Chapter 6 - Cinta yang Murni

Setelah membantunya memakai topi renangnya, Fira menghela nafas lega. Pintu kamar mandi ditutup rapat. Di dalam kamar mandi, Direktur Herman meletakkan es batu di bawah kepala pancuran lalu memutar keran air dinginnya. Dia melaporkan "Suhu airnya telah turun menjadi 16 derajat, dan masih terus turun. Kalau kamu sudah siap, kamu bisa masuk. Setelah kamu masuk ke dalam, beri aku sinyal dan aku akan mulai menghitung waktunya."

Ardi mulai melepaskan piamanya, dan Fira segera membalikkan badan.

Suara gemerisik pakaian terngiang-ngiang di telinganya, dan piama yang masih mengandung jejak suhu tubuhnya diletakkan ke bahunya "Titip dulu."

Bau tembakau yang bercampur dengan aroma pria menusuk hidungnya, dan Fira merasa sedikit tersiksa.

Lalu dia mendengar suara seseorang memasuki area pancuran.

Suara Direktur Herman terdengar "Airnya sudah mencapai suhu nol, apa kita bisa mulai sekarang?"

"Ya, mulailah."

Timer berbunyi klik di ruang yang terbatas itu. Dari sudut matanya, Fira melihat sekilas ke arah Direktur Herman, dan berbisik "Berapa lama waktu yang dibutuhkan?"

"Nol derajat, air dingin selama lima menit."

Mata Fira membelalak "Apakah ini menggunakan air dingin?"

Direktur Herman terkekeh pelan "Tentu saja, kalau tidak, mana mungkin bisa disebut sebagai uji suhu rendah?"

Fira secara naluriah melihat ke belakang. Bagian bawah kamar mandi terbuat dari kaca buram, dan bagian atasnya terbuat dari kaca transparan. Air dingin mengalir deras, dan otot-otot Ardi samar-samar terlihat. Otot itu bukan seperti otot pria besar yang dilatih di gym. Ototnya terlihat halus dan indah. Seperti otot seseorang yang berlatih ilmu bela diri.

Tubuh Ardi tampak seperti sebuah karya seni yang dipajang di dalam lemari kaca transparan. Ibarat dewa, yang membuat orang hanya berani melihatnya dari kejauhan.

Lima menit sepertinya waktu yang lama, dan pria itu berdiri diam di bawah pancuran, seperti patung.

Tidak ada uap air di dalamnya. Sudah jelas bahwa suhunya telah turun hingga titik beku. Hanya membayangkan melompat ke air es di musim dingin, dan dia langsung menggigil.

Dengan bunyi klik, Direktur Herman menekan pengatur waktu "Kapten Ardi, waktunya sudah habis."

Fira melihat Ardi mematikan air di pancuran dan baru akan melangkah keluar. Dengan cepat dia membalikkan badan dan dia bisa merasakan Ardi mendekatinya dari belakang dengan tubuh kedinginan dan lembab. Dia juga bisa merasakan nafasnya yang cepat karena kedinginan, serta jari-jari yang dingin menyentuhnya ketika dia mengambil piyamanya di pundaknya.

Suara Ardi terdengar "Setelah aku memakai pakaianku, kamu bisa berbalik."

Fira berbalik. Jari ramping pria itu sedang membenahi pakaiannya lalu mengulurkan tangan untuk melepaskan topi renangnya. Rambutnya yang sedikit basah kembali berantakan di keningnya. Dia terlihat seksi.

Direktur Herman mengukur tekanan darah Ardi dan memberitahunya "Tekanan darahmu masih tetap tidak melebihi 18,4/11,7 kPa (138/88 mm), dan itu menunjukkan kondisimu yang memenuhi persyaratan. Nah, sekarang aku akan keluar lebih dulu."

Fira ingin ikut melangkah keluar bersama Direktur Herman, tapi Ardi justru meraih pergelangan tangannya dan menyudutkannya ke dinding.

"Kenapa kamu tidak berani melihat tubuhku?" Tatapan matanya menggodanya.

Fira berbisik "Kita belum sampai kesana."

"Lalu kita sudah sampai mana?"

"Baru berpegangan tangan saja."

Dia harus tetap bersikap konservatif.

"Bergandengan tangan? Sudah berapa lama kita pacaran?" Saat dia menanyakan itu, Fira tampak sedikit bingung.

"Kita sudah pacaran selama setahun."

Ardi sedikit menyipitkan matanya "Sudah setahun dan aku hanya berpegangan tangan?"

Jenis cinta murni seperti apa ini?

Fira merasa sedikit cemas "Karena aku masih muda, kamu bilang kamu akan menunggu."

Ya Tuhan, berapa banyak kebohongan yang harus dia katakan?

"Berapa usiamu?" Jari-jari ramping itu mengelus pipinya, dan akhirnya mencubit dagunya dengan lembut. Kulit gadis itu sangat halus sampai-sampai dia tidak bisa melepaskannya.

"Sembilan belas tahun."

Pria itu mendesah pelan "Masih muda sekali."

Sepertinya dia memang harus sedikit menahan diri.

Fira mengangguk mendengarnya "Takdir tidak bisa menghentikan hal semacam ini. Cinta itu tidak memandang usia."

"Bagaimana kita bertemu?"

***

"Musim panas tahun lalu, di hari hujan, di dekat Tugu Pahlawan. Saat itu kamu sedang duduk di dalam mobil dan melewati genangan air. Mobilmu memercikkan air kotor itu ke arahku di pinggir jalan. Aku menghentikan mobilmu dan berdebat denganmu. Itulah pertama kalinya kita bertemu."

Fira hanya bisa menyilangkan jarinya. Pada akhirnya, dia menurunkan pandangannya. Maaf, imajinasiku memang payah, jadi aku hanya bisa memikirkan pertemuan klise semacam itu. Kuharap dia tidak akan menyadari yang sebenarnya.

Pria itu tertawa kecil dan mengusap wajahnya sendiri "Jadi begitu rupanya. Ayo kita keluar,"

Fira meraih tangan Ardi yang besar "Kita hanya pacaran diam-diam sebelum ini tapi sekarang mereka semua mengetahuinya. Kurasa orang-orang disekitarmu takkan percaya dengan mudah bahwa kita memang pacaran. Mereka pasti akan menentang keputusanmu untuk berpacaran denganku, jadi..."

"Lalu kenapa?"

"Jadi, tolong percayalah padaku, oke?" Dia menatap Ardi dengan gugup. Pria itu sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. Sikunya menempel ke dinding disampingnya. Kerah piamanya sedikit terbuka dan menguarkan aroma tubuhnya. Ada nafsu yang tersembunyi di matanya dan Fira mencoba membuat dirinya menatap langsung ke arahnya.

Ardi meraih tangannya, menegakkan badan dan suara yang dalam dan jelas itu terdengar merdu di telinga Fira.

"Oke, aku percaya padamu."

Meski Fira terlihat menghela nafas lega, dia juga merasa sedikit bersalah. Bagaimanapun juga, dialah yang berbohong pada Ardi.

Dia akan berusaha keras menemukan cara lain untuk bertahan hidup. Saat dia menemukannya, dia akan mengatakan yang sebenarnya dan meninggalkan Ardi. Dia hanya bisa berharap bahwa sebelum semuanya menjadi buruk, dia sudah menemukan cara lain itu.

Setelah meninggalkan kamar mandi, Herman menandatangani formulir hasil pemeriksaan fisik dan dua pejabat senior dari kantor maskapai juga menandatanganinya.

Bagas berkata, "Pihak rumah sakit akan mengeluarkan laporan pemeriksaan fisik yang lebih terperinci dan sayalah yang akan menyerahkannya ke Bagian Manajemen Kendali Lalu Lintas Udara."

Herman akhirnya berkata, "Maaf mengganggumu, Kapten Ardi. Terima kasih atas kerjasamanya."

Ardi hanya mengangguk kecil dan tak lama kemudian, dia sudah melangkah keluar dari kamarnya.

Bagas dan Amanda masih berdiri di dekat tempat tidurnya dan tatapan Ardi tampak dingin "Apa ada hal lain?"

Arti dari ucapannya itu sudah jelas.

Keduanya segera berkata, "Tidak ada yang lain. Kami pergi sekarang."

Mereka bergegas keluar dari bangsal rawat inap. Amanda menghela nafas lega sementara Bagas masih melirik ke belakang dan berkata, "Gadis itu terlihat terlalu muda."

Amanda berkata, "Tapi dia benar-benar cantik, bahkan lebih cantik dari Putri, pramugari tercantik di Garuda Airlines."

"Ya, dia sangat cantik bahkan tanpa make-up. Kalau dia memakai make-up, dia pasti tampak menakjubkan."

Di dalam bangsal, Ardi agak kedinginan karena berdiri cukup lama di bawah pancuran air dingin. Fira dengan sigap membantunya menuangkan secangkir air hangat. "Kamu harus beristirahat sekarang,"

Ardi menjawab dengan lembut, "Ya."

"Kalau begitu aku akan memberitahumu sekarang. Aku akan pergi saat kamu tidur nanti dan aku belum tentu bisa datang besok karena aku harus mengisi pendaftaran untuk ujian masuk perguruan tinggi."

Suara pria itu tampak penasaran, "Jadi begitu,"

Di kehidupannya sebelum ini, dia tidak melakukannya dan memilih untuk pergi melakukan hal lain. Karena saat itu Lulu telah mencuci otaknya, dia merasa memiliki harga diri paling tinggi dan harus mengandalkan tangannya sendiri untuk bisa keluar dari kemiskinan.

Saat dia mengingatnya lagi sekarang, dulu dia memang benar-benar konyol.

Setelah tiba kembali di rumah, dia bertemu Yudhi yang baru saja pulang dari sekolah.

Tahun ini, adik kembarnya berusia lima belas tahun. Mereka berdua duduk di kelas dua SMA. Meski baru berusia lima belas tapi mereka terlihat seperti sudah berusia delapan belas dan keduanya sangat tampan.

Yudha terlihat seperti anak laki-laki normal yang bersih, dengan tatapan mata yang lembut.

Yudhi memiliki siluet yang bagus tapi gaya rambutnya yang berwarna abu-abu biru benar-benar merusak pemandangan di mata Fira.

Meski Yudha menderita autisme, dia masih tercatat sebagai siswa SMA Negeri 9.

Yudhi adalah anak yang suka mengganggu di SMA Negeri 9. Dia tidak suka belajar dan kegemarannya hanyalah berkelahi. Saat ini ada stik permen loli di mulutnya dan dia masih membawa tas sekolah. Di belakangnya ada beberapa anak lain dengan gaya rambut berwarna warni. Salah satu diantara mereka mendesaknya, "Yud, ayo cepat, nanti kita terlambat."

Yudhi membuka kancing seragam sekolahnya bahkan sebelum memasuki kamarnya, "Aku akan segera kesana setelah mengganti seragam."

Kalau dia masih memakai seragam sekolah, dia takkan diperbolehkan masuk ke warnet.

Setelah berganti pakaian dengan kaus putih, dia bergegas berlari keluar. Fira mengangkat tongkat, bersandar di kusen pintu dan berkata dengan malas, "Tunggu dulu."

Fira si perawat akan mulai mengajari adiknya untuk menjadi manusia yang lebih berguna.