seperti biasa Sira selalu dibangunkan azan subuh berkumandang, Mpok mai juga sudah bangun terlebih dahulu, Sira melihat mpok mai keluar dari kamar mandi.
"eh, udah bangun neng" mpok mei mengambil mukenahnya dari lemari.
"iya bu, mau sholat subuh juga, ibu ada dua mukenah?" masih duduk di tempat tidur
"ada neng, kalu mau berjemaah biar ibu tunggu" tawar mopk mai.
sira tersenyum bangkit menuju kamar mandi, sira merasa sedang sholat berjamaah bersama ibunya. Selesai sholat subuh sira tiba-tiba haus langsung ke dapur mengunakan mukenah, dapur tidak jauh dari kamar mpok mai,
sira mengambil gelas dan segera minum.
kucing yang tiba-tiba muncul mengelus-elus kan kepalanya ke kaki sira, membuat sira tersenyum dan menyentuhnya.
"kucing yang lucu". Sira kemudian bangkit
"huaa"
"hua", sira pun ikut teriak karna terkejut, "astafirullah" ucap Sira kemudian.
mpok mai lari ke dapur mendengar teriakan itu, begitu juga mama dimas.
"kamu, ngapain ke dapur pakaian begitu", tanya dimas, dimas yang terkejut melihat sira mengunakan mukenah putih tiba-tiba ada di depannya.
sira melihat mama dimas dan mpok mai datang tersenyum datar.
"maaf buk, tadi saya haus jadi langsung ke dapur tanpa ganti mukenah dulu".
"ya udah gak papa", mama dimas senyum.
sira kembali ke kamar mpok mai melewati dimas yang sedang kesal, menatap tajam sira. Sira hanya tersenyum dengan raut wajah meminta maaf.
Rasanya aneh bagi sira perjalanan hidupnya saat ini, bermasalah dengan orang yang tidak pernah ia kenali, sampai bisa bermalam di rumahnya. terkadang dia berpikir kenapa dia harus berada dalam situasi ini. Jam tujuh pagi sira pamit pulang, pak salim meminta sira untuk pulang sebentar lagi, setidaknya habis sarapan pagi, sira menolaknya, namun mama dimas juga membenarkan perkataan suaminya. Dengan suara datar pak salim menyampaikan untuk menikah dengan dimas, karna semua ulah dimas sira harus menjadi korban, sira mencoba menolaknya, mengatakan semua sudah baik-baik saja.
"kamu akan menikah dengan saya, sebagai permintaan maaf ku" semua menoleh dimas.
"iya, kamu tidak bisa menolak", sira bingung menatap dimas penuh tanda tanya. sedangkan pak salim tersenyum lebar.
"sssaya", sira sedikit gugup, "saya tidak mencintai anak bapak". sira melirik dimas tersenyum sadis, sira seprti merasa takut, berpikir bahwa dimas akan menyiksa hidupnya.
"bener begitu, saya akan membeli tanah dan membuka proyek baru, dimas dan kamu akan mengelolanya,". Sira semakin bingung mendengar perkataan pak salim, "kalau kalian menikah" tegas pak salim, melirik dimas tersenyum yang sedang berada dalam pikirannya. Pak Salim sangat mengenal dimas, yang cinta jabatan. dia bisa berbuat apapun untuk mencapainya. Pak salim begitu mengagumi sira yang baik juga Soleh, pak salim berharap dimas melakukan sesuatu untuk bisa menarik hati sira.
Sarapan pagi sudah siap ditata di meja makan, mereka semua makan bersama, Sira yang masih bingung, pertanyaan-pertanyaan berputar di kepalanya, pemaksaan macam apa ini, kenapa sulit keluar dari zona permasalahan ini, kenapa harus ada pernikahan yang tidak ia inginkan, dalam situasi lain kehidupan sira juga akan berubah termasuk keuangan, sira akan hidup mewah memegang sebuah proyek pasti orang tuanya bangga. Selesai makan sira membantu mengangkat piring ke belakang, walaupun sudah diminta untuk tidak melakukannya tapi sira dengan senang hati membantu mopk mai. sira mencuci tangannya di woshtap El sambil melamun.
tiba-tiba seseorang menarik tangannya membawa sira ke taman belakang.
"hai lepaskan tanganku" sampai di taman belakang, sira berusaha melepaskan tangannya dan mendorong dimas, walaupun dorongan itu tidak membuat dimas jatuh.
"kita bukan muhrim, jadi jangan coba-coba menyentuhku" tegas sira, dimas tersenyum sadis.
"Jagan anggap saya mencintai wanita seperti kamu", tunjuk dimas tepat di wajah sira.
sira tidak suka di tunjuk, Sira ingin menggigit telunjuk itu. tiba-tiba dimas kaget dan menurunkan telunjuknya.
"kamu harus menikah denganku, kalau tidak kamu tidak akan aman di kota ini".
"saya tidak takut". jawab sira tegas.
"owh ya", dimas mendekatkan wajahnya, sira ketakutan berusaha menjauhi wajah dimas darinya.
"kalian disini" suara pak Salim
mereka kaget, sira yang hampir jatuh kebelakang langsung di tangkap dimas memegang pinggul sira dan menariknya ke sebelahnya.
"eh, papa, kami lagi membicarakan pernikahan kami", dimas mengencangkan pegangannya di pinggul sira, Sira hanya diam kaku.
"owh" jawab pak salim sambil menunjuk bingung kenapa mereka sedekat itu, sampai dimas merangkul pinggang sira, kemudian pak salim pergi.
"kita mau nikah pa," jelas dimas untuk menutupi ke kebingungan papanya.
"hei, kenapa kamu terlihat kaku begitu" dimas melepas tangannya.
"par", tamparan meleset di wajah dimas, "jangan pernah menyentuhku"
dimas tersenyum sadis memegang wajahnya.
"wanita itu... bukannya bahagia jika dipeluk, dicium, dan..."
"jaga bicaramu, tidak semua wanita itu sama rendah". sira melangkah pergi, dimas menarik tangan sira sampai tepat di hadapannya.
"berhati-hatilah denganku, dan pikirkan lagi". dimas melepas tangan sira dan meninggalkan sira terdiam, air mata sira terjatuh, betapa ia membenci sifat dimas.
"kenapa aku berada dalam situasi ini ya Allah, bukan kah aku bisa terbang kemana pun?". gumam sira bersedih.
Sira tersenyum dan duduk bersama mereka yang sudah menunggu. Sira berusaha tenang melihat dimas yang tersenyum padanya.
Sira menyampaikan pendapatnya dengan pernikahan itu, sebelumnya sira juga sudah terlihat buruk di depan pak salim dan baru saja juga pak salim melihat yang bukan-bukan tentang sira, sira tidak ingin terlihat buruk tidak sesuai dengan apa yang dia pakai atau hijabnya.
"sira menerima pernikahan itu pak, bu".
kedua orang tua dimas tersenyum, Dimas juga tersenyum lega, lega bisa menangani proyek yang akan jadi miliknya.
"jadi,, sira minta mohon untuk dimas ikut bersama saya ke kampung", senyum dimas berubah jadi kaget.
"untuk apa kesana, pernikahan bisa di laksanakan dengan cepat, tanpa mengundang banyak orang" jelas dimas.
"saya hanya tidak ingin orang-orang berprasangka buruk terhadap saya yang tiba-tiba menikah, orang tua saya juga wajib tahu". jelas sira.
"baik lah tidak masalah, itu benar adanya, jadi dimas besok pagi berangkat ke kampung sira".
dengan berat hati dimas mengiakan.
sira pun tersenyum.
untuk kepergian besok kedua orang tua dimas meminta sira untuk bermalam lagi hari ini jadi besok pagi bisa langsung berangkat. Sira meminta untuk pulang ke kostnya dia akan berangkat dari sana. Bu, helvita mengusulkan lebih baik besok sekalian ke kost mengambil barang-barang yang mau di bawa pulang.
Dimas membawa tas ransel berisikan baju 3 pasang, Karan baginya tidak perlu berlama-lama di kampung wanita ngeselin itu, Sira yang sudah menunggu di depan pintu begitu juga orang tua dimas, papa dimas berpesan kepada kedua orang tua sira untuk menentukan tempat pernikahannya, mereka akan jika pesta di sini maka mereka tidak perlu menyusul.
Dalam perjalanan menuju kost sira tidak ada percakapan, dimas yang sibuk dengan musiknya di telinga.
"eh stop" dimas tidak mendengar sira.
"stop" Sira memegang tangan dimas.
"eh, kenapa ini,"dimas menatap Sira
"kost aku udah lewat, gak boleh tau mengendarai mengunakan handshat, kecuali untuk nelpon" jelas sira.
"mundur", ketus Sira
"enak aja nyuruh, turun sendiri". jawab dimas
Sira pun turun berjalan kebelakang 2 meter kemudian masuk ke gang kostnya. 15 menit dimas menunggu dalam mobil, akhirnya sira datang dengan membawa 1 koper.
Sira memasukkan koper ke bagasi sendiri lalu masuk ke mobil kecapean.
mobil pun kembali jalan, sira yang lelah ingin tidur.
"Jagan tidur, entar nyasar lagi bawa mobilnya"
ketus Dimas.
Sira pun mencoba untuk tidak tidur, beberapa menit sira merasa ngantuk dan mencoba melawan ngantuknya, sekali-kali matanya terpejam dimas yang melihat itu seketika menghidupkan klakson. Sira pun terbangun dan mencoba untuk tidak tidur. lagi-lagi Sira tidak bisa melawan ngantuk nya.
"ok untuk tidak tersesat lebih baik istirahat dulu" dimas menghentikan mobil di pinggir jalan. perjalanan ke rumah sira memang cukup jauh, sekitar delapan jam.