Tak ada hal lain yang bisa ditangkap oleh pendengaranku. Bunyi teriakan petugas pemadam yang terus menyemburkan air ke rumah Ayato, bunyi sirine mobil polisi dan petugas medis yang sibuk menanyai serta mengobati lukaku. Rasanya aku ingin memprotes, meminta mereka berhenti, namun untuk berbicara pun rasanya aku tidak bisa.
Bahkan, Eiji yang sedari tadi bertanya pun berhenti karena tak ada satu pun pertanyaan yang kujawab. Tidak lama kemudian, aku merasakan presensi seseorang.
"Permisi, apakah kalian keluarga dari Saudara Ayato?"
"Saya temannya. Ini pacarnya." jawab Eiji.
"Apakah Anda bisa menjawab beberapa pertanyaan kami?" tanya polisi tersebut, memandangku penuh prihatin.
"Sepertinya ia belum siap. Silahkan tanyakan saya saja."
Entahlah apa yang diceritakan oleh Eiji, tatapanku terfokus pada rumah Ayato. Ayato pasti hidup. Ayato, kau tidak meninggal, kan? Tolong, siapapun temukan Ayato. Ayato tidak mati, Ayato pastiㅡ
"Mayat Saudara Ayato telah ditemukan." lapor seorang polisi kepada polisi yang sedang bertanya kepada Eiji.
Mayat Ayato...?
Tidak lama kemudian, petugas medis mendorong brankar dengan tubuh seseorang yang tertutupi kain putih.
"Berhenti." ucapku.
Aku menghampiri brankar itu, membuka kain putih yang menutup tubuh itu. Meski mayatnya berlumuran darah dan lainnya, memang... itu adalah mayat Ayato.
"I-Ini Ayato?"
"Benar sekali, Nona."
Eiji dengan sigap menahan tubuhku yang melemas. Tidak, aku pasti salah lihat. Itu bukan Ayato.
"Eiji..."
"Ya..?"
"Katakan padaku aku gila, katakan padaku itu bukan Ayato."
Eiji meraih pundakku. "Yukiko."
"Ayo, Eiji. Katakan padaku, aku hanya salah lihat, itu bukan Ayato. Aku benar, kan? Mata sialanku ini menjadi buram, itu bukanㅡ"
"Ayato sudah tiada, Yukiko. Itu mayatnya Ayato, kau tidak salah lihat. Ayato sudah meninggal."
***
"Yukiko, apakah kau tidak apa-apa sendiri? Perlukah kupanggil Hatsumi sekarang?"
Aku menatap Eiji sejenak, menatap apartemenku yang kosong karena aku tinggal seorang diri. Memaksakan senyum, aku menggeleng pada Eiji yang mengantarku pulang.
"Tidak perlu, aku bisa menjaga diri."
"Kau yakin?"
Aku mengangguk.
Setelah memastikan aku benar-benar aman, Eiji pamit pulang kepadaku dan aku segera masuk ke dalam apartemenku.
Mungkin aku memang sudah gila. Ke mana pun, aku seperti melihat bayangan Ayato. Rasanya semua tempat seperti mengandung kenanganku dengannya.
Aku seperti melihat bayanganku dan Ayato yang sedang mengerjakan tugas di coffee table ruang keluarga, Ayato yang membangga-banggakan kemampuan masaknya di dapur, atau terkadang menggangguku bila aku sedang membaca novel di sofa.
Dengan langkah gontai, aku melangkah ke kamar mandi. Sekuat mungkin, aku menghilangkan bayangan itu.
Aku bahkan tidak berani melihat apartemenku sendiri. Haha, aku menyedihkan sekali.
Aku menyalakan penghangat ruangan dan ah, sial, aku benar-benar sudah gila. Aku tertawa miris, justru kamar inilah di mana aku menghabiskan banyak waktu dengan Ayato.
Aku bisa melihat bayangan kami sedang asik bermain game PC di atas meja belajarku atau terkadang kami menonton film horror bersama. Ayato yang suka menertawaiku karena aku terkejut oleh penampakan hantu di film horror.
Aku duduk di tepi kasurku, mengingat Ayato yang akan mengelus rambut dan menepuk punggungku agar aku tertidur. Hal terakhir yang tertangkap pandanganku adalah jaket hitam kesukaan Ayato yang tertinggal di kursi. Aku meraih jaket itu, wangi Ayato yang lembut namun maskulin melekat pada jaket itu.
Tentu saja, ini jaket kesayangannya.
Lagi-lagi, aku tak bisa mengontrol air mataku. Ayato... kenapa aku tidak bisa ikut denganmu saja?
Sekarang, tidak ada siapapun. Malam itu, kuhabiskan dengan menangis dan berteriak semauku.
***
Kalau saja Eiji dan Hatsumi tidak menjemputku pagi-pagi, aku mungkin tidak akan peduli untuk sekedar mengontak dosen yang mengajarku hari ini.
Di sinilah aku sekarang, mengacak-acak makanan kantin yang biasanya selalu kutunggu-tunggu saat waktu istirahat. Duduk sendiri, menunggu Hatsumi membelikan minuman untuk kami.
Biasanya, aku cukup ramah untuk menyapa beberapa relasi yang kukenal, sekedar bertukar senyum. Tapi, untuk sekarang, menoleh pun tak kulakukan.
"Ah, jadi harta warisan itu akan jatuh ke tanganmu, sayang?"
Tak sengaja, aku mendengar percakapan itu. Aku mengenal suara perempuan itu, Sakai Rin. Cantik, populer, pintar, kaya. Aku mengenalnya sejak SMA dan menganggapnya teman satu kelas. Tapi, entahlah, gadis itu melihatku seperti aku adalah musuhnya. Di saat-saat tertentu, ia akan mengejekku, merendahkanku dan aku tidak tahu apa alasannya. Aneh sekali, padahal kehidupannya jauh lebih sempurna dibandingkan denganku.
Lagipula, aku sedang tidak di dalam mood untuk mendengarkan pembicaraan orang, apalagi itu tentang masalah keluarga dan pembagian warisanㅡ
"Ya, setelah kakekku dan Ayato meninggal, keluarga kami mengadakan rapat keluarga dan memutuskan bahwa warisan kakek jatuh kepadaku. Maka dari itu, ibu menyuruhku untuk segera menyelesaikan skripsi, karena tampaknya perusahaan kakek pun akan diwariskan kepadaku."
Apakah... mereka baru saja membicarakan masalah warisan Ayato?
"Aku turut senang, sayang. Ketika kau mendapatkan warisannya, temani aku berbelanja?" Aku tahu mata gadis itu sedang menatapku dengan senyum penuh kemenangan, tapi aku berusaha untuk tidak peduli.
"Bicara soal Ayato, ah! Ya, ampun, aku tidak sadar ada pacarnya di sini. Kabarmu baik, Nona Suzumi?"
Kini, perhatian seluruh mahasiswa tertuju kepada kami. Tentu karena suara Rin yang sangat lantang. Aku biasanya sangat tenang menghadapi perempuan ini. Toh, aku sudah hafal dengan tabiatnya.
Namun, entahlah, rasanya ia seperti mengejek kematian Ayato kali ini, dan aku tak bisa menerimanya. Ugh, akan lebih memalukan bila aku meledak di sini.
Aku menyunggingkan senyum. "Secara fisik, aku baik. Terima kasih telah bertanya."
"Apakah itu berarti mentalmu tidak?"
Perempuan ini ingin memancing emosiku rupanya.
Aku tertawa renyah. "Wanita mana yang baik-baik saja bila mengalami tragedi seperti halnya yang kualami."
"Ah, sayang sekali pacar tampanmu itu harus tewas dalam kejadian mengenaskan. Sampaikan perasaan dukaku pada keluarganya, ya."
Aku melirik Takeushi, yang adalah sepupu dari Ayato sekaligus kekasih Rin sekarang.
"Kau bisa menyampaikannya pada Takeushi, bukankah ia keluarga Ayato? Tapi, baiklah, akan kusampaikan. Aku permisi dulu, ada tugas yang harus kuselesaikan di kelas. Semoga harimu menyenangkan, Nona Sakai." sarkasku telak.
Hatsumi yang menatapku bingung pun seakan mengerti saat aku mengedikkan mataku, memberi kode untuk mengajakknya pergi. Aku sudah pusing sekali, seharian ini aku sudah tidak fokus pada kelasku. Namun, saat aku melangkah, Rin kembali menyulut emosiku.
"Nona Suzumi, bisakah kau mengajarkanku agar aku bisa menjadi tidak tahu malu sepertimu. Kekasihmu meninggal dalam kejadian tragis, lalu kau masih datang ke kampus. Kau yang seharusnya akan hidup bahagia karena warisan keluarga Ryoma akan ada di tangan Ayato sekarang hampa tanpa apa-apa karena warisannya akan ada di tangan Takeushi. Wow... aku sangat kagum, bagaimana kau masih bisa datang seakan tidak ada apa-apa?"
Aku berbalik, menatap perempuan itu. Secara tak langsung, baginya aku berpacaran dengan Ayato hanya karena uang.
Hatsumi menggenggam tanganku, mengingatkanku untuk tidak bertindak aneh. Aku tersenyum padanya kemudian aku mengalihkan senyumku pada Rin.
"Aku secara pribadi berterimakasih atas perhatianmu, Nona Sakai. Sayangnya, tak semua orang sepertimu. Tidak semua orang berpandangan bahwa perasaan cinta berlandaskan pada harta."
Hatsumi menepuk pundakku, tertawa atas komentar pedas yang kulontarkan. Sementara aku bisa melihat Rin yang tampak tersulut emosi oleh kata-kataku.
Boomerang bagimu, Nona Sakai.
***
Salah bila kalian mengira hidupku baik-baik saja. Setidaknya mungkin itu yang orang ketahui.
Aku terlihat seperti orang yang bahagia-bahagia saja saat pagi hari. Menghadiri kelas, melakukan kegiatan-kegiatan di semester terakhirku sebagai mahasiswa. Terkadang, Eiji dan Hatsumi akan menemaniku untuk sekedar makan siang bersama.
Setelah itu, aku akan keluar dengan jaket hitam kesayangan Ayato sebagai luaranku. Melewati rumah Ayato yang kosong melompong dan terabaikan, masih lengkap dengan garis polisi yang terbentang di beberapa sisi rumah Ayato. Memandangnya sejenak pun sudah cukup bagiku. Duduk sendirian di taman yang biasa kami kunjungi berdua dan pulang setelah membeli masing-masing satu botol susu stroberi dan susu coklat.
Malamnya, aku akan duduk terdiam sambil menyedot susu stroberi kesukaanku. Membiarkan sebotol susu coklat itu tak tersentuh, berharap Ayato akan datang secara ajaib dan meminumnya.
Kemudian, aku akan menangis hingga tertidur. Selama hampir satu tahun, aku sudah terbiasa dengan mata bengkakku dan hidungku yang memerah karena menangis setiap kali bangun pagi.
Setiap hari, aku mengulangnya setiap hari.
Bahkan saat aku sudah lulus dari dunia perkuliahan dan aku kembali ke rumah orang tuaku seperti saat ini.
Aku sedang mengurung diri seperti biasanya, saat aku mendengar teriakan ibuku dari lantai dasar.
"Yukiko!! Ada tamu untukmu!"
Dengan langkah gontai, aku turun dan membuka pintu hanya untuk menemukan Takeushi yang tampak terkejut karena aku membuka pintu.
Apa maunya?
Namun, aku pun tetap memberikan senyum dan mempersilahkannya masuk.
"Ada perlu apa kau datang sore-sore begini, Takeushi?" tanyaku sopan setelah meletakkan secangkir teh.
"Aku... hanya ingin memberikanmu sekotak coklat ini. Umm... dan aku turut berduka cita atas apa yang kau alami." ucapnya sambil meletakkan sekotak coklat.
Aku menatap kotak coklat itu dan tersenyum, kesukaan Ayato. Ayato bahkan bisa menghabiskan satu kotak itu sendirian.
"Terima kasih atas coklatnya, tapi aku bukan penggemar coklat. Setahuku, aku juga tak mengalami kejadian-kejadian duka akhir-akhir ini. Kenapa kau menyampaikan hal itu kepadaku?" tolakku sopan.
"Maksudku, atas apa yang terjadi kepada... Ayato."
Aku terdiam sejenak.
"Seharusnya aku yang menyampaikannya padamu, karena kau adalah keluarganya. Lagipula itu kejadian yang sudah hampir setahun lamanya."
Takeushi mengangguk canggung kemudian terdiam cukup lama, seperti ada yang ingin ia sampaikan.
Aku berkali-kali mengetukkan kakiku pada lantai, tanda bahwa aku tidak nyaman dengan suasana sunyi ini. Ia membuang waktuku.
"Tuan Ryoma, bila tak ada yang ingin kau sampaikan, aku mohon maaf tapi aku punya urusan lain, bisakah kauㅡ"
"Yukiko." potongnya.
"Ya?" jawabku enggan.
"Aku... tahu kau terpukul oleh tiadanya Ayato. Meski kau tak menampakkannya, aku tahu kau setiap hari bersedih karena kau kehilangan dirinya. Aku.. sebenarnya aku.. aku sudah lama menyukaimu. Aku berpacaran dengan Rin karena ia memaksa, pun aku tahu ia hanya menginginkan hartaku. Aku rasanya tidak bisa lagi melihatmu bersedih, jadi maukah kauㅡ"
"Berhenti."
Lelaki itu berhenti. Tahu bahwa aku jelas-jelas tidak menyukai situasi ini.
"Aku berterima kasih karena kau telah memperhatikan dan mementingkan perasaanku. Tapi, terima kasih, aku tak memerlukannya. Aku cukup dewasa untuk mengatur perasaanku sendiri, terlebih aku tak ingin terjebak dalam hubunganmu dan Rin."
Takeushi jelas ingin menjawab tapi, ia pun seperti tak kuasa.
"Sekali lagi, maaf bila aku lancang, tapi ada yang harus kulakukan, jadi bila tak ada hal lain yang ingin kau sampaikan, kupersilahkan dirimu untuk meninggalkan rumahku. Oh, ya, aku tidak menyukai coklat, bawalah pulang coklatmu." tegasku.
Dengan langkah tidak rela separuh menyesal, Takeushi membawa kotak coklat itu dan pergi.
Ah, sial. Kenapa ia harus memperburuk mood-ku hari ini?
Hari menjadi mendung seketika tetapi rasanya aku butuh menghirup udara segar. Ah, jadi bagaimana ini?
Akhirnya, tanpa memperdulikan cuaca, aku mengenakan jaket hitam Ayato dan menghampiri ibuku di dapur.
"Ibu, aku keluar sebentar." pamitku pada ibuku.
"Baiklah, jangan pulang terlalu malam."
Lagi dan lagi, aku melakukan kebiasaan ini. Aku menaiki bis menuju daerah apartemen lamaku, menghabiskan sore untuk mengelilingi rute yang selalu kutempuh sejak hampir satu tahun lalu.
Taman, rumah Ayato, supermarket.
Taman itu lambat laun menjadi sepi, seakan memang hanya aku dan Ayato pengunjungnya. Biasanya akan ada anak-anak yang datang untuk bermain sore-sore begini. Namun, sekarang, pengurusnya pun tampak sudah mengabaikannya.
Kemudian, aku lanjut berjalan ke rumah Ayato. Niatku hanya untuk melihatnya sebentar, tapi, aku terkejut melihat tubuh seseorang yang terkulai lemas.
"Permisi, Nyonya, apakah Anda baik-baik saja?" Aku menghampiri orang yang ternyata adalah seorang nenek-nenek berpakaian lusuh.
"Tolong... tolong aku..." lirihnya lemah.
Aku sedang mencari tempat untuk mendudukkannya tapi, hujan tiba-tiba saja deras. Ah, belum cukup sialkah hari ini?
Aku memapah nenek itu masuk ke dalam rumah Ayato yang untungnya tak terkunci. Meski sedikit berdebu, setidaknya masih bisa menjadi tempat berteduh.
"A-aku lapar sekali..." rintihnya. Terlihat dari bibir pucatnya, aku bisa menebak bahwa ia memang kelaparan. Akhirnya, kuterobos hujan untuk pergi membeli susu, air putih dan juga roti.
Kuberikan air putih dan roti pada nenek itu.
"Terima kasih banyak, Nak."
Aku tersenyum memperhatikan nenek itu melahap roti itu kelaparan. Rasa iba menyergapku. Ya, ampun, kasihan sekali.
Aku mengeluarkan susu stroberi itu dan meminumnya. Sepertinya tak ada pilihan lain, aku harus menunggu hujan reda.
"Nak, untuk siapa susu coklat itu?" tanya nenek itu, melihatku meletakkan susu coklat itu di sampingku, lengkap dengan sedotan yang tertancap.
Aish, aku tanpa sadar melakukannya. Pasti sekarang aku seperti orang gila.
"Ah, hanya kebiasaan yang tak sadar selalu kulakukan."
"Apa kau sedang patah hati, Nak?" tanya Nenek itu, dengan senyum mengembang. Aku terdiam, terpaku. Bagaimana ia bisa tahu?
"Tidak, akuㅡ"
"Kau tidak perlu berbohong. Aku bisa melihatnya, bukankah ini rumah kekasihmu yang meninggal dalam kejadian tragis?"
Aku menganga. Aku cukup yakin perumahan ini sepi, dan tidak ada yang tahu kejadian itu seharusnya.
"Aku tahu kau sudah terpukul selama hampir satu tahun, kurasa kau pun sudah hampir hancur, Nona."
Aku tergagap. Apa yang dikatakannya benar. Aku tak hanya terpukul, aku hancur sehancur-hancurnya. Aku masih menatap nenek itu kebingungan, sementara beliau tersenyum.
"Nona, bila dengan syarat tertentu, kekasihmu bisa dihidupkan kembali, maukah kau mengambil resiko itu?"