PIIMM-PIIIIIIIMMMMMMMM...PIMMMMMM-PIIMMMMMMMMM...PIIIIIIIIMMMMMMMMM...
"Kakak, kumohon, ajak aku! Aku tidak mau dengan ayam itu! Kakak aku mohooonnn..." Pinta Rin dengan mimik wajah manisnya. Ia bahkan memegangi lengan sang kakak.
Sean memandang adiknya. Ia lalu tersenyum dan melepaskan pegangan tangan sang adik dengan lembut. "Kekasihmu sudah menunggu, Rin. Mana mungkin kakak tega memisahkanmu dengan dia. Semalam kalian bilang, kalian saling mencintai dan tidak bisa hidup tanpa kehadiran masing-masing, kan?" Sean menyeringai badai.
Rin memanyunkan bibir ketika melihat Sean masuk ke dalam mobil dan tak mengizinkannya masuk.
"Kakak jahaat..."
Ini pertama kalinya sang kakak berniat meninggalkannya dan membiarkannya dengan laki-laki lain. Sejujurnya ingin protes, tapi tidak mungkin baginya untuk mengatakan yang sebenarnya, kan? Jika ia ketahuan berbohong besar seperti ini, maka ia akan melukai keluarganya sekali lagi.
Sean membuka jendelanya. "Oh iya, Paman Yamato akan datang, sebaiknya kau harus waspada.. Daa..." Mobil Sean melaju.
"A-apa?" Mata Rin terbelalak kaget. "Paman Yamato? KAAAKAAAAAKKKKK... YANG BENAR SAJA!"
PIIIMM-PIIIIMMMMMMMMMMMMMMM...PIIIMMMMM-PPIIIIIIIIIIIIIIIIMMMMMMMMMMMMMM...
Rin menghentak-hentakkan kakinya karena kesal. Yamato akan datang, dunianya akan semakin sempit setelah ini.
Bagaimana ini?
Pagi ini sungguh menyebalkan. Kakaknya meninggalkannya, ia harus berangkat dengan Kei dengan status baru sebagai calon istri Kei di masa depan. Ia berjalan sambil menggerutu menuju mobil milik Kei.
"Berisik, ayam!"
Kei memandang kesal Rin lewat jendela mobilnya. "Sudah siang, jidat pinky!"
"Berisik..." Rin membuka pintu mobil Kei dan menutupnya dengan sangat keras. Ia lalu memasang sabuk pengamannya. "Cepat jalan! Aku tidak mau telat."
"Jangan memerintahku! Lagian kenapa kau kesal seperti itu, hah? Yang kesal itu aku, aku menunggumu sudah sangat lama!"
"Salah siapa menungguku, aku tidak pernah merasa memintamu untuk menungguku! Hei Tuan, aku tidak memintamu untuk menjemputku!" Rin menyilangkan kedua tangannya ke dada.
"Cih, jika bukan karena permintaan ibuku, tak sudi aku berangkat ke sekolah bersamamu." Kei menyalahkan mesin mobilnya lalu melaju menuju ke sekolah.
Rin merenung, ibunya Kei itu seperti malaikat saja. Senyumnya sangat meneduhkan, sangat baik kepadanya pula. Ia menjadi tidak tega jika harus mengatakan yang sesungguhnya, mungkin juga hal itu sama seperti yang Kei rasakan.
Haah, semakin rumit saja. Di saat ia ingin memantapkan diri untuk membalas dendam dengan Kei, ia justru terjebak dengan permainan konyolnya dengan Kei.
"Jika di sekolah nanti ada yang tahu tentang hubungan kita, aku akan membunuhmu! Aku sudah meminta kakakku dan Agara untuk tidak membocorkannya hubungan kita tadi malam... Jadi, kalau nanti ada yang tahu di sekolah tentang hubungan kita, orang pertama yang aku cari adalah KAU!" Ancam Rin.
"Aku akan menyebarkan video itu ke seluruh penjuru negara ini jika kau berani memerintahku lagi! Ingat, kau masih anjingku! Jadilah peliharaan yang penurut dan setia, maka semua akan baik-baik saja." Kei lalu tersenyum setan. Bagaimanapun, ia tidak ingin didominasi oleh Rin.
Ancaman Kei jauh lebih menakutkan. Harga dirinya dipertaruhkan di sini. "Cih..."
Kei mengelus kepala Rin. "Anjing yang baik."
Rin menampis tangan Kei. "Kau merusak tatanan rambut indahku."
"Jieeh..." Kei malah balik mengacak-acaknya lagi.
"KEIII!! BISA BERHENTI TIDAK SIH? Rambutku kan jadi berantakan... Dan apa ini? Remahan roti?" Rin menyadari ada remahan roti di kepalanya.
Kei nyengir. "Ah maaf, karena kau lama aku makan roti tawar dulu."
"KEEEEIIII!!!!" Sungut Rin. Bagaimana bisa rambut indahnya dijadikan lap oleh Kei?
***
"Turunkan aku di sini saja!" Kata Rin.
Kei menghentikan mobilnya. Ia lalu melirik ke arah luar mobil, dilihatnya banyak siswa yang berlalu lalang.
"Kau yakin, kau berani berjalan sendirian di tengah banyak orang seperti itu?"
Tanya Kei. Ia menunjuk ke arah para siswa yang cukup banyak di sana, di luar mobil mereka tumpangi.
Banyak orang! Rin tahu itu. Wajahnya langsung memucat, keringat mengalir lewat pelipisnya. Ke dua tangannya gemetar.
Kei menyadarinya. Ia memang sudah memperkirakan hal ini akan terjadi. Meski tidak tahu penyebab pastinya, yang jelas, ia tahu jika Rin tidak bisa sendirian di tengah keramaian.
Kei sudah mengamati Rin dalam beberapa hari ini. Ia tahu sedikit demi sedikit bagaimana dan kapan perubahan sikap Rin.
Dengan mantap, Kei lalu menyalahkan kembali mesin mobilnya dan melesat menuju parkiran sekolah.
Seperti yang sudah Kei duga juga, Rin bahkan enggan keluar dari mobilnya saat sudah sampai di parkiran sekolah.
Apa sekolah sebegitu menakutkannya? Apa karena keramaiannya? Apa tiap hari Rin juga seperti itu saat bersama Sean?
Tidak, Kei yakin ada pengecualian. Rin akan baik-baik saja jika bersama orang yang sudah terbiasa dengannya, dengan orang yang dekat dengannya.
Zayn, Indry dkk, Rin cukup bergaul dengan baik, tidak ada ketakutan. Kei menyimpulkan jika ketakutan Rin itu hanya di tempat asing baginya dan bersama orang-orang yang tak dikenal Rin.
Iya, seperti itu. Itu hasil pengamatan Kei.
Meski ada orang asing di dalam kerumunan itu, jika Rin bersama orang yang dekat dengannya, maka Rin akan bisa berbaur dengan baik pula. Jadi, Rin butuh pendukung mental keberanian. Kei menjadi tertarik mempelajarinya.
Apa di masa depan ia ingin menjadi psikolog? Entahlah, Kei akanemikirkannya karena hal itu terdengar tidak buruk juga.
Bukankah ilmu psikologis itu sangat menarik? Bisa memahami karakter banyak orang adalah salah satunya.
"Kau... memiliki trauma di masa lalu sehingga membuatmu seperti ini?" Tanya Kei. Rasa penasarannya memang harus segera dijawab.
Rin menundukkan kepalanya. "Bukan urusanmu untuk mengetahuinya." Jawab Rin ketus.
Rin pasti akan menutupinya dan Kei juga sudah menduganya. Rin sulit terbuka pada orang lain. "Begitu ya? Keluar dari mobilku sekarang atau aku akan meninggalkanmu sendirian!" Kei membuka pintu mobil dari luar.
Ia harus membuat pancingan agar Rin bisa mengubah pola pikirnya.
Rin memegang baju seragam Kei. "Jangan tinggalkan aku sendirian!" Rin terlihat ingin menangis.
Jangan tinggalkan Rin sendirian? Sungguh, Kei ingin tertawa sekerasnya. Gadis pinky yang selalu menolaknya dan mengajaknya berantem tiap hari mengatakan hal seperti itu?
Sekali lagi, jangan tinggalkan sendirian?
Siapa yang mengucapkannya?
Rin?
Aerin Tann?
Putri bungsu keluarga konglongmerat Tann?
Kemana harga diri yang setinggi langit itu? Sembunyi di gunung Everest atau di dasar laut dalam ala Tartarus?
Ah, Kei sudah kesulitan menahan tawanya. Memaksa untuk segera menggelegar. Bukankah Rin saat ini terlihat sangat menyedihkan?
Namun sayang, Kei mengurungkan niat tertawanya. Melihat Rin ketakutan seperti itu membuatnya tidak tega. Ia tidak sampai hati. Membuat gadis menangis itu bukan gayanya.
Ia menghela nafas. "Mau bagaimana lagi.. aku tak akan meninggalkanmu."
Rin menatap Kei dalam-dalam. "Benarkah, Kei?" Tanya Rin.
"Iya. Hapus air matamu, kau tidak cocok menangis! Sangat jelek seperti nenek lampir kesamber gledek." Kata Kei asal.
Perempatan siku muncul. Kei itu menghibur apa menghina sih? "Kau grandong kurang piknik!" Kesal Rin.