan lupa ganti pakaianmu dan kenakan luaranmu, udara malam dingin sekali. Berhati-hatilah, dan jangan lupa kunci pintu rumah dengan baik."

"Baik, Bu. Aku matikan, ya."

Aku menghela napas. Baiklah, ramen instan pun tidak buruk.

Aku mengganti piyama tidurku dengan sweater pink dan rok putih panjang. Meskipun sebenarnya ini sudah cukup hangat, aku tetap mengenakan blazer putih krem. Aku melepaskan ikatan rambut asal-asalanku dan menyisirnya agar lebih rapi. Setelah mengaplikasikan sedikit pewarna bibir agar aku tak terlihat pucat, aku mengenakan sepatu dan keluar dari rumahku ㅡyang tentu sudah kucek apakah aku menguncinya dengan baik atau belum.

Sembari berjalan, aku menghirup udara segar. Suara gesekan sepatu dan aspal jalan membuat pikiranku melayang kemana-mana.

Pernahkah kehidupan SMA-ku sesulit ini? Sepertinya tidak. Meski ada sedikit batu kerikil dalam kehidupanku, setidaknya dulu, tak ada rintangan yang berarti.

Aku menjalani masa SMA-ku bersahabat baik dengan Hatsumi, mulai menyukai Ayato kurang lebih saat aku kelas 11, mendekatinya tanpa tahu malu dan akhirnya kami berpacaran saat ia hampir lulus SMA. Sulit, aku ingat betapa Ayato memanglah pribadi yang sulit didekati. Tetapi, ia tak seperti sekarang. Ia tak sedingin itu dahulu. Bahkan, kehidupan kami setelah berpacaran baik-baik saja. Kami seperti pasangan pada umumnya. Hingga kejadian malam itu merenggut semuanya. Merenggut kebahagiaanku, kewarasanku dan Ayato dariku.

Namun, saat sekarang aku diberikan kesempatan untuk melihatnya lagi, kenapa sesulit ini?

Tanpa sadar, aku terus berjalan hingga terantuk pintu masuk supermarket yang berupa kaca bening.

"Agh!"

Duh, bahkan karyawan supermarket pun melihatku yang menabrak pintu kaca. Malunya.

Aku masuk dengan kikuk dan tersenyum ke arahnya yang tampak berusaha membalas senyumku sekaligus menahan tawa.

Aish, aku memang memalukan.

Aku meraih satu cup ramen instan  pedas favoritku kemudian menaruhnya di meja dimana kita biasa menyeduh mie instan kita sendiri. Aku membuka kemasannya, memasukkan air panas dan menutupnya sejenak. Sembari menunggu mie-ku matang, aku beralih ke bagian minuman.

Minuman bersoda, minuman isotonik... dan mataku berhenti di rak susu. Tentu saja, susu dan ramen pedas adalah kombinasi terbaik.

Aku meraih susu stroberi dan terpaku sejenak melihat susu varian coklat yang selalu berada di samping susu stroberi.  Bayanganku kembali pada kejadian tragis malam itu, susu coklat yang tak sempat kuberikan kepada Ayato.

Aku menggelengkan kepalaku dan kembali ke ramenku. Aku membuang sedikit air panas dalam ramenku dan menuangkan seluruh bumbunya kemudian mencampurnya.

Dengan cepat, aku menghabiskan ramenku dan keluar dari supermarket setelah membayarkan makananku.

Makanan memang selalu bisa menaikkan mood-ku. Meski masih sedih, setidaknya sedikit dari kesedihanku dibawa pergi oleh makanan yang kumakan tadi.

Namun, saat aku sampai di jalan besar sebelum perkomplekan rumahku, aku melihat sesosok yang familiar.

Bukannya itu...

"Nenek?"

Tidak seperti sebelumnya, Nenek itu tidak tampak mendorong gerobaknya dan seolah tidak menyembunyikan bahwa ia tak mengenalku.

Ia menghanpiriku dengan tongkat yang membantunya berjalan, tongkat yang baru pertama kali kulihat. Raut wajah sedihnya terlihat kentara di wajahnya yang penuh oleh kerutan.

"Nona Suzumi, kenapa Nona belum berbuat apapun?" todongnya tiba-tiba.

Aku berhenti dan menatap nenek itu terkejut. Apa maksudnya?

"B-Berbuat apa? Memangnya apa yang harus kulakukan?"

Nenek itu mengeluarkan jam antik yang kuyakini adalah jam yang sama dengan jam yang ia pakai ketika ia mengembalikan waktuku hingga ke 7 tahun ini.

"Tidakkah aku memberitahumu? Nona harus bisa mendapatkan hati Tuan Ayato sebelum tenggat waktu yang ada."

"Memangnya ada apa dengan tenggat waktu itu, Nek?"

Nenek itu menatapku, masih dengan tatapan sedihnya. "Nyawamu adalah taruhannya, Nona. Kau sesak napas, bukan?"

Aku menatapnya kebingungan dan mengangguk.

"Itulah efek samping bila Tuan Ayato menolakmu. Itu hanya efek samping kecil, Nona. Hal ini akan selalu terjadi bila kau ditolak oleh Tuan Ayato. Karena itu, kau harus segera mendapatkan hati Tuan Ayato."

"T-Tapi, aku tidak bisa, Nek. Ayato sulit sekali didekati. Aku bahkan ditolak mentah-mentah olehnya."

"Waktumu kurang dari satu tahun untuk mendekatinya, Nona. Seperti yang sudah kubilang, bila kau gagal mendapatkannya dalam kurang dari satu tahun ini, kau akan dilenyapkan."

Napasku tercekat. "D-Dilenyapkan?"

"Efek samping seperti sesak napasmu saat ini hanya akan terjadi bila Tuan Ayato menolakmu atau hatimu tersakiti oleh tindakannya. Namun, saat waktumu sudah hampir habis, gejala ini akan datang di waktu tertentu, tanpa kau ketahui. Bahkan bila Tuan Ayato tidak menyakiti hatimu."

Seakan aku dilenyapkan bukanlah berita yang cukup buruk, perkataan Nenek itu selanjutnya seperti ultimatum bagiku.

"Bila kau dilenyapkan, apapun tragedi tragis yang sebelumnya terjadi pada Tuan Ayato dan keluarganya akan terjadi lagi."

Aku menghampiri Nenek itu dan meraih tangannya.

"N-Nek, tolong, setidaknya bila aku akan mati, jangan biarkan Ayato dan keluarganya mati."

"Tidak bisa, Nona. Di waktu kali ini, hanya Nona yang bisa menyelamatkannya. Bila Nona meninggal, tidak ada yang dapat menolong Tuan Ayato."

"Nek... apakah benar-benar tidak bisa? Setidaknya, biarlah nyawaku menjadi pengganti nyawa Ayato dan keluarganya. Bantu aku, Nek. Bantulah aku!"

Aku meraung seperti orang gila, memohon pada Nenek itu dan menangis lagi. Lihatlah aku, aku kembali menjadi gila.

Aku tidak ingin Ayato meninggal dengan cara tragis yang sama. Katakanlah aku gila, tapi bila aku bisa membayarkan semua itu dengan nyawaku, aku tidak keberatan. Namun, memang sepertinya Nenek ini tidak bisa membantuku.

Nenek itu mundur dari hadapanku, kemudian lagi-lagi menghilang di balik angin ribut yang datang sejenak.

Aku jatuh berlutut dan menangis lagi. Beban apalagi yang harus kupikul sekarang? Apakah semesta bercanda denganku? Apakah aku tampak sekuat itu untuk menanggung semuanya?

Sekarang, aku kehilangan arahku. Aku tak tahu apa yang harus kuperbuat.