Chereads / IMPIAN EMAK UNTUK IFA / Chapter 31 - MOVE ON

Chapter 31 - MOVE ON

Happy Reading♥️

Siang itu Ifa dan para sahabatnya sedang asyik menikmati makan siang di kantin kampus saat Fadil mendekati mereka. Perkuliahan belum dimulai. Mereka ke kampus untuk daftar ulang.

"Fa, boleh ngomong bentar sama elo?"

"Ngomongin apaan lagi sih Dil. Elo kan sudah tau kenyataannya. Masih ngarepin si Ipah?" celetuk Meta. "Daripada ngejar Ifa yang sudah jadi bini orang mendingan lo deketin si Mutia"

"Apaan sih lo Met. Ini urusan gue sama Ifa. Elo nggak usah ikutan deh." sahut Fadil ketus.

"Lo jangan sembarangan deh. Lakinya Ifa itu sepupu gue. Jadi wajarlah kalau gue ikutan." Meta nggak mau kalah.

"Sudah ah, lo berdua kenapa jadi ribut sih. Cuaca panas gini mendingan ngadem, bukan malah ribut." Alana menengahi. "Fa, sana elo ngomong dulu berdua Fadil. Selesaikan masalah kalian."

"Perasaan gue nggak punya masalah sama dia." jawab Ifa sambil terus menikmati makanannya. Seblak yang super pedas.

"Sudah, lo ikutin aja dulu si Fadil. Biar jelas apa yang dia mau omongin," desak Alana. Akhirnya Ifa mau mengikuti Fadil ke sisi lain kantin. Agak menjauh dari anak-anak GCK.

"Elo mau ngomong apa sih Dil? Bilang aja." ucap Ifa. "Sebelumnya gue minta maaf sama elo karena nggak bilang dari awal kalau gue sudah nikah. Gue nggak ada maksud mempermainkan perasaan elo. Gue kan sudah nolak elo, tapi elonya aja yg kekeuh deketin gue."

Fadil diam saja mendengarkan penjelasan Ifa. "Gue kecewa sama elo Fa. Seharusnya elo ngomong jujur sama gue soal status lo. Kita kan sudah berteman sejak semester satu."

"Sorry. Gue sebenarnya waktu itu belum yakin dengan pernikahan yang gue jalani. Gue menikah sama Rizky karena keinginan orang tua kita. Bisa dibilang gue saat itu terpaksa menikah sama dia."

"Kenapa elo mau dipaksa menikah sama dia? Padahal elo nggak mencintai dia," tanya Fadil.

"Hehehe.. sebenarnya gue sudah suka sama dia sejak SMP. Tapi waktu itu dia cuma menganggap gue seperti adiknya. Kebetulan dia anak tunggal. Bundanya juga sayang banget sama gue."

"Apakah elo masih merasa terpaksa menikah sama dia?"

"Nggak. Apalagi setelah gue tau kalau ternyata dia juga suka sama gue dari dulu." sahut Ifa sambil tersenyum. Fadil dapat melihat cinta di mata Ifa. Dia mencintai suaminya, bisik hati Fadil. Saatnya gue mundur.

"Fa, gue mau minta maaf karena maksa elo buat menerima cincin dari gue. Saat itu gue berharap elo bisa menerima gue. Bahkan saat gue dengar berita elo bertunangan dengan dia, gue masih saja denial. Gue masih memiliki keyakinan bahwa gue akan bisa merebut lo dari dia. Ternyata gue salah."

"Nggak ada yang perlu dimaafkan. Gue juga salah karena nggak jujur sama kalian. Gue harap elo tetap mau menjadi teman baik gue. Gue yakin suatu hari nanti elo akan menemukan gadis lain yang jauh lebih baik dari gue. Kalau elo mau membuka mata dan hati, lo pasti akan menemukan dia." Ifa menunjuk Mutia yang saat itu memasuki kantin bersama Badriah, Lili dan Morgan.

"Gue nggak yakin bisa melupakan elo, Fa."

"Elo pasti bisa dan elo harus bisa. Masa elo mau nungguin gue jadi janda." ledek Ifa. "Pas gue jadi janda elo sudah kakek-kakek. Gue tetap ogah sama elo, Dil."

Fadil hanya tersenyum tak bersemangat. Ifa menepuk-nepuk bahunya memberi semangat. "Kenapa elo nggak buka hati buat Mutia? Mutia cocok buat elo, Dil. Dia cantik, kalem, pintar, keibuan dan yang pasti setia. Buktinya sampai saat ini dia masih setia nungguin elo walau dia tahu elo naksir gue. Yang pasti elo nggak akan malu mengenalkan dia ke orang tua lo."

Fadil menengok ke arah Mutia. Dia perhatikan dengan seksama gadis pendiam yang selama beberapa semester ini telah menyimpan rasa untuknya. Sejak tertarik pada Ifa, dia tak pernah memperhatikan gadis lain. Sayangnya dulu dia tak memiliki keberanian menyatakan perasaannya.

"Gimana? Mutia cantik kan? Bahkan dia lebih cantik dari gue. Shalihah pula. Cocok kalau untuk lo jadiin calon bini." Ifa kembali mengompori Fadil. "Coba aja dulu. Siapa tau emang dia jodoh lo."

"Fa, kok lo maksa banget sih supaya gue deketin cewek lain."

"Ya elah Dil, gitu aja pake ditanya. Gue nggak mau salah satu sahabat gue kagak bisa move on. Laki-laki dilarang gagal move on. Jumlah cewek di dunia lebih banyak dari cowok lho bro. Hari ini elo putus sama satu cewek, minggu depan sudah ada cewek lain yang gantiin."

"Gue bukan player, Fa. Gue tipe cowok setia. Kayak gue setia naksir sama elo selama beberapa semester ini."

"Hadeeuuh.... elo bikin gue gregetan ya. Intinya elo jangan terpaku sama satu cewek yang nggak mungkin atau kecil kemungkinannya buat lo miliki. Ayo sekarang kita balik ke meja. Jangan-jangan seblak gue sudah diabisin sama Meta dan Cilla."

"Siapa yang makan seblak gue?" tanya Ifa galak setelah kembali ke mejanya. Seblak yang tadi masih ada setengah piring, kini telah habis. Tandas. Piringnya sampai licin. Demikian juga dengan es jeruknya.

"Lagian elo ngobrolnya lama banget. Seblak kalo sudah dingin kan nggak enak. Es jeruk lo juga pasti nggak enak lagi karena esnya sudah mencair. Makanya sebagai teman yang baik, gue, Alana dan Onit menyelamatkan seblak dan es jeruk lo." Meta menjelaskan dengan wajah tak berdosa.

"Al, kok elo ikutan ngembat seblak gue?" tanya Ifa heran. Nggak biasanya Alana kayak begitu.

"Hehehehe... dari kemarin gue emang lagi kepengen makan seblak. Nih, gara-gara abang lo cerita soal seblak yang dia makan pas dinas ke Bandung." jawab Alana sambil tersenyum sok manis.

"Ini semua gara-gara Fadil. Jadi harusnya elo marahin Fadil." Onit melemparkan kesalahan sebelum Ifa ngomel.

"Kok gue? Hai Mut," sapa Fadil sambil duduk di sisi Mutia yang kebetulan memang kosong.

"Ngapain lo duduk disitu?" tanya Lili ketus. Dia adalah sahabat Mutia. Dia tahu banget bagaimana selama ini Mutia sering bersedih karena Fadil tak peduli padanya.

"Kok elo yang galak sih Li? Mut, nggak papa kan gue duduk di sini? Kalo duduk di sebelah Morgan, gue nggak bisa ikutan ngemil keripik pedas yang lo bawa. Siapa yang baru balik dari Padang, Mut?"

Mutia menunduk malu lalu menjawab,

"Eh, kemarin nyokap gue baru balik dari sana. Menengok nenek."

"Jadi elo dekat-dekat Mutia karena keripik pedas?" tanya Morgan yang dari tadi sibuk mengunyah keripik. Mukanya memerah karena menahan pedas.

"Itu salah satu alasan aja, bro. Alasan lain biar gue bisa minta ajarin akuntansi sama dia. Kan lo tau, di kelas IPK Mutia yang paling bagus. Siapa tau dari belajar bareng, gue bisa kayak Cilla." jawab Fadil sambil melirik Mutia. Dari sisi lain Ifa memperhatikan mereka. Ia bersyukur Fadil mau membuka hatinya untuk Mutia.

"Mut, nanti elo pulang sama siapa? Ada yang jemput nggak?"

"Eh.... nggak ada." jawab Mutia pelan.

"Apaan mut? Nggak kedengeran," Fadil mendekatkan kepalanya ke arah Mutia, yang mukanya langsung merah padam karena malu.

"Nggak usah modus deh, pake nanya-nanya segala. Kalau mau antar Mutia pulang bilang saja." ledek Badriah yang disambut riuh oleh teman-teman yang lain.

"Gue boleh antar elo pulang?"

"Huuuuuu... " riuh rendah meja itu oleh sorakan Ifa dan kawan-kawan. Fadil hanya senyum-senyum saja. Sementara itu dengan malu-malu Mutia menganggukan kepala.

"Cieee..... selamat ya Fadil dan Mutia."

Alhamdulillah, batin Ifa. Akhirnya Fadil bisa move on juga. Gue nggak perlu feeling guilty

⭐⭐⭐⭐