"O-Obat? Obat..?" Aku mengernyit.
Nenek itu tersenyum, membiarkan aku berpikir sendiri.
Aku yang tadinya sudah menjauh dari Nenek itu menghampirinya, menatapnya frustasi. "Nek, jelaskan padaku apa maksudnya obat. A-Aku... tidak mengerti. Ayatoㅡ Ayato tampak baik-baik saja saat aku jauh darinya, tapi ketika mendekat, ia terlihat kesakitan. Bagaimana, bagaimana bisa aku mendekatinya?"
"Memang kau sudah mencobanya, Nak?"
Pertanyaan sederhana itu membungkamku. Bagaimana bisa aku mencobanya, menyentuh Ayato saja aku langsung ditepisnya. Pikiranku bergerumul. Apakah maksud nenek ini adalah seperti obat dan side effect-nya? Seperti kemoterapi, meng-injeksi racun untuk melawan kanker dengan side effect di mana penderita bisa mengalami kerontokan, dan lainnya.
Apakah... benar?
"Benarkah, Nek? Lantas, bagaimana aku harus melakukannya? Apa yang harus kulakukan untuk Ayato?"
Meski sulit dipercaya, namun, aku akan melakukannya. Aku akan melakukan apapun agar Ayato tidak kesakitan, tidak, aku tidak ingin ia kesakitan lagi. Untuk apa aku takut untuk percaya? Aku bisa kembali ke 7 tahunku silam saja sudah termasuk fakta yang gila dan tak masuk di akal.
Ya, aku tak ingin kehilangan Ayato untuk yang kedua kalinya. Meski semesta melarang, kali ini, biarkan aku melawan semesta.
Nenek itu lagi-lagi tersenyum, sembari mendorong gerobaknya, ia perlahan menghilang. Angin yang kuat pun tiba-tiba datang.
Ah, ini bukan kebetulan. Kejadian seperti ini ada saat nenek mengembalikan waktuku. Aku berkedip, berusaha menghalau angin itu dengan kedua tanganku.
"Nenek!! Tolong beritahu aku! Apa yang harus kulakukan?! Aku tidak tahu!" teriakku.
"Peluk Tuan Ayato, Nona." ucapnya sebelum benar-benar menghilang. Aneh sekali, bahkan angin kuat seperti ini tidak mampu menerbangkan dedaunan di sekitarku. Namun, rambutku bahkan seragamku seperti tertiup angin kencang. Seolah hanya aku dan nenek yang merasakan adanya angin kencang.
Aku terdiam sekali lagi, masih menatap ke arah di mana nenek sudah total menghilang. Memeluk Ayato? Bagaimana?
Aku memutar tubuhku, kembali berjalan ke rumahku. Pikiranku berkecamuk, memikirkan apa yang harus kulakukan agar bisa memeluk Ayato.
Aku sampai ke rumah, mandi dan menyiapkan sekiranya apa yang harus kubawa ke sekolah untuk esok harinya. Rutinitas yang selalu aku lakukan bahkan hingga sekarang, saat aku adalah seorang mahasiswi.
Setelah itu, aku merebahkan tubuhku ke kasur dan baru menyadari bahwa seluruh tubuhku terasa sakit. Aku bahkan baru sadar bahwa hari ini luar biasa melelahkan.
Aku memejam sejenak, apa yang harus kulakukan? Mendekati Ayato terus-menerus? Tapi, ia akan kesakitan. Kalau tidak begitu, bagaimana aku bisa mencari kesempatan untuk memeluknya?
Aish, tidak tahu. Kepalaku sakit. Akhirnya, aku terlelap dengan berbagai macam kemungkinan yang ada di otakku.
***
"Yukiㅡ ARGH!"
"AYATO!!"
"ARGH!"
Darah yang lebih mirip dengan sungai mengucur dari perut Ayato yang ditikam. Seakan seseorang menyeretku, aku semakin menjauh.
"AYATO!! LEPASKAN AKU! AAAA, AYATO!"
"Lari!" teriak Ayato.
"NO, DON'T!"
"Aaaaaaaa!"
Aku bangun dan langsung terduduk. Mataku dengan cepat melihat ke arah sekelilingku. Itu... mimpi? Seluruh tubuhku basah oleh keringat dingin dan napasku terputus-putus.
Aku berdiri, melangkah gontai ke kamar mandi untuk membasuh wajahku. Bagaimana bisa mimpi itu terasa nyata sekali? Aku tidak bisa melupakan darah yang mengucur seperti sungai dan teriakan kesakitan Ayato.
Aku meraih gelas dan mengisinya dengan air putih. Meneguknya sejenak kemudian menaruhnya kembali. Ada apa denganku?
Belum cukupkah penderitaan ini?
Ayato yang sakit kepala setiap melihatku, aku harus mengulang kehidupan 7 tahun silamku, dan sekarang... mimpi buruk?
Aku memijat keningku. Semesta betul-betul sedang bercanda dengan hidupku.
***
Setelah terbangun jam 12 setengah karena mimpi buruk itu, aku baru bisa tertidur sekitar jam 4 pagi. Butuh waktu lebih berjam-jam agar aku bisa menepis bayangan menyeramkan dari mimpi itu dan tertidur lagi.
Ugh, mengejar Ayato apanya. Kalau aku begini setiap hari, aku bisa mati muda bahkan jauh sebelum aku bisa bicara dengan Ayato.
Untung jam weker-ku berfungsi baik hari ini. Kalau tidak, aku akan terlambat ke sekolah. Meski sekarang kepalaku sedikit sakit, tidak masalah, mungkin aku akan tidur saat jam istirahat.
Untuk sampai ke kelas yang memang letaknya berada di gedung yang berbeda dengan gerbang sekolah, aku memang perlu menempuh jalan yang cukup jauh. Namun, di saat pagi seperti ini, saat lapangan sepi, aku selalu menggunakan lapangan sebagai jalan pintas untuk langsung ke gedung kelasku. Biasanya, terutama saat siang, pasti ada saja murid yang menggunakan lapangan, dan itu sangat berbahaya untuk lewat di sini.
Aku benar-benar melamun sepanjang jalan, tetapi pandanganku langsung mengarah kepada suara seseorang yang familiar. Kepalaku otomatis mengarah ke kiri, ada Eiji dan.. Ayato?!
Tepat sekali! Haruskah aku mencoba mendekati Ayato?
"Kakak Senior!" Aku melambai dan berteriak kepada mereka. Eiji yang menyadariku langsung melambai balik, menyapaku. Aku berlari ke arah mereka dengan semangat.
"Kakak Seniorㅡ AH!"
Terlampau semangat, aku tersandung oleh bola basket yang ternyata berada tak jauh dari sana. Sontak saja, aku tersungkur. Ya, di depan Ayato dan Eiji.
DI DEPAN AYATO! Sial!!
Beruntung aku selalu mengenakan celana pendek di balik rok seragamku. Aku sudah tahu, akan ada kejadian aku tersungkur seperti ini. Tapi, kenapa harus di depan Ayato, sih?!
Untuk mengangkat wajahku pun rasanya aku terlalu malu. Tapi, seseorang tiba-tiba berjalan mendekatiku. Meski malu, aku mengangkat kepalaku sedikit. Itu Ayato! Dia mau membantuku?
Ya, begitu harapanku. Lalu, harapan itu seperti terbakar sia-sia saat Ayato menggelengkan kepalanya dan melangkahi tubuhku yang tersungkur kemudian melenggang pergi.
Yang benar saja?! Ayato yang kuingat tidak sejahat ini setahuku?!
Akhirnya, dengan perasaan yang benar-benar malu, aku berdiri sendiri dan menepuk-nepuk rokku.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Eiji, tapi ia seperti menahan tawa.
"Ya, terima kasih telah bertanya." ketusku.
Sial. Mendekati Ayato apanya, hari kedua saja aku tersungkur langsung di depannya. Bagaimana pun, aku masih punya malu.
Setelah berpamitan dengan Eiji yang masih terlihat menahan tawa, aku buru-buru berlari ke kelas. Semoga saja tidak ada yang merekamku jatuh. Kalau ada, sebaiknya aku minta dihilangkan saja oleh nenek itu.
***
"Yukikoo!! Ayo ke kantin!" rengek Hatsumi.
Aduh, mana mungkin aku punya keberanian lagi? Apalagi kalau aku bertemu Ayato di kantin? Harus kutaruh di mana wajahku?
"Aku ingin tidur, Hatsumi." Aku menumpukkan tanganku di atas meja. Meski sebenarnya, aku lebih ingin makan. Aku tidak membawa bekal masalahnya.
"Kau malu karena jatuh di depan Kakak Senior tadi? Ish, tidak akan ada yang peduli, percayalah! Ayo, kau tidak membawa bekal, 'kan?" rengek Hatsumi, menarik-narik tanganku.
Aku menunduk sementara Hatsumi menarikku dengan semangat menuju kantin. Menu hari ini hanya curry rice, menu biasa. Setelah pekerja di kantin meletakkan sekotak susu di nampan, aku memberikan senyum terima kasih. Aku mengedarkan pandangan, mencari tempat duduk. Yang jelas jangan sampai berdekatan dengan Ayato dan Eijiㅡ
"Suzumi!"
Aish. Hatsumi yang sedang mencari tempat duduk pun langsung menarikku saat Eiji melambaikan tangannya.
Ini canggung sekali. Untunglah aku duduk cukup jauh dari Ayato. Sementara Hatsumi sibuk menanggapi Eiji, aku menunduk, menghindari tatapan Ayato.
Kalau begini terus, sampai kapan aku bisa mendekati Ayato? Aku 'kan masih harus membuktikan perkataan Nenek itu.
Oke, plan B, dekati Ayato setiap hari saja. Persetan dengan malu, anggap saja urat maluku sudah putus dari dulu. Kali ini aku akan melakukan pendekatan langsung, pasti bisa kali ini.
Saat aku sedang memikirkan cara untuk mendekati Ayato, secercah harapan seolah datang.
Ayato menyenggol lengan Eiji yang sedang makan sementara matanya tertuju pada katsu yang ada di piring Eiji.
"Apa?" tanya Eiji. Ayato mengedikkan dagunya, isyarat seolah meminta katsu Eiji.
"Tidak mau! Aku suka katsu! Aku menyisakannya untuk kumakan terakhir." sahut Eiji.
Meski wajahnya datar saja, aku bisa melihat bahwa Ayato menurunkan bahunya, tanda bahwa ia kecewa. Aku menunduk untuk menyembunyikan senyum. Itu salah satu kebiasaan Ayato yang bagiku menggemaskan. Bila ia kecewa karena tidak diberikan sesuatu yang ia sukai, terutama makanan seperti katsu atau susu coklat, ia akan menurunkan bahunya kecewa.
Ayato melanjutkan makanannya, sesekali melihat ke arah katsu Eiji yang buru-buru dilahap habis oleh Eiji. Separuh menahan senyum, aku memberikan katsu-ku ke piring Ayato.
Ia menatapku datar, seakan bertanya 'apa ini?'.
"Aku tidak terlalu menyukai katsu." jawabku dengan senyum ramah.
"Tidak perlu." Ayato menolak. Bahkan, dari tangannya yang meragu saat memegang sumpit, aku tahu ia tidak rela untuk mengembalikan katsu itu.
Aku tersenyum cukup lebar, sisi gemasnya memang tidak pernah lepas. "Tidak apa-apa. Untuk Kakak Senior saja, daripada nantinya kubuang. Makanan tidak boleh dibuang, Senior."
"Te- terima kasih."
"Suzumi."
Aku terkejut ketika melihat Hatsumi dan Eiji kompak melihat ke arahku dengan tatapan menggodaku.
"Y-Ya, ada apa, Senior?" tanyaku canggung.
"Kau suka pada temanku?" tanya Eiji langsung saja.
"Uhuk!" Aku tersedak. Tanganku meraih kotak susu-ku dengan cepat dan meminumnya.
"A-Aku?"
Aku tahu jelas maksudnya adalah Ayato, tapi kenapa aku malah terkejut dengan pertanyaannya? Plan B apanya, aku jelas belum siap untuk langsung terang-terangan mendekati Ayato.
"Ya, kau menyukai Ayato, bukan?" Eiji merangkul Ayato, yang sama sekali tidak dipedulikan Ayato.
Haruskah aku bilang tidak? Atau langsung jujur saja? Duh, aku malu sekali!
Aish, malu apanya? Ingat, urat maluku sudah putus.
"Y-Ya! Aku, aku menyukai Kakak Senior Ryoma!" jawabku antusias. Err, kelewat antusias.
Meski tidak kentara, aku sadar bahwa Ayato pun ikut terkejut. Terbukti dari matanya yang melebar. Mungkin ia pun tak menyangka aku akan seberani itu menyatakannya langsung.
"Ow, ow! Semangat sekali nona muda ini." Eiji terkekeh.
Kemudian, ia merangkul Ayato, membuat Ayato sedikit terguncang. "Adik kelas cantik ini menyukaimu. Kau tidak mau berkomentar?"
Namun, yang membuat seluruh kantin terkejut dan langsung terdiam adalah Ayato yang terlihat sengaja menggebrak meja cukup keras untuk membuat semua orang melihat ke arah kami ㅡuntunglah tidak sampai mejanya terbalik. Ia berdiri, menatapku dan tampak mengintimidasi.
"Jangan gila." ucapnya, menohokku keras. Dengan rahangnya yang mengeras, ia meninggalkan meja kami.
Namun, sebelum ia pergi, tepat ketika ia berada di belakangku, aku bisa mendengarnya mengucap pelan.
"Aku membiarkanmu bukan berarti kau bisa melakukan apapun sesukamu. Ketahui batasmu, Nona."
Saat aku ingin berucap, tiba-tiba sesuatu seperti menusuk jantungku tiba-tiba.
"Uhuk!"
Apa ini? Kenapa? Seakan belum cukup, dadaku terasa sakit sekali dan oksigen seperti tak ada untukku.
"Hh... UHUK!"
"YUKIKO!"
Rasanya aku seperti sedang dicekik dan ditikam bersamaan. Ada apa? Aku terkejut dengan kata-kata tajam Ayato, tapi aku cukup yakin bukan itu penyebabku seperti ini. Aku tidak se-shock itu hingga memungkinkan tubuhku bereaksi seperti ini.
Seperti ada seseorang yang melakukan ini padaku, seperti ada yang mengontrol tubuhku.
"Hhhㅡ UHUK! Hatsㅡ hhㅡ sumi.." Aku mengepalkan tanganku.
"YUKIKO! ADA APA?!" Hatsumi mengguncangkan tubuhku.
"Ssa- kit.. HHhh, to-tolong."
Seluruh kantin menjadi heboh dan aku bahkan tak lagi bisa menahan tubuhku untuk duduk. Aku terjatuh ke lantai sementara paru-paruku seperti menjerit meminta diisi oksigen.
Siapapun, tolong...
Pandanganku menggelap total, aku tak lagi bisa menahan sesak di dadaku. Bahkan, ributnya para murid di kantin yang entah menyoraki apa pun tak lagi menggangguku. Aku memejamkan mataku sejenak.
Ya, hanya sejenak sebelum aku merasakan bahwa tubuhku terangkat naik.
Lebih tepatnya diangkat naik oleh seseorang.
Huh?
Maaf semuanya update-an ini terlambatt karena semua author sibuk UAS dan TA :'( Mohon dimaafkaan ya :(( Makasihh juga atas supportnya <3