Aksara masih memandang kosong ke depan. Orang orang sibuk membacakan doa untuk abah sedangkan ia, bahkan bergerak tidak mampu.
Kepalanya berdenyut nyeri. Terlebih juga dadanya yang sejak tadi terus berdetak keras. Aksara hanya berharap ini semua adalah mimpi. Mimpi terburuk Aksara sampai ia ingin cepat cepat bangun meninggalkan mimpi ini.
Tapi sayang, semua yang terjadi bukanlah mimpi. Ini adalah kenyataan. Kenyataan menyakitkan yang bahkan Aksara tidak pernah bayangkan dalam hidupnya.
"Abah," air mata Aksara kembali jatuh, "Abah kenapa pergi secepat ini? Abah harus liat Sarah tumbuh bah. Abah harus liat Aksa nikah! Abah harus lihat Aksa punya anak dan punya keluarga sendiri. Abah...," pemuda itu menunduk, menahan berat tubuhnya dengan sebelah tangan, duduk bersimpuh di samping Mas Abim yang tetap tenang. Tidak memberikan reaksi yang berarti.
"Abah...," Aksara memekik, orang orang di sekitar mereka segera menoleh, memasang tatapan prihatin.