Kediaman Keluarga Tann...
Sean, si sulung keluarga Tann meletakkan tasnya di atas meja makan. Ia segera mengambil air minum yang ada di kulkas. Meminumnya dengan cepat agar rasa haus yang ia rasa menghilang. Hari ini sangat melelahkan, dan benar saja, ketika air yang ia minum membasahi kerongkongannya, rasanya seperti padang pasir yang terkena hujan sejam.
"Akhhh... Sangat menyegarkan." Kata Sean. Ia pun mengembalikan botol air minum ke dalam kulkas.
"Loh? Sean? Kau sudah pulang?" Suara Nyonya keluarga Tann menyapa.
"Ibu? Ah iya, baru saja."
"Bagaimana lesnya? Berat? Sulit?" Sebenarnya Rina, ibunya Sean dan Rin khawatir dengan banyaknya les yang harus Sean ikuti. Namun bagaimana lagi, ini juga demi Sean di masa depan.
"Bohong jika itu tidak sulit, kan? Namun tenang saja Ibu, aku bisa melewatinya dengan lancar. Jika ada kendala pun, aku pasti akan komplain ke ayah, ibu, ataupun kakek. Jangan khawatir..."
"Maaf ya, Sean... karena keegoisan dan tuntutan keturunan keluarga Tann kau menjadi seperti ini. Mengemban tanggung jawab di usia yang masih remaja. Kami memaksamu dewasa dari usiamu." Rina merasa bersalah.
Sean menghela nafas. Ibunya ini terlalu menyalahkan dirinya sendiri. Apapun yang terjadi kepada anak-anaknya, ibunya ini pasti akan menyalahkan dirinya sendiri. Menganggap jika petaka yang menghampiri anak-anaknya adalah sebagai akibat karena diri ibunya tidak bisa merawat anak-anaknya dengan baik. Meski itu memang biasa dilakukan oleh seorang ibu yang sangat menyayangi dan mencintai anak-anaknya, tapi kadang, sikap sang ibu terlalu berlebihan di mata Sean, dan itu merepotkan juga.
"Satu hal yang harus ibu ketahui, aku bahagia menjalani kehidupanku. Jadi, ibu tak usah berpikiran macam-macam ya?" Kata Sean yang ingin menenangkan perasaan ibunya.
"Kau yakin?" Rina masih saja belum sepenuhnya percaya. Sebenarnya bukan berarti ia tidak mempercayai Sean, tapi terkadang ia harus memastikannya berkali-kali agar perasaannya lega.
"Aku sudah sangat yakin, Ibu. Sudahlah, aku akan baik-baik saja." Senyum Sean. Sang ibu pun juga membalas senyumannya. "Oh iya, ayah dimana? Tumben belum pulang?" Tambahnya.
"Ayahmu masih menemui klien perusahaan di daerah dekat bandara. Sepertinya juga dia akan sekalian menjemput pamanmu di sana." Jawab Rina.
"Paman datang lebih cepat dari yang aku kira." Gumam Sean. "Lalu, dimana Rin? Aku sama sekali tidak melihatnya dirinya saat ini. Apa dia ada di kamarnya?" Tanya Sean.
"Ah Rin ya? Dia kencan dengan Kei. Main gitu ke rumah Kei." Rina nampak sumringah soal ini. Mengingat begitu manisnya interaksi Rin dengan Kei membuatnya membayangkan masa depan yang dipenuhi dengan bunga bermekaran di atas awan!
Oke itu berlebihan.
"Ibu yakin membiarkan putri kesayangan keluarga Tann dibawa oleh salah satu pewaris keluarga mafia?"
"Kalau Kei mah tidak apa-apa. Mereka sangat manis, dan Kei sangat mencintai Rin. Ibu percaya pada Kei. Dia anak yang bertanggung jawab."
Sean hanya meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia dan Zack, kakaknya Kei, yakin jika hubungan di antara adik-adiknya itu mencurigakan. Tapi para orang tua dapat dengan mudahnya percaya.
"Ya semoga saja ketika pulang nanti Rin akan kembali lebih ceria." Kata Sean yang memilih untuk mengikuti alurnya. Bukan berati ia tak khawatir, tapi ia tahu jika Kei bukanlah laki-laki yang suka mempermainkan perasaan seorang cewek.
"Iya, ibu harap juga begitu. Nah, ibu akan siapkan makanan. Kau mandi sana, lalu kita makan bersama."
"Iya, Bu..."
.
.
.
Hah... hah... hah... hah...
Nafas itu semakin mencekik leher. Semakin sulit. Semakin kehilangan oksigen. Tidak boleh. Tidak boleh berhenti! Harus cepat! Harus cepat berlari meski sulit bernafas, meski kaki hampir patah sekalipun. Harus tetap berlari! Lebih cepat lagi! Meski sudah ratusan bahkan ribun ranting pohon menyayat kulit mulus. Meski dedaunan menampar wajah, air hujan mengguyur badan, atau bahkan lumpur dan kayu kering serta bebatuan menghalangi kaki, langkah ini tidak boleh berhenti.
Tidak boleh herhenti!
Kaki, teruslah berlari!
Hah... hah... hah...
Nafas... bernafaslah lebih panjang dari biasanya!
Kaki... kaki berlarilah lebih banyak dari biasanya... lebih panjang dari biasanya... lebih jauh dari biasanya!
Tubuh... berusahalah... berusahalah meski hampir mati sekalipun... bertahanlah... berlarilah... terus jangan sampai berhenti!
Tidak peduli dimanapun itu...
Hutan...
Jalan setapak...
Jurang...
Lembah...
Bebatuan...
Tetaplah terus berlari!
Jangan pernah berhenti!
.
.
.
Tidak peduli nafas hampir habis...
Tidak peduli dada semakin sesak...
Tidak peduli paru-paru serasa menyempit...
Badan mulai lelah...
Kepala mulai nyut-nyutan...
Kaki terluka...
Tangan terluka...
Terus... teruslah berlari hingga tak terkejar lagi!
.
.
.
Tidak peduli hujan mengguyur...
Badai menyapa...
Pohon bertumbangan...
Duri menancap di sekujur tubuh...
Atau keringat menyatu dengan hujan...
Serta rerumputan dan dedaunan menampar...
Terus... teruslah berlari hingga ke ujung dunia SEKALIPUN!
.
.
.
Tidak peduli malam yang begitu gelap...
Bulan bersembunyi di balik gelapnya mendung...
Suasana yang mencengkam... hutan lebat...
Tempat asing yang tak dikenali...
Tetaplah... teruslah... berlari hingga tak ditemui!
Tetalplah berlari meski tersesat sekalipun!
.
.
.
Tidak peduli berapa kalipun terjatuh...
Menyeka keringat...
Tubuh memburuk...
Merangkak...
Jongkok...
Auman serigala terdengar...
Berguling di semak-semak...
Terkena duri...
Tersayat rumput ilalang...
Terjerembab ke tanah...
Kesleo...
Nyeri di kaki...
Haus...
Lapar...
Tidak boleh!
TIDAK BOLEH MENYERAH!
TIDAK BOLEH!
JANGAN SAMPAI!
JANGAN SAMPAI MENYERAH!
.
.
.
SEMUA AKAN BERAKHIR!
SEMUA PASTI BERAKHIR!!
MIMPI BURUK YANG TAK AKAN PERNAH BISA DILUPAKAN.
Gelap... semua gelap... hujan membatasi pandangan... petir menggelegar... malam badai tanpa penerangan membuat jalan tak terlihat. Kabut malam mengitam, memeluk dengan segala ketakutannya. Membelai dengan segala keputus asaannya.
Memenjara diri dalam langkah yang tak berujung.
Hanya langkah kaki dan tekad baja yang dimiliki untuk terus berlari menembus kegelapan dan rasa takut yang tak terkira. Terus, terus, dan terus berlari.
Berharap jika setiap jejak yang diambil akan terhapus air hujan yang menyapa bumi.
.
.
.
Seringai itu... senyuman itu... wajah itu... segala kebaikannya... segala kata manisnya.. segala canda dan tawanya... segala yang ada di diri sempurna itu.
Menggodanya...
Menyapanya...
Mencengkramnya dengan sangat erat...
Seperti lem...
Seperti jaring laba-laba yang menjebak mangsanya.
Sulit melepaskan diri... sulit bernafas... sentuhan itu... sentuhan itu terasa lembut... tapi menakutkan... sangat menakutkan... indah layaknya mawar, tapi berduri tajam.. membuat tak menyangka... seperti terkena pukulan telak... menyakitkan... menakutkan... menakutkan... menakutkan.
Jangan...
Jangan...
Jangan!
Berhenti!
Berhenti!
Please... just stop it!
Berhentilah...
Berhentilah...
Tolong berhentilah!
.
.
.
Siapapun itu... datanglah! tolong datanglah! Selamatkan diri ini! Raih tangan ini! Genggam tangan ini! Jangan lepaskan! Tolong bawakan secerca cahaya itu! Meski sangat kecil! Pasti ada! Tolong bawakan ke sini! Tolong terangi jiwa ini dari kegelapan mimpi buruk yang tak kunjung usai!
Tolong selamatkan diri ini!!
Tolong...
Selamatkan dari segala ketakutan ini... dari segala keputus asaan ini... dari segala kegelapan ini!
Jiwa ini sudah lama terkurung dalam mimpi buruk yang memenjara.