Dito POV.
Setelah permainan game yang berakhir dengan kemenangan gue, Dewa mutusin buat tidur duluan. Seharusnya gue seneng karna akhirnya gue bisa ngalahin dia malam ini, jadi dia bisa ngelakuin apa yang gue suruh nantinya. Tapi gue malah bingung harus kayak gimana, karna nyatanya sekarang permintaan gue gak akan mungkin bisa dia lakuin.
Iya, permintaan yang pasti bakal bikin gue sama dia bisa bersitegang. Mungkin?
Flashback~~~
Beberapa hari yang lalu, lebih tepatnya sehari setelah pengumuman kelulusan SMA gue. Gue sama Dewa berencana hangout bareng cari udara segar setelah berkutat dengan segala jenis soal ujian. Sebelum gue sampe rumah Dewa, gue berenti dijalanan perumahan menuju rumah Dewa lalu keluar menyalakan rokok.
Walaupun gue perokok, gue gak pernah ngerokok di dalam mobil. Jadi gue putusin buat keluar mobil sebentar, tanpa sadar ada cewek yang tiba-tiba berhenti pas di depan mobil gue lalu mendekat kearah gue masih dengan helm yang bersarang dikepalanya.
"Permisi, boleh minta tolong?" tanya seorang gadis.
"Oh iya, minta tolong apa ya mbak?"
"Motor saya mogok mas, padahal abis isi bensin full tadi. Kira-kira kenapa ya mas? kok tiba-tiba macet."
"Bentar ya mbak gue bantu cek dulu motornya." ucap gue sambil matiin putung rokok yang tinggal dikit.
Kebanyakan orang kan emang begitu, banyak yang pake motor atau mobil tapi belum tentu tahu soal perawatan kendaraan yang mereka pake.
"Yaudah dilepas dulu aja mbak helmnya, emang gak gerah?" tanya gue.
"Banget mas," balasnya sambil melepaskan helm dari kepalanya.
"Oh God, dengan muka capek kayak gitu aja dia masih manis, gimana kalau pas muka fresh coba." batin gue sambil menatap takjub secara diam-diam.
"Apanya yang bermasalah mas?" tanyanya lagi.
"Akinya mbak ini, udah lama gak di servis ya?"
"Iya mas," jawabnya malu-malu, tapi jadi lucu di mata gue.
Raut wajah si gadis berubah jadi sangat bahagia dan lega karna akhirnya motor yang tadinya mogok udah bisa nyala lagi.
"Alhamdulillah, udah nyala mbak. Jangan lupa kalau mau dipake dipanasin dulu ya mbak mesinnya, sama sering cek aki terus di servis." perintah gue.
"Alhamdulillah, makasih ya mas, saran mas bakal saya inget selalu. Akhirnya saya bisa pulang tanpa dorong-dorong motor nyari bengkel, karna sepanjang jalan ini sepi banget. Yang pada tinggal di rumah ini pada gak suka keluar kali ya mas?" tanyanya.
"Maybe, mbak."
"Pulang kerja ya mbak?"
"Iya mas, masnya juga pulang kerja? Atau lagi nunggu pacarnya?"
"Nunggu temen mbak, saya baru aja lulus SMA mbak jadi belum kerja deh." kata gue.
"Oalah, berarti saya harusnya gak manggil kamu mas ya, tapi adek." katanya sambil tertawa lucu.
Flashback off~~~
Kita pun saling berbincang tanpa tahu nama masing-masing, untungnya sekarang kita tahu nama kita masing-masing tapi sepertinya dia lupa tentang gue yang pernah berbincang lama sama dia dulu.
Seorang mahasiswi masuk kelas dengan tergesa-gesa dan berakhir dengan menabrak pintu kelas karna tak mampu menahan dorongan ketergesaannya.
Bruuukk awwww…
Suara rintihan si gadis yang mampu didengar oleh mahasiswa sekelas membuat gue tanpa sadar menoleh ke sumber suara.
Dan ya, dia si gadis motor itu. Gue yakin itu dia, gue gak mungkin lupa sama wajah gadis yang beberapa hari yang lalu setia ada di pikiran gue. Terdiam gue memperhatikannya terus menerus sampai akhirnya gue tersadar sendiri dengan keterpakuan gue yang memandangi wajah indah gadis itu.
Gue udah bilang kan, waktu capek aja muka dia masih bisa terlihat manis, apalagi pas lagi fresh coba, lebih manis pastinya. Dan ternyata di muka ceroboh dia aja, gue tetep bilang manis. Sebelum orang-orang menyadari akan keterpakuan gue ini, terlebih Dewa makannya gue melontarkan kalimat yang sejatinya sebagai kamufase akan keterpakuan gue.
"Gila tu cewek, pasti sakit dan malu banget tuh dia. Main nabrak pintu yang tidak berdosa." ucap gue.
"Iya Dit, manis." balas Dewa yang ngebuat gue bingung.
"Yah, elu mah dari tadi manis-manis mulu Wa. Gue rasa lu bener-bener kesambet deh? nanti setelah ini kita ke pak ustadz ya buat ngeruqiyah elu." ucap gue lagi masih dengan bingungnya akan jawaban Dewa.
"Hahaha kagak lah dit, gue seratus persen waras dan sedikit tidak sadar sih karna dia. Hehehe," jawab Dewa yang makin ngebuat gue bingung sama temen gue ini.
Gue baru tahu nama dia setelah perkenalan yang terjadi di dalam kelas tadi. Nama dia cantik, secantik orangnya.
"Akhirnya gue tahu nama lu mbak, hhhehe." batin gue.
Isyana Asmara Raya itulah nama si gadis motor yang beberapa hari terakhir buat gue penasaran,
Tapi ternyata, rasa penasaran gue kalah dengan rasa kaget gue tentang kebenaran Dewa. Bahwa yang dia maksud tentang manis-manis saat seorang mahasiswi memasuki ruang kelas dan sikap nekad yang dia lakuin sepulang dari kampus hari ini adalah karena seorang mahasiswi bernama Isyana Asmara Raya atau akrab dipanggil Ara. Yang tak lain dan tak bukan adalah, gadis yang sama-sama gue bilang manis dan arrrrghhhh gue terlalu sok memikirkan ini semua.
Keadaan gue yang bener-bener sangat memalukan dengan kedua telapak tangan yang mencengkeram rambut lebat gue bener-bener kayak bukan diri gue sendiri. Gue memperhatikan Dewa yang udah tertidur pules dengan tatapan iri karna dia udah ambil start lebih awal dari gue.
Gue harus gimana ini, apa gue harus bersaing sama sahabat gue sendiri?
Apa gue harus memulai start juga buat tahu tentang Ara?
Atau gue harus melepas dan ngelupain semua rasa ini?
Gue harus gimana Tuhan?
Tingg… bunyi sebuah pesan masuk.
"You okey?" tulisnya.
"Ahhh lu bener-bener tahu yang gue rasain ya, disaat gue galau rapuh kayak gini pesan lu yang selalu nyapa gue." batin gue.
Gue mengabaikan pesan tersebut dan malah membuka group chat tugas yang gue bikin tadi di kampus. Gue mengklik salah satu anggota group, siapa lagi kalau bukan Ara. Gue terus mengklik kontak tersebut sampai memperlihatkan foto profil yang digunakan Ara, foto Ara yang tersenyum bahagia dengan rambut kecoklatan dibiarkan terurai berlatar belakang pantai yang indah.
Gue harus gimana ini, Ra?
Dewa pasti shock banget kalau tahu tentang ini, karna ternyata kita memikirkan dan penasaran dengan orang yang sama. Entahlah, pikiran gue terlalu penuh hari ini. Gue pun memutuskan untuk keluar kamar dan memasuki kamar lain untuk mengistirahatkan tubuh dan pikiran gue. Gue gak bakal bisa tidur kalau harus satu kamar bareng Dewa.
Gue harap besok pagi gue jadi amnesia tentang hal-hal yang berkaitan soal Ara, tapi rasanya tak mungkin. Dan akhirnya gue paksakan untuk tertidur menyambut mimpi yang mungkin lebih indah dari kenyataan hidup gue hari ini.