"Vincent, aku mendapat banyak pengakuan jika beberapa betina di kota ini akan berkencan denganmu. apa itu betul?" Lexa menyilangkan kedua tangannya di dada dan mencegah Vincent di pintu masuk kelab.
"Iya, dan banyak dari mereka adalah karyawanku. Ada masalah denganmu?" tanggap Vincent.
Lexa menggelengkan kepala, "Apa Kau sedang bunuh diri, Vin?"
"Ada apa Lex?" Geisha datang dan melihat kedua temannya sepertinya sedang membicarakan hal penting. Lexa berbisik.
"Kenapa, kenapa Kau melakukan semua ini, Vin?" Geisha menggelengkan kepala. Lexa terisak sembari menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Ibuku menagihku lagi untuk menikahinya," jawab Vincent putus asa.
"Primadona?"
"What, come on Man, Kau lelaki. Kau punya kekuatan untuk menolak, dan itu adalah hakmu. Kau tidak harus melakukan apa yang tidak kau kehendaki," ujar Geisha.
"Lalu aku akan menjadi gelandangan?" gumam Vincent putus asa.
"Coba Kau pikirkan baik-baik, lebih penting mana dirimu atau harta orang tuamu. Vin, apa Kau tidak sadar sebenarnya hingga saat ini Kau hanya robot keluarga besar Sidomuktiningjaya. Kau terpilih menjadi pimpinan grup karena Kau mampu, dan mereka memanfaatkan kemampuanmu," tutur Geisha panjang lebar.
Sebenarnya Vincent sudah tahu tentang apa yang Geisa katakan sejak dulu. Tetapi Ia masih menggandrungi hidup mewah dari kekayaannya yang semu. Satu-satunya tempat yang membuatnya jadi diri sendiri tanpa harus berpura-pura menjadi anak polos nan suci adalah di kelab ini dan tentunya di depan Bella. Sekretaris barunya itu telah tahu sisi hitam putih Vincent sejak hari pertama Ia menginjakkan kaki di gedung megah perusahaan Vincent.
"Maka dari itu aku akan tetap melakuannya, bukankah menyenangkan kencan dengan banyak wanita di setiap malamnya?" ujar Vincent.
"Bukan begitu caranya Vin," ucap Lexa di tengah isaknya.
"Lalu apa bedanya dengan aku yang meniduri kalian setiap malam?!" Vincent meninggikan nada suaranya. Kedua perempuan di depannya terdiam.
Vincent benar-benar muak dengan semua ini, kehidupan yang dikemudikan oleh kedua orangtuanya, menjadi sempurna dengan sukses di usia muda, dikagumi banyak orang, menjadi objek dari kecemburuan para gadis dan sepupu-sepupunya. Semua hanyalah kebahagiaan semu, semua bukan keinginan dirinya.
Foto profil dengan nama kontak Zhavia Arabella memenuhi layar handphone-nya, gadis itu menelpon. Tetapi belum sempat Vincent menyentuh fitur terima panggilan karena kebingungannya, gadis itu sudah mematikannya terlebih dahulu. Vincent tersenyum kecil, gadis itu semakin membuatnya merasa gemas.
Entah Vincent sadari atau tidak, Ia selalu tertarik untuk meledek sekretaris barunya tanpa alasan yang jelas. Ia merasa puas ketika melihat Bella memposting kejengkelannya di media sosial. Lucu sekali karena gadis itu tidak sadar bahwa Vincent selalu menguntitnya tanpa Ia ketahui.
Empat digit di layar handphone-nya menunjukkan jam sembilan malam, Vincent bergegas melangkahkan kaiknya menuju tempat di mana Ia memarkirkan mobil hitam andalannya. Malam ini surga-surga yang Ia dapatkan berkat bantuan Bella telah muali datang. Bantuan Bella? Vincent bergeleng enggan mengakui bahwa gadis itulah yang membantunya melampiaskan kegilaan akhir-akhir ini.
Sebuah kamar kelas deluxe menjadi kediamanya malam ini, perempuan rambut panjang dengan sedikit ikal tampak malu-malu menyilangkan kaki di sisi springbed. Vincent tidak asing dengan perempuan itu meskipun Ia tidak tahu persis nama dan posisinya di perusahaan. Jika dipikir-pikir menggelikan sekali bercinta secara bergilir dengan masing-masing karyawannya setiap malam.
"Selamat malam, Bapak," ucap perempuan itu dengan dibuat-buat. Vincent tahu betul perempuan itu sangat gugup.
Bagaimana tidak, hampir setiap orang di kantornya mengenalnya sebagai CEO yang dingin dan sempurna. Tetapi malam ini Ia benar-benar menunjukkan taringnya yang mengerikan.
"Sebelum aku mengizinkanmu bercinta denganku, aku memiliki permintaan dan Kau harus berjanji untuk memenuhinya," ucap Vincent.
"Iya, Pak?"
"Jangan sampai kau membuka mulut tentang hal ini. Jika Kau sampai berani buka mulut, maka mulutmu dan mulut keluargamu akan kupastikan sobek," ujar Vincent dengan nada datar nan mengerikan.
"Ba … baik, Pak. Saya berjanji," ujar perempuan berambut ikal panjang yang cukup mempesona, wajahnya pucat pasi.
Vincent berdecih, bagaimana Ia bisa terangsang jika santapannya saja seperti ini, Ia berjalan menuju kulkas mini di sudut ruangan, mengambil sebotol air mineral dingin, lalu membanting pintu kulkas itu dan membuat perempuan yang bersamanya terlonjak ciut.
"Tenang saja, ini tidak ada hubungannya dengan dunia karirmu. Aku tidak peduli dengan posisi dan jabatanmu di kantorku, jadi layani dengan sebaik mungkin," ucap Vincent sembari membuka tutup botol dengan kasar.
Vincent menyandarkan punggungnya di sofa, menempatkan satu tumitnya di atas paha yang lain, tatapannya meremukkan nyali perempuan itu dengan tangan disilangkan di dadanya. Kupu-kupu malam sekaligus karyawan yang dipesannya mulai menggodanya dengan sedemikian mungkin. Namun sayangnya Vincent yang suasana hatinya sedang tidak karuan sama sekali tidak terpengaruh oleh godaan perempuan tersebut.
Lelaki tampan dan royal itu mengeluarkan ponselnya, bicara sesuatu pada seseorang lalu dengan bosan kembali menonton tarian-tarian erotis perempuan itu. Vincent maklum jika perempuan di depannya terkejut sekaligus takut ketika mendapat klien dirinya, tetapi itu sudah menjadi nasib karyawan-karyawannya yang memiliki kerja sampingan sebagai kupu-kupu malam. Vincent pun tidak memaksa, karena lelaki itu kenal dengan semua mucikari di kota ini yang mengurus anak-anaknya. Yang menjadikan perempuan itu ada di kamar ini adalah mucikarinya, dirinya hanya menjadi pelanggan biasa. Bella memang hebat bisa mengulik kupu-kupu malam yang bertebaran di kantornya, Vincent tersenyum mengingat gadis itu.
Tak lama kemudian seseorang mengetuk pintu kamar mereka, dengan masih menggunakan penutup wajah orang itu memberikan sebotol vodka kepada Vincent. Orang itu mengangguk lalu pergi mengabaikan ucapan terima kasih dari Vincent.
Seperti biasa, Vincent menenggak minuman memabukkan itu langsung dari botolnya. Tak peduli dengan tatapan nanar perempuan di depannya, Vincent terus meneguk sambil sesekali bersendawa.
"Tidak usah memandangku seperti itu, aku tidak suka," ujar Vincent.
"Baik, Pak," sahut perempuan tersebut masih dengan bahasa formal. Ia terkejut bukan kepalang karena orang yang masuk dalam jajaran tertinggi di perusahaan tempatnya bekerja, kini sangat kontras dengan yang dikenalnya selama ini. CEO-nya menenggak vodka tanpa ragu-ragu di depannya.
Vincent mengangguk dan mengacungkan jari telunjuknya ke springbed, memberi isyarat pada perempuan itu untuk melaksanakan tugasnya. Seperti sudah menjadi candu, lelaki itu selalu membuang rasa penatnya dengan mabuk dan berhubungan badan. Vincent sudah tidak peduli dengan godaan perempuan itu yang melepaskan helai demi helai pakaiannya dengan sensual. Ia justru menarik kasar dan melemparkan semua kain yang melekat di tubuh perempuan itu, menindihnya, dan membisikkan sesuatu di tengah saranya yang mulai melantur.
"Bella," panggil Vincent dengan suara parau.
"Pak, mohon maaf nama saya bukan Bella," sahut gadis itu tak mengerti.
"Bella, aku merindukanmu," ulang Vincent.
"Pak?"
"Arabella, pujaanku."
Miris, Vincent terus menyebut nama gadis itu selama Ia melakukan aksinya. Racauannya membuat perempuan itu bingung sekaligus takut.
"Bella siapakah yang Bapak maksud?" ujarnya.
Vincent tak menjawab, Ia terus memompa apa yang Ia inginkn sampai perempuan di bawahnya mendesah senang. Perempuan itu dengan mudah menerima apa yang Vincent lakukan meskipun dengan seribu pertanyaan di benaknya. Ia menepiskan ucapan bos tertingginya karena mungkin bosnya sedang memikirkan nama perempuan yang disebut.
"Terima kasih, Pak. Anda membuat saya senang, sekarang saya akan berganti memuaskan, Anda. Apakah …"
"Baiklah, Arabella Dewiku," racau Vincent.
***