Reamur menangis meraung raung di bawah pohon besar tempat dia bertemu dengan Tetua penjaga hutan terakhir kali. Dia hanya ingin pulang, dia tidak melakukan kesalahan, kenapa Tetua menyalahkannya atas dosa dari manusia lain dan menyuruhnya menanggungnya. Tempat ini memang sangat indah dan sangat memukau, tapi apa gunanya bila dia sendirian di sini. Tanpa orang tuanya dan tentu saja tanpa kenyamanan kehidupannya sebelumnya.
Iya, Reamur akhirnya menyadari betapa nyamannya kehidupannya dulu. Dibandingkan di sini, semua yang dia inginkan dapat dengan mudah didapatkan. Semua yang dia mau dapat langsung tersedia, tapi kenapa dia menyadarinya saat dia sudah terdampar hingga tidak bisa kembali seperti ini. Andai waktu dapat diputar kembali, Reamur pasti akan menikmati kehidupannya sebaik baiknya.
Sementara itu kelompok Crustacea yang mengantarkan Reamur menemui Tetua beranjak pergi satu demi satu dari tempat itu, hingga tersisa satu Crustacea. Crustacea yang diajak bicara oleh Reamur pertama kali, dia memandang Reamur yang menangis cukup lama dan ikut beranjak pergi besama kelompoknya.
Hari berganti malam, malam berganti menjadi hari lagi. Reamur terus menangis meratap di bawah pohon itu. Dia seperti anak hilang yang tidak bisa kembali pulang. Setelah menangis selama dua hari dua malam lamanya, akhirnya Reamur merasakan perasaan lapar yang amat sangat, tubuhnya kelelahan akibat menangis terlalu banyak, matanya sangat bengkak, hidungnya juga tersumbat hingga dia kesulitan bernafas, dan wajahnya pucat pasi. Lemah, lesu, lapar, putus asa, sedih, marah, takut, semua nya dirasakan oleh Reamur. Tapi apa yang bisa dia lakukan, dia hanya bisa menerima takdirnya. Bahkan niatan untuk membalas kepada Flicha Mirrol pun telah hilang dari benaknya. Dia menyadari bahwa segalanya tidak lebih penting dari nyawamu sendiri, bila masih hidup masih ada kesempatan, karena saat manusia tidak hidup lagi, dia tidak memiliki kesempatan untuk melakukan apapun yang dia mau.
Dengan pemikiran seperti itu dalam benaknya, Reamur akhirnya bangkin dari posisinya yang sedang duduk, dia merasakan lemah dan pusing karena sudah dua hari tidak makan apapun, saat dia berniat mencari buah buahan yang bisa dia makan, dia menemukan gundukan buah yang sangat banyak di samping tempatnya berada. Saat dia menunggu siapa pemilik gundukan buah ini beberapa saat, akhirnya dia tau Crustacea yang meletakkan buah ini di sini, dia sengaja meletakkan buah buahan itu di samping Reamur supaya Reamur tidak kelaparan. Melihat hal tersebut membuat Reamur merasa terharu.
"Terimakasih banyak, aku tidak tau harus bagaimana lagi. Meski aku tidak mengerti kata katamu dan kau hanya mengerti sedikit dari kata kataku, tapi aku sangat berterimakasih padamu. Selama aku berada di sini, bila ada teman temanmu yang terluka katakan saja padaku, aku akan menyembuhkannya bila aku mampu" Reamur mengusap air matanya sambil tersenyum kecil kepada Crustacea itu.
Sejak hari itu akhirnya Reamur mencoba beradaptasi dengan keadaannya di wilayah dalam hutan Salos. Dia juga tidak ingin membuang waktunya dengan sia sia, bila Tetua tidak mau membantunya untuk kembali dia hanya harus bertahan di sini sedikit lebih lama dan mencoba menjadi lebih kuat supaya tidak dimangsa oleh monster yang ada di sini. Selain itu dia juga akan terus memohon hingga Tetua merasa jenuh mendengar suaranya dan tangisannya.
Reamur memulai hidupnya di hutan Salos bersama para Crustacea, dia tidak pernah mengeluh lagi dan mencoba menyerap spirit sebanyak banyaknya serta meningkatkan level kemampuan yang telah dia miliki. Kesehariannya hanya dibagi menjadi 5 tahapan yaitu tidur, mencari makan, mandi, berlatih, dan meratap di bawah pohon besar. Dia sudah tidak dapat menghitung berapa lama dia berada di hutan itu, yang jelas dia telah melewati pergantian musim di sini, musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin. Dia melalui nya seiring waktu dengan kesabaran dan terus berusaha, dia tidak memikirkan apakah usahanya akan dilihat oleh Tetua, dia hanya berharap Tetua mau mengabulkan permintaannya.
Hingga suatu ketika, di malam hari saat dia tidak bisa tidur, dia berjalan ke depan pohon besar dan mulai memanggil Tetua seperti biasanya, namun kali ini dia tidak berkata ingin pulang, dia hanya mencurahkan bagaimana perasaannya termasuk kerinduannya kepada orang tuanya. Saat itulah tiba tiba pohon itu merespon dan bergerak bergerisik melambaikan daunnya yang diterpa angin.
"Aku tidak menyangka, kau punya kemauan yang patut untuk dipuji. Dibandingkan yang lainnya yang pernah di sini, kau satu satunya manusia yang memohon terus menerus dalam waktu yang sangat lama di sini" Tetua penjaga hutan akhirnya muncul di depan Reamur.
"Salam hormat saya kepada Tetua penjaga hutan Salos" Reamur sedikit gelagapan saat melihat tetua, namun dia cepat menyadarkan dirinya sendiri, dan memberikan penghormatan yang tulus. Sangat berbeda dengan keengganannya di masa lalu, saat ini segala kesombongan, ego, dan kekanak kanakannya benar benar luntur seketika karena di asah oleh waktu dia berada di sini.
"Hmmm, bagus kau sudah berubah dan aku bisa menilai bahwa kau memiliki perasaan tulus padaku, untuk itu aku akan mengabulkan permohonanmu" Mendengar hal itu Reamur sangat senang, dia merasa ini adalah perasaan senang yang tidak pernah dia rasakan lebih dari apapun."Namun ada syaratnya, saat kau pergi dari hutan ini, harus ada yang bersedia tinggal di sini menggantikanmu, aku akan menghubungkanmu dengan mereka, mereka akan menjawab mu dengan perasaan terjujur dari hati terdalam mereka, namun hanya kau yang tau sedangkan mereka akan melupakan semua yang akan kita lakukan pada mereka". Reamur tidak terkejut lagi mendengar apa yang dikatakan Tetua, untuk keluar dari hutan ini bukan perkara yang mudah, dia bahkan tidak yakin apakah ada yang mau menggantikannya.
"Jadi siapa yang kau pilih, dari yang kulihat orang paling penting bagimu adalah ayah dan ibumu, apa kau mau mencoba menghubungi mereka, dan menanyakan pada mereka apakah mereka mau menggantikanmu" Meskipun terdengar egois, dia yakin orang tuanya akan mau melakukannya, Reamur adalah putri sematawayang orang tuanya, jadi mereka pasti mau berkorban demi dirinya.
"Baik, aku akan menghubungkanmu dengan mereka melalui spirit penghubung" Setelah mengatakan demikian Tetua menggerakkan jari telunjuknya. Setelah Tetua menggerakkan jari telunjuknya muncullah cermin yang memantulkan wajah ibu Reamur.
Melihat ibunya, Reamur tidak bisa membendung air matanya. Dia menangis sejadi jadinya, dia sangat merindukan ibunya, dia ingin pulang bertemu orang tuanya. "Sekarang bicaralah pada ibumu terlebih dahulu".
"Ibu....." Reamur tidak bisa mengatakan apapun, dia menangis sesenggukan dan mengalami pergolakan batin yang sangat besar. Apa bisa dia membiarkan ibunya berkorban demi dirinya dan menggantikan dirinya di tempat ini. Meski dia ragu namun dia juga ingin tau bagaimana perasaan orang tuanya yang sebenarnya kepadanya.
"Ibu apakah ibu menyayangiku ?" Reamur dengan pelan bertanya kepada ibunya.
"Tentu saja nak, ibu menyayangimu. Kenapa kamu menangis, apa kamu baik baik saja di Akademi ?" Ibunya memiliki raut khawatir yang kentara di sana.
"Ibu aku tidak baik baik saja. Ibu sekarang aku terjebak di wilayah terdalam hutan Salos. Bila aku ingin keluar harus ada orang yang bersedia bertukar tempat denganku di sini. Apakah ibu bersedia menggantikanku ?" Reamur tau ibunya pasti mau melakukannya untuknya, dan saat itu terjadi dia akan.....
"Untuk apa aku menggantikanmu di tempat berbahaya yang bisa membunuhku Reamur, berpikirlah secara rasional. Kamu memang putri ibu dan ibu sangat menyayangimu, tapi ibu tidak ingin mati" Dia terkejut sampai tidak bisa berkata kata, ibunya bahkan tidak mau mengorbankan diri untuknya, ibunya bahkan menggunakan wajah masam seolah kecewa padanya. Belum sampai di situ dia mendengar kalimat lain yang lebih kejam, "Reamur, ibu bekerja keras sampai di sini untuk mendapat posisi yang baik di keluarga Achrnavell, ibu menghabiskan tahun tahun untuk menyenangkan para tetua, ibu bahkan memelihara tubuh ibu supaya bisa melahirkan pewaris keluarga Achrnavell, ibu sedih kenapa kamu tidak lahir sebagai warrior, seharusnya bila kamu terlahir sebagai warrior, ibu akan dapat dengan cepat mendapat pijakan yang kokoh dalam keluarga. Karena itu Reamur, berkorban untukmu itu mustahil, kau mengertikan putri ibu" Ibunya bahkan dapat tersenyum dengan sangat cantik sambil mengucapkan kata kata setajam pedang yang bisa menancap di hatinya.
"Tidak, tidak mungkin, bagaimana bisa ibuku sendiri mengatakan hal seperti ini padaku, Tetua..., ini pasti hasil dari manipulasimu bukan" Dia terguncang hebat sampai tidak bisa bersikap rasional lagi.
"Kau pikir aku ini orang yang kurang kerjaan melakukan itu. Ini adalah salah satu kemampuanku, siapapun yang terkena kemampuanku akan berbicara dengan jujur apa yang ada di hati mereka, sama seperti dirimu dulu yang bersikap sombong padaku adalah hasil dari aku menggunakan kemampuanku" Mendengar penjelasan Tetua, Reamur mulai merasakan putus asa yang sangat besar. Sejak tiba di sini sepertinya dia telah melalui berbagai macam halangan dan rintangan tapi tidak ada yang seberat ini.
"Ayahku, ayahku pasti mau mengorbankan diri untukku Tetua" Bak orang kesetanan yang sudah tidak bisa berpikir logis, dia mendekati Tetua dengan cepat, bahkan dia menggoyang goyangkan tangan Tetua supaya dengan cepat dapat menghubungkannya dengan ayahnya. Namun malangnya nasib Reamur, ayahnya bahkan dengan tegas menyuruhnya tetap di sana daripada memintanya mengorbankan dirinya. dia bahkan menuduhnya sebagai putri tidak berbakti yang menyuruh orang tuanya untuk mati.
Padahal Reamur tidak bermaksud demikian, dia hanya ingin tau apakah orang tuanya benar benar menyayanginya, bila mereka memang menyayanginya, dia akan dengan tenang tinggal di sini dan tidak berusaha kembali. Setidaknya dia tau ada orang yang akan mengingat keberadaannya di luar sana. Namun dia tidak pernah mengira akan mendengar kata kata kejam dari bibir orang tua yang selalu berkata paling menyayanginya itu.
Reamur yang tau dia tida diinginkan siapapun sudah pasrah dan menyerah. Orang tuanya sendiri bahkan tega melakukan itu padanya. Bagaimana dengan orang lain yang tidak memiliki hubungan darah dengannya. Dia lebih pesimis lagi. Awal mulanya dia masih berharap untuk kembali, namun mengingat tidak ada yang mengharapkannya kembali, mati di tempat ini pun bukan lagi masalah.