Happy reading ❤
"Pah, elo belum mau balikkan sama babang Chico?" tanya Cilla saat mereka berkumpul di rumah Onit. Kebetulan hari Sabtu ini Onit libur sehingga mereka memutuskan untuk kumpul-kumpul sekalian rujakan. Maklum ada dua bumil di antara mereka, Ifa dan Onit. Ya, setelah menikah selama dua bulan Onit hamil. Sementara itu kehamilan Ifa memasuki bulan ke 6. Sudah sebulan Ifa dan Iky pisah rumah.
"Tau nih si Ipah. Gue kasihan sama Rizky yang kalau datang ke rumah suka dicuekin sama Ipah," ucap Alana. "Apalagi kadang suka diusir sama Ipah. Jadinya Rizky cuma bisa ngeliatin dari seberang."
"Emangnya elo nggak kangen, Pah?" tanya Meta yang sebulan lagi akan menikah. "Nanti kalau pas gue nikah gimana?"
"Ya, nggak gimana-gimana. Kan elo yang mau nikah. Bukan gue dan Rizky "
"Ya, tapi kan nggak enak kalau ditanyain sama keluarga besar gue. Kemarin aja, tante Wulan sempat nanya-nanya waktu elo nggak datang arisan. Untungnya bunda Ulfa bisa kasih alasan kalau elo lagi nggak enak badan. Tapi nanti pas gue kawin kan nggak mungkin pakai alasan yang sama."
"Tenang aja, nanti gue pasti muncul di pernikahan lo. Biar bagaimanapun, elo kan sahabat gue." jawab Ifa sambil menikmati rujak yang super pedas buatan Onit. Sementara yang lain sudah menyerah akibat pedasnya rujak tersebut, Ifa dan Onit masih menikmatinya.
"Pah, Nit... nggak pedas tuh?" tanya Alana sambil menatap ngeri dua bumil yang sedang nikmat menyantap rujak.
"Nggak," jawab keduanya berbarengan.
"Pah, baikan dong sama Iky," bujuk Meta. "Lo perhatiin nggak kalau laki lo makin kurus?"
"Kalian tahu kenapa gue ambil keputusan untuk pisah?" Yang lain menggeleng. "Gue nggak mau jadi beban buat dia."
"Kata siapa elo jadi beban buat dia? Gue yakin saat dia memutuskan menikah sama elo, dia sudah siap kebebanan elo." ucap Meta. "Sebelum menikah kalian sudah saling kenal bukan setahun dua tahun, tapi hampir seumur hidup. Dan gue yakin seyakin-yakinnya kalau dia sudah siap lahir batin bertanggung jawab terhadap hidup lo."
"Selain itu, dia yang gue pikir akan bisa menerima gue apa adanya, ternyata nggak seperti itu. Gue merasa dia terlalu mengatur hidup gue. Oke, ada beberapa aturan dia yang bisa gue ikuti. Tapi saat dia mulai mengatur bagaimana cara gue bicara itu membuat gue merasa terperangkap. Gue merasa itu bukan diri gue sendiri. Kalian tau kan gimana rasanya kalau elo disuruh bersikap seperti bukan diri sendiri. Kalian juga tahu kan kalau gue nggak suka bersikap palsu."
"Pah, itu kan bisa dibicarain baik-baik sama dia. It's not a big deal," ucap Alana. "Menikah itu bukan menyamakan sifat yang berbeda, tapi menjadikan yang berbeda itu bisa berjalan bersamaan."
"Elo harusnya ngomong kayak gini ke Iky. Bukan ke gue, Al. Selama 3 tahun gue menikah sama dia, gue nggak pernah mencoba merubah dia. Bahkan gue merasa gue yang harus selalu menuruti dan memahami dia. Apa dia pernah nanya, seperti apa gue ingin diperlakukan. Nggak pernah."
"Lho, memang seorang istri kan harus menurut sama suami. Dimana salahnya?" tanya Cilla.
"Intinya, gue nggak suka dia menuntut gue untuk berubah seperti maunya dia. Apa salah kalau gue ngomong dengan gaya gue? Emak aja sampai umur segini nggak berubah cara ngomongnya tapi babe juga nggak berusaha merubah emak."
"Jadi elo nggak nyaman dengan berbagai aturan dari dia?" tanya Onit.
"Ya, ada beberapa hal yang bikin gue nggak nyaman. Selain itu gue nggak mau gara-gara gue banyak menuntut perhatian, bikin kerjaan dia berantakan. Di satu sisi gue nggak pengen ganggu dia, tapi di sisi lain gue menuntut dia untuk selalu memperhatikan gue. Itu dua hal yang bertolak belakang. Dengan kita pisah seperti ini, gue bisa menjadi diri sendiri dan dia bisa fokus sama karir dia."
"Kalau menurut gue, permasalahan kalian dari sejak awal menikah sampai sekarang tuh cuma KOMUNIKASI dan GENGSI. Itu kelemahan kalian sejak dulu. Kalau bukan karena itu, nggak akan kalian menahan diri tidak berhubungan selama berbulan-bulan. Sama seperti sekarang." jelas Alana.
"Kalau elo memang nggak nyaman sama segala aturan dia, kan lo bisa ngomong baik-baik sama dia. Bukan seperti sekarang. Kalian hanya saling menyiksa." ucap Onit.
"Gue nggak merasa tersiksa. Gue merasa nyaman dengan situasi sekarang. Gue bisa jadi diri sendiri. Gue bisa tenang tanpa harus merasa sedih karena nggak diperhatiin sama dia. Karena dengan berpisah seperti sekarang ini gue bisa meyakinkan diri sendiri bahwa gue nggak memiliki hak diperhatikan sama dia," jawab Ifa santai.
Keempat sahabatnya memperhatikan dengan seksama apakah ada kebohongan di mata Ifa. Tapi mereka tak berhasil menemukan kebohongan di sana. Kenyataan yang secara tidak langsung menohok perasaan mereka. Apakah Ifa benar-benar menikmati perpisahan ini?
"Daripada cuma pisah dan menggantung perasaan Rizky, ya mendingan cerai aja sekalian," celetuk Meta kesal. "Elo bebas mau bersikap sesuai yang lo mau dan Rizky nggak perlu terus menerus memendam kerinduan. Sekalian aja lo lepas dia, biar dia bisa meneruskan kehidupan dan mencari pasangan lain yang bisa menerima segala aturan dari dia."
"META!! HATI-HATI KALAU NGOMONG!" tegur Alana gusar. "Elo mau sahabat lo jadi janda dalam kondisi hamil? Elo nggak kasihan sama dia?"
"Justru karena gue kasihan sama mereka berdua. Tapi gue liat dalam kasus ini, adik ipar lo itu super egois. Maaf, biar bagaimanapun Rizky saudara gue. Dan gue nggak suka melihatnya menderita dan diperlakukan semena-mena sama istrinya sejak awal menikah."
"Ya, tapi elo nggak membantu dengan mengusulkan perceraian mereka." bela Alana. Kali ini Cilla dan Onit tidak mau ikut campur dalam urusan keluarga besar mereka. Ya secara harfiah, Alana, Ifa dan Meta terikat hubungan kekeluargaan akibat pernikahan.
"Kalau mereka, terutama adik ipar lo, tidak mau saling mengalah dan tidak mau berkomunikasi dengan baik maka pernikahan mereka akan kandas sebelum anak-anak mereka lahir. Sekarang gue tanya sama elo Pah. Apa elo mau melahirkan tiga anak tanpa ada suami? Apa elo mau membesarkan mereka tanpa ayah mereka? Do you think it's easy being a single mother?" tanya Meta tanpa basa basi. "You know it's not easy at all. It's your decision to make a better choice for everybody."
"Meta benar Pah. Walau gue kakak ipar lo, gue juga nggak bisa mendukung sepenuhnya keputusan lo untuk bertahan dalam situasi seperti saat ini. It's not fair for Rizky. Belajarlah untuk lebih toleran terhadap orang lain. Kalian berdua harus duduk bareng dan membicarakan masalah ini hingga selesai." ucap Alana. "Bukan menggantungnya seperti sekarang ini."
"Apa gue nggak boleh memilih apa yang nyaman buat gue? Sejak awal gue selalu mengikuti keinginan orang lain. Gue mengikuti keinginan emak untuk menikah dengan Rizky. Setelah menikah gue juga harus mengikuti keinginan dia untuk berubah. Padahal dulu dia yang bilang kalau dia bisa menerima gue apa adanya. Buktinya mana?" jawab Ifa. "Please, biarin gue menikmati kebebasan dan kenyamanan tanpa harus diatur orang lain."
Keempat sahabatnya saling berpandangan. Mereka tahu sifat keras Ifa yang tak bisa dipaksa berubah. Ucapan Ifa ada benarnya. Dengan menikahi Rizky, dia berusaha memenuhi keinginan emak.
"Tapi elo cinta dia kan, Pah?" tanya Cilla hati-hati.
"Justru karena gue cinta sama dia, gue nggak mau memaksakan keinginan gue untuk mendapat perhatian penuh dari dia. Gue juga nggak bisa memaksa kalian untuk setuju dengan pilihan gue. Tapi kali ini setidaknya tolong ngertiin keinginan gue."
⭐⭐⭐⭐
Sore itu Rizky menghabiskan waktunya bersama Athar dan Zayyan di cafe. Sebenarnya ia ingin bertemu dengan istrinya. Rasa rindunya membuncah setelah sebulan lebih mereka berpisah. Kalian boleh bilang kalau Rizky sudah menjadi bucin untuk Ifa, tapi ia benar-benar tak ingin berpisah dengan Ifa.
"Bro, gimana keadaan lo hari ini? Ada perkembangan baru mengenai hubungan lo dengan Ifa?" tanya Athar prihatin. Benar apa yang Cilla ceritakan, Rizky tampak lebih kurus dan matanya seolah kosong tanpa semangat.
"Masih sama. Nggak ada yang baru."
"Elo akan tetap bertahan atau akan menyerah?" tanya Zayyan setelah menyesap kopinya. "Sebagai kakak ipar sekaligus teman lo, gue akan menyuruh lo bertahan demi Ifa. Tapi sebagai lelaki gue menyarankan elo untuk menyerah. Lo tahu bagaimana kerasnya Ifa."
"Bang, elo menyuruh gue pisah dengan Ifa?" tanya Rizky gusar. "GUE NGGAK BISA."
"Ya, tapi sampai kapan elo mau bertahan seperti ini? Kalian nggak bisa terus-terusan bertahan dalam situasi seperti ini. Apa elo sanggup terus merana, sementara gue lihat Ifa sangat menikmati kesendiriannya." ucap Zayyan blak-blakan. "Gue pribadi nggak setuju dengan jalan yang ditempuh Ifa, tapi gue juga nggak bisa memaksa dia untuk balik sama elo."
"Bang, gue cinta banget sama Ifa. Apalagi saat ini ada anak-anak gue dalam rahim dia. Ifa adalah ibu untuk anak-anak gue. Walaupun mungkin kami nggak bisa menjadi pasangan yang normal seperti kalian, gue siap kok."
"Ky.. ky... gila ya lo. Segitu cintanya elo sama dia sampai rela diperlakukan kayak gini sama istri lo," Athar geleng kepala melihat kebucinan Rizky yang sedemikian akutnya. "Sejak awal kalian menikah, elo sudah banyak berkorban buat dia. Mau sampai kapan elo terus berkorban? Jadi laki-laki jangan begolah."
"'Walau gue kakaknya Ifa, kali ini gue setuju banget dengan pendapat Athar. Gue sudah dengar dari Alana perjalanan pernikahan kalian sejak awal. Gue sebagai lelaki normal nggak habis pikir kenapa elo dulu mau menerima segala perjanjian yang Ifa ajukan. Dan sekarang elo cuma bisa melihat dia tanpa bisa menyentuhnya. Itu sama aja elo balik ke titik nol, bro. Are you stupid or what?!" tanya Zayyan. "Atau bisa gue bilang elo gila karena mencintai adik gue?"
"Gue memang tergila-gila sama adik lo, bang. Elo tau kenapa dulu gue nggak berani menyatakan perasaan ke dia? Karena gue nggak mau kehilangan dia. Buat gue lebih baik diam-diam mencintai dia asalkan gue bisa tetap melihat dia.'"
"Wah, elo benar-benar sakit jiwa bro. Gue nggak tau musti bilang apa." Zayyan hanya bisa geleng-geleng mendengar jawaban Rizky. "Elo terobsesi sama dia."
"Kalau elo beneran cinta dan tergila-gila sama dia, kenapa elo diam saja diperlakukan seperti ini? Kenapa elo nggak memperjuangkan dia untuk kembali sama elo?" tanya Athar heran.
"Karena gue takut dia malah benar-benar menjauh dari gue. Gue takut dia malah menghilang dari hidup gue. Buat gue, situasi saat ini terbaik buat kami berdua. Gue tetap memiliki dia walau gue mungkin nggak bisa menyentuh dia. Setidaknya gue masih bisa mengawasi dia, walau dari jauh."
"Kenapa elo nggak jatuhin talak buat dia? Biar dia tau rasanya kehilangan elo," usul Zayyan.
"Gue kan sudah bilang gue nggak bisa bang. Gue takut kalau gue menjatuhkan talak buat dia, maka gue akan benar-benar kehilangan dia. Gue nggak sanggup melihat dia menjadi milik lelaki lain. Gue nggak mau anak-anak gue lahir ke dunia dan diazanin oleh pria lain."
"Astaga Ky, gue benar-benar speechless deh ngadepin elo. Kalian berdua sama-sama keras kepala. Susah ngomong sama kalian. Gue sebagai kakak hanya bisa berharap semua akan membaik buat kalian." Athar mengangguk-angguk mendengar ucapan Zayyan yang sepertinya sudah pasrah menghadapi adik-adiknya ini. Sementara itu Rizky tersenyum tipis.
"Kalau memang itu keputusan yang lo rasa terbaik buat kalian, gue sebagai sahabat hanya bisa mendukung apapun keputusan kalian. Gue akan berdoa buat kalian dan supaya elo bersabar menghadapi ujian ini. Tapi gue yakin kalau kalian bisa melewati ujian ini, hubungan kalian akan menjadi lebih kuat dari sebelumnya," harap Athar.
"Thank you bro atas dukungan lo. Bang, gue harap elo juga mau mendukung gue seperti Athar mendukung gue." Zayyan hanya bisa angkat bahu sambil menyesap kopinya. Dia benar-benar butuh kafein untuk menenangkan syarafnya yang sering tegang gara-gara adik dan adik iparnya.
⭐⭐⭐