Happy reading ❤
"Bos, ada Iky di depan? Elo mau keluar atau gue suruh dia kesini?" tanya Mutia kepada Ifa yang sedang beristirahat. "Gue suruh kesini aja ya. Jadi kalau elo berdua mau berantem nggak keliatan sama pelanggan."
"Makasih, Mut. Oh iya, tolong bilangin dapur untuk bawain makanan dan minuman kesini ya. Gue yakin Iky pasti belum makan malam." Mutia tersenyum mendengar permintaan Ifa. Rupanya elo masih perhatian juga sama dia, Fa.
Ifa masih duduk di sofa saat Rizky masuk sambil membawa bungkusan. Dari wanginya Ifa tau kalau itu pasti martabak telor. Sejak hamil Ifa memang sering minta dibelikan martabak telor.
"Fa, makasih kamu mau menemui aku." Rizky duduk di sofa tunggal yang ada di hadapan Ifa. Sebenarnya ia ingin sekali duduk di samping Ifa dan memeluk tubuh istrinya yang terlihat semakin membulat. Ingin rasanya ia membelai perut Ifa. Namun ia tak ingin sakit hati bila ternyata Ifa menolaknya.
"Itu martabak bang Joni ya, Ky?" tanya Ifa sambil membuka bungkusan martabak yang Rizky bawa. "Dari baunya aja gue sudah tau apa yang lo bawa. Eh, elo bawa ini buat gue kan?"
"Iya, itu aku beli khusus untuk kamu." Rizky tersenyum saat melihat betapa bersemangatnya Ifa membuka bungkusan yang dia bawa.
"Waah, bang Joni tau aja kesukaan gue. Dia kasih banyak cabe nih di acarnya. Hmm.. enak banget. Hebat ya, martabak buatan bang Joni nggak pernah berubah rasa. Masih sama kayak dulu pertama kali kita beli. Pas SMP ya kalau nggak salah, bunda Ulfa ngajak kita beli martabak ini." Iya Fa, sama seperti perasaan gue ke elo yang nggak pernah berubah sampai saat ini, batin Rizky sambil memperhatikan Ifa yang asyik melahap martabak yang ia bawa.
Terdengar ketukan di pintu. Ifa menyuruh masuk dan muncullah chef ganteng yang sedang menjadi trending topic diantara staf dan pelanggan.
"Bos, ini pesanannya. Saya buatkan menu yang tadi kita coba. Siapa tau suami bos bisa kasih masukkan buat perkembangan menu ini. Dan untuk minumannya sengaja saya bikinin minuman tradisional wedang uwuh. Bagus untuk mengembalikan stamina yang sedang turun, dan bisa membantu menjaga kesehatan."
"Kamu kayak tukang jamu langgananku di rumah. Jago banget promosinya. Makasih ya Ren. Oh ya, nanti tolong kasih tau Mutia kalau hari ini kita tutup lebih cepat. Kebetulan penjualan sudah melebihi target dan anak-anak sepertinya sudah capek gara-gara tamu yang membludak pas makan siang tadi. Alana juga nggak balik lagi ke resto. Dia ada urusan sama suaminya."
"Siap Bos. Have fun with him." bisik Rendy sambil menepuk bahu Ifa ramah. Tepukan ramah yang membuat sepasang mata mengawasi dengan penuh amarah.
"Thank you dear. I will." sahut Ifa sambil tertawa tanpa beban. Ia tak tahu sedari tadi Rizky menahan amarah dan cemburu.
"Makan Ky. Cobain menu baru yang dikembangkan oleh Rendy. Baru tadi siang menu ini diciptakan. Rencananya besok kita mau minta beberapa pelanggan setia resto kita buat nyobain. Semoga aja sesuai dengan selera para pelanggan. Lumayan sejak ada Rendy, omzet restaurant kita meningkat. Yang pasti semakin banyak pelanggan wanita yang datang karena mau melihat chef ganteng. Kalau kata teman-teman gue, gantengnya ngalah-ngalahin Chef Reynold. " Ifa terus bercerita tanpa menyadari pujian yang dia layangkan untuk Rendy menorehkan luka di hati suaminya.
"Menurut kamu sendiri gimana?" tanya Rizky sambil terus memperhatikan Ifa yang masih asyik dengan martabaknya. Sementara itu Rizky belum menyentuh sedikit pun makanan yang dibawakan oleh Rendy.
"Hmm... lumayan ganteng. Bolehlah buat cuci mata." jawab Ifa enteng. "Apalagi kalau lagi suntuk sama kerjaan. Bikin segar mata."
"Fa, kamu sudah tau kalau ayah nyuruh aku kawin lagi?"
"Iya. Alana sudah cerita ke gue." jawab Ifa sambil merapikan bungkusan bekas martabak. "Alhamdulillah kenyang banget gue malam ini. Nanti malam triplet nggak bakal petakilan karena kekenyangan. Hehehehe.."
Hati Rizky langsung meleleh saat Ifa menyebut bayi-bayi mereka. Ingin rasanya ia membelai perut Ifa yang semakin membulat. Ingin rasanya ia berbisik di depan perut Ifa dan mengajak anak-anak mereka berbicara. Ingin ia merasakan tendangan-tendangan dari si kecil di perut Ifa. Ah, begitu banyak keinginan yang hampir mustahil terwujud untuk saat ini. Ya tuhan, aku harus bagaimana?
"Fa ..."
"Hmm... Ky, makan dong. Anak-anak saja sudah makan, masa elo malah nggak makan."
"Fa.. besok Shania akan datang ke kantor untuk menggantikan Winda." Rizky tak memperdulikan ucapan Ifa yang menyuruhnya makan.
"Hmm.. okay. Ya sudah ceritanya nanti aja. Sekarang makan dulu. Keburu dingin makanan minumannya. Nanti malah nggak enak lho. Kasihan Rendy sudah bela-belain masak buat elo."
"Itu memang tugas dia kan? Segitu perhatiannya sama chef." sahut Rizky sinis.
"Memang itu tugas dia. Tapi dia nggak pernah lho secara khusus antar masakan dia buat customer." bela Ifa. Pembelaan simpel namun menyakitkan.
"Aku bukan customer kalian. Aku suami kamu, Fa." Bukannya makan, Rizky malah menyenderkan tubuhnya ke sofa sambil memijat kepalanya.
"Tuh, keburu pusing kan gara-gara nggak langsung makan. Buruan makan lah. Apa perlu gue suapin?" Ifa langsung mengambil sendok dan garpu, namun gerakannya ditahan oleh Rizky. Selama beberapa saat mereka saling berpandangan.
"Please dengerin aku, Fa. Besok Shania akan mulai bekerja menggantikan Winda."
"Wah, mbak Winda dapat promosi ya? Hebat. Nanti aku akan wa dia untuk mengucapkan selamat atas promosi dia." Ifa mulai menyendok makanan yang akan dia suapkan kepada Rizky.
"Fa, Shania itu calon istri yang ayah siapkan untukku." Gerakan tangan Ifa terhenti sesaat. Hanya sesaat, setelah itu ia melanjutkan menyuapi Rizky yang dengan patuh membuka mulutnya. Tak terdengar lagi kata-kata dari mulut mereka. Keduanya tetap terdiam hingga Rizky menyelesaikan makannya.
"Akhirnya selesai juga makannya. Gue rapiin dulu ya piring kotornya." Ifa bergegas berdiri dan hendak melangkah keluar ruangan. Belum sampai pintu, tiba-tiba tubuhnya dipeluk dari belakang. Rizky meletakkan dagunya di bahu Ifa dan menyurukkan wajahnya ke leher sang istri. Ifa sekuat tenaga menahan segala emosi yang kini berkecamuk di hatinya. Betapa ia merindukan pelukan Rizky. Namun kini ia harus tahu diri kalau Rizky bukan lagi miliknya sepenuhnya.
"Fa, maafin aku nggak bisa memenuhi janji untuk tidak menduakan kamu. Aku nggak bisa menolak keinginan ayah. Aku melakukan ini karena aku nggak mau kehilangan kamu." Tiba-tiba Ifa merasakan lehernya basah. Rupanya Rizky menangis. Hati Ifa terasa sakit mengetahui hal itu.
Maafin gue ky yang nggak bisa menjadi istri yang baik buat elo, batin Ifa. Tangannya mengusap tangan Rizky yang melingkari tubuhnya.
"Perut gue sudah gede banget ya Ky? Tangan elo aja sudah nggak sampe buat meluk gue dari belakang. Hehehe.. gue pasti tambah gendut ya. Pipi gue pasti makin chubby. Nggak papa deh, gue ikhlas jadi jelek demi si Triplet. Nggak papa gue jadi tambah bulat, yang penting triplet sehat." Ifa menggigit bibir bawahnya agar emosinya tertahan. Ia dapat merasakan suaranya yang mulai bergetar.
"Fa, please larang aku. Kalau kamu nggak membolehkan, aku pasti akan menolak keinginan ayah." suara Rizky terdengar bergetar akibat menahan isakannya. "Please Fa, jangan biarin aku menduakan kamu."
"Ky, sudah malam. Buruan pulang gih. Bunda pasti senang banget kalau elo bisa pulang cepat. Gue juga mau pulang. Gue capek sudah seharian di resto." Ifa mengalihkan pembicaraan. Ia tak berani menatap wajah Rizky. Ia takut semua emosi yang sejak tadi ia tahan akan meledak saat ia menatap wajah ayah dari anak-anak mereka.
"Aku nggak akan menyia-nyiakan kalian. Aku nggak akan menikahi Shania sebelum anak-anak kita lahir. Terserah kalau ayah mau marah atau nggak setuju dengan keputusan ini. Aku mau mendampingi kamu saat kamu berjuang melahirkan mereka. Fa, ijinkan aku untuk selalu mendampingimu hingga mereka lahir."
Hingga mereka lahir. Elo kena karma, Fa. Lihat akibat ulah lo sendiri, sekarang elo akan kehilangan ayah dari anak-anak lo. Dia akan segera menjadi milik orang lain. Sekarang sudah terlambat. Mertua lo juga sudah nggak mau mempertahankan elo sebagai menantu. Sikap lo kali ini benar-benar keterlaluan, Fa. Silahkan nikmati pilihanlo sendiri. Kali ini otak dan hati Ifa kompak menghujat dirinya.
"Fa, ngomong dong. Kamu boleh memaki-maki aku karena nggak berani menolak keinginan ayah. Please jangan diam saja. Keterdiamanmu menyiksaku, Fa."
"Ky, gue capek. Gue mau pulang."
"Ayo pulang bareng. Ayo kita temui ayah dan bilang sama beliau kalau kita akan kembali bersama lagi."
"Nggak bisa Ky. Bayangkan bagaimana perasaan Shania saat tahu kamu tidak jadi menikahinya. Bayangkan bagaimana perasaan keluarga Shania bila mereka tahu kamu membatalkan pernikahan kalian. Biar bagaimana ayah sudah melamar dia untuk kamu."
"'Please Fa, aku cuma cinta sama kamu. Aku rela hidup seperti saat ini, asalkan kamu nggak pernah pergi dari hidupku." Rizky mempererat pelukannya. Tubuh Rizky bergetar akibat tangisnya. '"Jangan pernah melupakan hal ini Fa. Aku sama seperti martabak bang Joni yang nggak pernah berubah sejak dahulu hingga saat ini. Aku akan selalu mencintaimu."
Kudoakan kamu bahagia, Ky. Jangan mengingatku terus. Aku harus rela melepasmu untuk dirinya. Ifa tersenyum walau hatinya menangis.
"Ky, pulanglah. Gue benar-benar lelah. Tinggalkan gue. Masih banyak yang harus gue beresin sebelum pulang. Elo juga butuh istirahat. Besok elo harus ke kantor. Ingat, elo harus menyambut Shania kan?"
"Please jangan ingatkan aku tentang hal itu. Kalau boleh memilih, aku akan memilih tidak berada di kantor. Kalau ayah tetap menempatkan dia sebagai sekretarisku mungkin aku akan minta om Ridwan untuk menempatkanku di Malaysia."
Kali ini Ifa memberanikan diri berbalik menghadap Rizky. Ditangkupnya wajah Rizky dengan kedua tangannya. Diusapnya sisa-sisa air mata di pipi dan sudut mata Rizky.
"Lo masih ingat nggak ucapan Engkong Habib, guru silat kita dulu? Laki-laki nggak boleh cengeng. Laki-laki harus tegar dan kuat. Satu lagi yang gue nggak pernah lupa bahwa anak lelaki adalah milik orang tuanya. Sampai kapanpun elo harus patuh sama mereka. Jangan jadikan gue sebagai orang yang menyebabkan elo melawan orang tua."
"Aku nggak bisa lagi memeluk kamu karena ada perut ini yang menghalangi. Perut kamu semakin besar. Pasti hari-hari ini semakin berat untukmu. Maaf aku nggak selalu ada untuk kalian. Fa, boleh aku mengelus perutmu dan berbicara dengan mereka? Biar mereka tahu kalau ayah mereka juga menyayangi mereka sama seperti ayah mereka selalu menyayangi ibu mereka." Ifa mengangguk.
Setelah mencium kening Ifa, Rizky berjongkok di depan perut Ifa. Dikecup dan diusapnya perut Ifa dengan lembut. Kemudian dengan lembut pula Rizky berbisik, "Hai anak-anak ayah. Jangan nakal ya. Jangan bikin ibu kalian susah. Cukup ayah saja yang sering membuat ibu kalian susah. Kami menunggu kehadiran kalian disini. Bantu ayah untuk menjaga ibu kalian."
Setelah itu Rizky mencium lama perut Ifa. Ia ingin mencurahkan segala kerinduannya selama hampir dua bulan ini. Seolah mengerti, tiba-tiba ada gerakan pelan di perut Ifa. Inilah kali pertama Rizky melihat hal itu. Dengan takjub Rizky memperhatikan hal tersebut. Gerakan-gerakan itu memunculkan beberapa tonjolan di perut Ifa. Rizky terkekeh bahagia melihat hal itu. "Sepertinya mereka mengetahui kehadiran ayahnya. Apakah mereka sering seperti ini, Fa?"
"Ya, bahkan terkadang mereka seperti sibuk bermain di dalam sana. Kadang-kadang keaktifan mereka membuat perut gue sakit. Apalagi kalau sudah malam. Saat gue baru merebahkan diri setelah seharian di resto, tiba-tiba mereka bergantian bergerak di dalam sana. Akhirnya gue nggak jadi istirahat, tapi malah asyik ngobrol sama mereka. Gue kadang suka ketawa sendiri, mereka seolah ingin bersaing dan pamer bahwa mereka bisa bergerak aktif."
"Sayang aku nggak ada di sampingmu untuk melihat hal itu. Pasti akan lebih menenangkan bila melalui hal tersebut bersama suami."
"Ky, pulanglah. Ini semakin malam. Kalau gue nggak buru-buru pulang. Anak-anak juga nggak akan pulang. Walau sudah disuruh pulang oleh Mutia, mereka tetap menunggu gue pulang."
"Pulang bareng aku, Fa."
"Gue bawa mobil Alana, Ky. Gue nggak enak sama Alana, kalau meninggalkan mobil dia disini."
"Biar aku suruh pak Edi kesini untuk membawa mobil Alana pulang." Rizky masih terus membujuk namun Ifa tetap menolak. Akhirnya dengan berat hati Rizky pulang sendirian. Saat mobilnya hendak meninggalkan parkiran, Rizky masih sempat melihat bahu Ifa dipeluk oleh si chef yang katanya ganteng itu. Bahkan ia masih melihat bagaimana Ifa menyadarkan kepalanya di bahu pria tersebut. Tanpa sadar Rizky mencengkeram keras setir mobilnya. Ingin rasanya ia turun dari mobil, menghajar lelaki yang telah berani memeluk istrinya, dan menarik Ifa untuk pulang bersamanya.
Tiba-tiba dari sudut hatinya ada yang berbisik, hey apa hak lo melakukan itu? Justru elo yang sudah menyakiti dia dengan memberitahunya mengenai calon istri baru lo. Apapun alasannya, elo lebih menyakiti dia. Elo yang ingkar janji, Ky. Aah.. sialaaaan... kenapa sih gue nggak berani menolak keinginan ayah. Tapi tiba-tiba ia ingat kata-kata Ifa tadi. Seorang anak lelaki adalah milik orang tuanya. Ya tuhan, aku harus bagaimana? Mereka semua adalah orang-orang yang kusayangi. Dengan gusar Rizky memacu kencang mobilnya. Ingin rasanya ia menghilang agar tak perlu menikahi Shania.
⭐⭐⭐⭐