Chereads / ELIKYA Number Zero : The Unknown Brave Hero / Chapter 17 - Arc 1 - Chapter 16 (Rumah yang penuh dengan darah)

Chapter 17 - Arc 1 - Chapter 16 (Rumah yang penuh dengan darah)

"TOLONGGG!!!!!!"

Suara jeritan menggema ke seluruh penjuru rumah, suaranya agak serak dan basah.

Seorang perempuan terkejut, matanya seketika terbuka ketika dia mendengar suara teriakan minta tolong itu. Dia mengenal suara itu, sontak dengan cepat dia menarik selimutnya dan bergegas menurunkan kakinya ke atas lantai, berdiri dari tempat tidurnya dan tergesa gesa berjalan cepat menuju pintu kayu di kamar ini.

Perempuan itu dengan cepat meraih dan membuka kunci pintu dan memutar knop pintu. Menarik pintu tersebut agar terbuka lalu melangkah keluar dari kamarnya.

Matanya bergerak ke arah kanan dan kiri, mencari asal suara teriakan tadi.

Dia benar benar terkejut, pemandangan pertamanya ketika menghadap ke arah kanan adalah punggung seorang pria, dengan tubuh yang besar mengenakan jaket parka berwarna hijau dan memakai celana jenis jeans, pria itu sedang berjongkok di ujung lorong. Perempuan tersebut terkejut lalu tanpa sadar ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya, reflek agar suaranya tidak dapat terdengar namun melakukan hal itu benar benar sia sia.

Pria berbadan besar telah mendengar suara pintu yang terbuka. Dia menoleh kearah belakang, dimana suara itu berasal. Disana terdapat seorang wanita dengan gaun tidur putih yang menyelimuti tubuhnya, perempuan dengan rambut coklat terang panjang yang terlihat sedikit berantakan. Perempuan itu berdiri disana dengan tangan kanan yang memegangi tembok dan tangan kirinya yang memegangi dadanya, menahan perasaan risau yang tiba tiba datang melanda pikirannya.

Seorang perempuan yang menjadi tujuan pria itu menyusup hingga ke rumah ini sudah berada di hadapannya.

Yang artinya tujuannya menyusup telah tercapai.

"Jason?! itu kau? me..mengapa kau ada disini." perempuan berambut coklat terang terngangah ketika dia melihat seorang pria yang ia kenal menyusup kedalam rumah mereka.

"Sudah lebih dari 20 tahun ya..."

Laki laki itu berdiri cengan perlahan lalu berbalik. Wajah pria itu tampak penuh dengan perasaan bahagia yang tak beralasan, wajahnya penuh dengan sebuah senyuman yang tak beralasan, sehingga siapapun yang melihat momok pria tersebut akan merasakan perasaan yang amat menjijikan. Alangkah terkejutnya perempuan itu, tanpa sadar dia mundur ketika melihat jaket yang sang pria kenakan penuh dengan cairan yang berwarna merah kental. Darah dapat terlihat dari sekitar dada hingga celana jeansnya.

"A.A.A.Apa itu." Tanyanya. Perempuan tersebut semakin mundur sehingga tangannya menempel pada pintu yang setengah terbuka, matanya mendelik. Dia sedikit memiringkan kepalanya ke samping, mencoba mengintip apa yang berada di balik tubuh pria tersebut.

Sebuah genangan darah dapat terlihat tepat di belakangnya, seseorang terduduk lemas dengan matanya yang kaku setengah terbuka, tangannya tergeletak lemas serta kaku dilantai, wajahnya sedikit miring penuh dengan darah. Seorang mayat perempuan berumur 16 tahun tergeletak duduk di lantai dengan leher yang penuh dengan luka gorokan besar pada lehernya.

Atmosfer berubah menjadi tidak mengenakan disertai perasaan merinding ketika perempuan itu melihat mayat yang ada di balik pria, bagi siapapun yang berada disini sudah pasti akan merasa ingin memuntahkan segala isi lambungnya ketika melihat mayat perempuan yang amat sangat kasian.

Perempuan itu sontak kepalanya penuh dengan amarah yang membludak ludak, ketika dirinya melihat putrinya telah dibunuh dengan cara mengenaskan oleh pria yang ada dihadapannya. Perempuan itu baru sadar bahwa pria yang ada dihadapannya ini mengepal sebuah pisau yang amat tajam dengan darah yang berlumuran di sekitar lengannya.

"Jason...ukghhh APAA YANG KAU..."

"BERISIIKKKK!!!!!!!!!...INI SEMUA SALAH MU!!!!! JIKA KAU TIDAK MENIKAHI KEPARAAT ITU!!!!!! AKUU TIDAK AKAN MELAKUKAN HAL SEPERTI INI!!!!"

Pria itu berteriak marah terhadap lawan bicaranya, tetapi wajahnya tidak demikian, wajahnya menunjukan perasaan yang bahagia. Perempuan itu merasa mual ketika dirinya melihat penampilan serta kelakuan pria yang ada didepannya itu. Amarah tertahan pada tubuhnya, nafas perempuan itu menjadi tidak teratur. Ingin sekali dia membunuh hewan yang ada di depannya itu.

"KAU TELAH MEMBUNUH PUTRIKUUU!!!! APA KAU TIDAK MENYADARI KESALAHAN MU!!!???"

"KHHHKHKKKKAHAHAAAHAHAHAHAAAHAHAAAAAAAHUAAAAAAA"

Pria itu tertawa terbahak bahak hingga membungkuk, air liurnya keluar menetes dari mulutnya yang terukir sebuah senyuman sambil memegangi perutnya, membuat perasaan jijik serta murka tidak tertahankan pada dada perempuan tersebut semakin menjadi jadi. Tetapi apalah dayanya, dia hanyalah seorang perempuan yang sangat lemah dibandingkan dengan pria itu.

Perempuan itu dengan terpaksa menahan perasaannya, dan mundur memasuki kamarnya ketika pria yang penuh dengan darah tersebut mulai berjalan dan mendekatinya, tawanya masih belum berhenti dan meninggalkan jejak darah pada sepatu kulit yang tidak dilepas.

Perempuan itu dengan cepat menutup pintu dan berusaha menguncinya.

"DASAR KEPARAATTTT!!!!"

"KYAAAAGHHHHHK...UGHKKKKK. AAaagghhhh."

Ketika pintu ditutup dengan cepat, laki laki itu dengan cepat pula berlari lalu menendang pintu kayu tersebut sehingga pintu tersebut patah dan membanting perempuan yang ada di balik pintu.

"UUGHHhhkkk...okhh..ohokhh."

Perempuan itu terpental serta terbaring di atas lantai yang dingin, memegangi tubuhnya yang terkena dampak dari tendangan pria itu, matanya mengintip kearah seorang pria. Pria itu tampak masih memasang wajah tersenyum yang menjijikan, dia memasuki kamar perempuan itu mendekat kepadanya yang sedang berusaha menggeliat menjauhi dirinya, lalu berhenti sejenak melihat betapa menyedihkannya teman lamanya. Kemudia Pria itu berjongkok di hadapannya.

Pria itu mengerakan kedua tangannya, meraih leher perempuan yang terbaring tak berdaya tersebut lalu mencekiknya dengan semua jari jarinya yang cukup besar. Menutup jalur nafasnya sehingga ia tidak dapat bernafas.

"AAHHKHAGGGH" Mata perempuan itu membelalak serta mengeluarkan air mata dan mulutnya terbuka seakan akan berusaha untuk bernafas.

"KHIIIKKHIHIKHIHI...Dengarkan aku..."

Pria itu terlihat semakin senang, dia semakin mencekiknya sehingga perempuan yang telah tak berdaya tersebut semakin membelalakan matanya yang meneteskan air mata. Pria itu menundukan kepalanya mendekati wajahnya dengan wajah perempuan yang sedang berusaha bernafas, nafas Pria itu berhembus di antara wajah perempuan. Darah menetes dari jaket parkanya menodai gaun putih cantik nan indah yang dikenakan perempuan.

Tangan perempuan itu berusaha melepaskan cekikannya, kakinya meronta ronta menendang lantai, mengekspresikan segala rasa sakit dan rasa takut yang sangat teramat. Nyawanya semakin berada di ujung tanduk ketika laki laki itu mencekiknya sehingga tulang leher perempuan itu mulai hancur, pengelihatannya sudah mulai memburam tidak dapat melihat dengan benar. Perempuan itu sudah hampir tewas.

Pria itu mendekatkan wajahnya, lalu membisikan kata kata. "Jika seandainya kau tidak memilih pria itu....KHIIKHH...HIHIIHAHAAAAAHAHA kau tahu selama ini aku menggila karena kau.....kau tahu selama ini, selama lebih dari 20 tahun aku telah menahan segala perasaan ini sehingga segalanya membusuk dari dalam...kau tahu...ak..."

"REINAAAA!!"

"Huhh?"

Itu suara terikan seorang laki laki, suaranya terdengar hingga ke lantai dua ini. Terdengar pula suara langkah yang cepat memasuki rumah ini. Ada seseorang yang berlari dan masuk kedalam rumah ini, menggagalkan Pria itu untuk mengungkapan segala perasaanya kepada perempuan yang sedang berada diambang kematian.

***

Kenapa kau berlari?

"REINAAA!!!" Teriaknya, memanggil perempuan yang ia kenal.

Tenza berusaha berlari sekuat kuatnya, menuju ke rumah yang ada di sebelah kiri rumahnya. Nafasnya agak terengah engah, berlari tanpa alas kaki yang melindungi kakinya dari trotoar yang dingin dan kasar.

Bukankah hal itu sangatlah aneh?

"REINAAA!!! DIMANA KAU!!!!"

Tenza Berbelok ke kiri, melewati pagar hitam yang terbuka setengah. Membanting pagar tersebut kemudian melewati taman yang dihiasi pohon ceri kecil di sebelah kirinya. Tenza berlari menuju depan teras dan memasuki pintu berwarna putih yang tidak dikunci tanpa meminta izin dari pemiliknya.

Pemandangan yang ia dapat cukup mirip dengan rumahnya. Dia berhenti tepat di tengah ruangan pertama yang ia jumpai. Kepalanya terangkat, melihat kesana dan kemari, memeriksa ruangan pertama yang ia temukan. Gelap tanpa pencahayaan, seperti itulah gambarannya.

'Sebelumnya, aku mendengar seorang pria dan wanita berteriak seperti bertengkar.' Kata Tenza dalam hatinya.

Nafasnya tidak beraturan, ia dapat merasakan jantungnya berdegup kencang, Tenza terlihat panik. Meskipun gelap, samar samar ia dapat melihat lumayan jelas ruangan ini. Ruangan yang hampir sama persis dengan rumahnya, hanya ada beberapa perabotan yang i tidak kenali disini. Persis seperti gambaran pada rekaman kejadian.

Memangnya siapa dia? keluargamu? Hartamu? Atau orang yang paling kau cintai?

Tenza memposisikan tubuhnya ke dalam keadaan siaga. Menggenggam erat tongkat Baseball yang licin karena tangannya yang berkeringat. Nafasnya tidak beraturan. Tenza salah menyimpulkan kejadian yang masih misteri ini.

Dia bukan siapa siapa! lalu kenapa kau ingin menyelamatkannya?

Tenza menolehkan kepalanya ke depan, ia melihat sebuah tangga yang menuju lantai dua. Tenza menguatkan kakinya, mencoba untuk berlari kesana, melewati belasan anak tangga dengan cepat sambil terengah engah. Kakinya cukup cakap tanpa sedikit terpeleset dan terjatuh, mencedarai kakinya sendiri.

Akhirnya disanalah dia, Tenza berada di lantai dua, Tubuhnya sedikit membungkuk terengah engah berusaha mengambil nafas. Beberapa saat terlewati, Tenza mencoa untuk mengangkat kepalanya, mengubah pandangannya dari lantai dan tertuju kedepan, melihat seseorang tergeletak kaku di ujung lorong lainnya disana ketika dirinya berada di posisi anak tangga terakhir.

Jika kau mengabaikan hal ini, kau tidak akan mati. Seperti perempuan yang ada disana...

Tenza mendelikan pandangannya, nafasnya sempat berhenti, mulutnya terbuka tidak percaya dengan penglihatannya.

"Aku...Terlambat." Nafasnya kembali terengah engah, wajah Tenza tampak masam ketika dia telah menyadarinya.

Di ujung lorong ini, dengan lampu penerang coklat redup. Tenza melihatnya, seorang perempuan berambut coklat terang dan warna mata yang serasih dengan warna rambutnya, seorang perempuan yang menjadi teman pertamanya di Elikya, Tenza gagal menyelamatkannya.

**Reina Mirabelle.**

**Pukul : 23.16**

**Status : Tewas**

Tenza berjalan pelan menyusuri lorong dengan penerang yang redup, melangkah sedikit demi sedikit menuju Perempuan yang tergeletak di ujung lorong sana. Sekujur tubuh Tenza melemas dengan dipenuhi perasaan bersalah.

"Maaf.."

Mata Tenza mengeluarkan air mata, hatinya tidak kuat menahan perasaan bersalah ini. Tenza menundukan tubuhnya, melangkah, selangkah demi selangkah menyusuri lorong ini dan berhenti di depan genangan darah yang keluar dari leher perempuan itu, berhenti dihadapan perempuan yang tubuhnya telah dipenuhi darah.

"Hiks..maafkan aku..." Air matanya keluar dari kedua matanya, menatap penuh dengan perasaan bersalah dari dalam hatinya.

Tenza mencoba untuk mengusap air matanya menggunakan ujung lengan bajunya dan berharap seribu permintaan maafnya dapat tersampaikan oleh mayat perempuan yang sudah tidak dapat menanggapinya.

Suara langkah terdengar dari belakang Tenza, dengan cepat Tenza yang tangan kanannya menggenggam tongkat Baseball langsung berbalik mengangkat tongkatnya melesatkan sebuah pukulan vertikal dari atas hingga kebawah.

Suara dentungan besi serta tengkorak kepala yang retak terdengar secara bersamaan membuat Tenza terkejut bahwa dirinya berhasil melesatkan serangan kepada pelaku pembunuhan ini dengan telak.

"Oy..oy itu sakit lho...khihihaahaa'aaaa.."

Seorang pria berbadan besar terjatuh hingga bersujud, kepalanya menempel ke atas lantai akibat hantaman tongkat besi yang Tenza pegang. Kepala bagian belakang pria tersebut mengalirkan darah yang cukup banyak.

Tenza reflek memundurkan tubuhnya, ia menginjak darah, cairan merah tersebut masih hangat dan menjalar ke kakinya. Tenza memasang posisi siaga, kedua tangannya mengangkat tongkat baseball, ujung tongkat yang telah ternodai darah itu ia hadapkan ke arah pria yang tersujud.

"Aaaahh~sialan~jika saja aku dapat merasakan sakit, aku pasti sudah pingsan lho!"

Pria itu memegangi kepalanya, menutupi kepalanya yang terluka karena pukulan telaknya. Darah keluar dari sela sela jarinya itu, membasahi wajahnya yang ternodai darah. Dengan tangan lainnya ia berusaha untuk membangunkan tubuhnya, Tenza membelalakan matanya, ia tidak percaya jika pukulannya yang sangat kuat dan penuh amarah tadi tidak dapat melumpuhkannya.

"Kau yang membunuh Reina? Kenapa? KENAPAA KAU MEMBUNUHNYAA!!??" Tenza berteriak membentak Pria yang ada dihadapannya, tanpa sadar ia memundurkan tubuhnya lalu mempersiapkan kuda kuda, bersiaga terhadap psikopat yang telah membunuh temannya.

Pria itu menegakan tubuhnya, Tenza tanpa sadar memundurkan tubuhnya, ketika melihat tubuh orang itu yang jauh lebih besar darinya. Pria itu membelakangi cahaya yang redup di tengah lorong ini. Darahnya menutupi penglihatannya, ia menggunakan tangannya yang sebelumnya digunakan untuk menahan luka, untuk mengelap matanya.

"APA APAAN INI??HAAAHAAHAHAAA Ternyata hanya seorang anak kecil? lagi pula...ada apa dengan matamu itu HAA??" Itulah kata kata pertamanya saat membuka matanya, menyulut api pada tubuh Tenza.

"JANGAN MENGUBAH TOPIKK!!??KATAKAN SAJAA!!!...KENAPA KAU MEMBUNUH REINAA!!!??" Kepala Tenza penuh dengan rasa amarah yang sangat panas, ia menggertakan giginya sangat kuat ketika pertanyaan darinya tidak diindahkan oleh orang itu.

"Kenapa aku membunuhnya....apa kau ingin tahu?"

"JAWAB SAJAA PERTANYAANKU BANGSAATTT!!!!" Pria itu masih menuangkan minyak kedalam api.

Dia mengangkat tangan kanannya menuju dagu, melipat semua jarinya kecuali jari telunjuknya, tidak terlalu jelas dari pandangan Tenza, tapi sepertinya mata pria tersebut sedikit terangkat. Dia seakan akan berpose seperti seseorang yang sedang berfikir. Dia sedang berfikir jawaban apa yang harus dia berikan kepada Anak yang dia tidak tahu siapa namanya.

Hanya sedetik dia mencari jawaban, mulutnya menyeringai dan menarik nafas. "Hanya sebuah keisengan!!!KHIKAAHAHAHAKHHAKAHAAAA" Jawaban yang cukup singkat tetapi mengundang jutaan amarah pada tubuh Tenza.

"BANGSAATT!!!" Tenza mengangkat tangan kanan yang memegang tongkat baseball ke belakang lalu mengeratkan cengkramannya.

Tenza melesatkan serangan vertikal dari atas menggunakan Baseballnya dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Amarah mengkabuti pikiran anak itu, Tenza tidak dapat berfikir dengan jernih.

Yang dia lakukan hanyalah menyerang pria yang di hadapannya itu dengan sekuat kuatnya demi melampiskan segala amarahnya terhadap apa yang dilakukan pria itu.

Pria itu dapat membaca serangan Tenza yang sangat sederhana. Pria itu mengangkat kedua tangannya keatas kepalanya, menghalau tongkat baseball besi dengan kedua tangannya. Tongkat baseball itu menghantam tangan pria itu dan mengeluarkan suara dentungan besi yang menghantam tulang pengumpilnya.

Tenza melesatkan serangan yang sama dengan amarah yang disalurkan kepada tongkat besi yang ia genggam. memukulnya dengan cara yang sama lagi dan lagi. Pria itu mundur ketika serangan runtutan dari Tenza mengenai kedua lengannya yang menghadang agar tidak dapat mengenai kepalanya yang sudah penuh dengan darah.

Beberapa serangan telah dilancarkan oleh Tenza, menghantam mundur Pria tersebut hampir ke tangga menuju lantai bawah. Dengan cepat dan cermat pria itu menangkap tongkat Tenza dengan tangan kirinya ketika Tenza melesatkan serangan yang sama lagi, lalu menariknya sehingga tubuh Tenza yang kecil terbawa oleh tarikannya, dengan cepat pria itu menghantam mata kanan Tenza dengan kepalan tinju tangan kanannya sehingga Tenza terpental mundur.

Tongkat baseball terlepas dari genggamannya dan beralih kepemilikan menjadi milik pria tersebut.

"AAHHRGGGHHGG..UGHHHEGHAAGKK...." Suara rintihan dari Tenza.

"HUUhhh padahal bukannya sudah ku bilang...AKU INI TIDAK DAPAT MERASAKAN SAKIT LHOO" Beberapa saat ia berhenti berbicara di tengah tengah, lalu kembali menampakan wajah tersenyum yang menjijikan kembali.

Pria itu berbalik memandang kearah tangga yang sebelumnya dilewati Tenza. Kemudian dia melempar tongkat baseball ke arah tangga, tongkat baseball itu melambung dan terjatuh menciptakan beberapa suara dentungan besi yang cukup merdu kemudian dentungan keras ketika terkapar di lantai satu. Setelahnya pria itu berbalik sekali lagi, kembali mengarah kearah dimana Tenza terkapar di atas genangan darah.

"Kau tahu...seharusnya aku sedang mengatakan perasaanku kepada perempuan yang aku sukai saat ini."

Pria itu memutar badan lalu berjalan masuk ke salah satu ruangan di sebelah kanannya, mengambil pisau yang tertancap pada leher seorang perempuan bergaun putih yang ternodai dengan darah.

"Sayangnya kau datang dan mengganggu kami, Jadi....yah karena suasananya jadi kacau karena ulahmu....aku membunuhnya."

Pria itu sekali lagi berjalan keluar ruangan dan melihat Tenza yang berbaring di atas lantai yang tergenang darah Reina sambil menahan rasa sakit pada mata kanannya. Tangannya menggenggam psau yang berlumuran darah. Dia menekan ujung jari telunjuk serta ibu jarinya ke bilah pisau, menyingkirkan darah dari sana.

'Yang benar saja...rasa sakitnya, melebihi pukulan Chad..'

Kepala Tenza dan bajunya ternodai dengan darah yang tergenang. Tenza memegangi matanya dengan kedua tangannya, tubuhnya menggeliat ke kanan dan ke kiri menahan rasa sakit, membuat darah yang tergenang semakin banyak menempel pada bajunya.

"AAHHGGKK....UHGHhhhk..."

Pria itu mendekat kearah Tenza sambil menggenggam sebuah pisau yang sebelumnya ia bersihkan dari darah.

"Hey hey hey nak....kau mendengarkan ku?....bukankah Elikya adalah tempat dimana orang orang yang sok pintar dan sok bermartabat tinggal?...lalu ada apa dengan kau?...apakah kau tidak mengerti sopan santun? apakah kau tidak tahu jika ada orang tua yang sedang berbicara denganmu harus didengar dengan baik? bukankah artinya kau adalah sebuah kesalahan?"

Tenza tidak bisa melakukan apa apa, yang ia lakukan hanyalah terkapar dan menggeliat di atas genangan darah, menahan perih yang ia rasakan di mata kanannya yang telah membuat pandangannya menjadi buram.

Pria itu mendecitkan lidah, merasa setiap perkataannya hanya di abaikan oleh anak itu.

"Kalau begitu...aku akan menghukummu."

Pria itu berhenti di dekat Tenza, menekankan tangan kirinya terhadap dada Tenza agar anak itu tidak dapat bergerak. lalu ia mengangkat tangan lainnya yang memegangi bilah pisau. lalu menghujam leher Tenza dengan pisau yang digenggam, tetapi Tenza berusaha mencegahnya.

Penglihatannya mungkin memburuk, tetapi masih cukup untuk melihat sesuatu yang sangat dekat. Dia memegangi tangan Pria itu dan menahannya agar pisau itu tidak menancap pada lehernya, sehingga adu kekuatan yang mempertaruhkan leher Tenza terjadi.

'SIAL SIAL SIAL...AKU TIDAK MAU MATI AKU TIDAK MAU MATI!!!!!' Tenza berteriak dalam hatinya, alisnya mengkerut dengan kuat dan gigi giginya saling menggertak satu sama lain.

Tenza beruntung, pukulannya yang sebelumnya telah melemahkan tangan pria itu. Tetapi bukan artinya ia cukup kuat untuk menahan kekuatannya. Pria itu menumpukan tubuhnya yang besar ke tangannya. Pisau itu semakin dekat ke leher tenza. Nafas tenza sesak, paru parunya suli untuk mengambil nafas ketika tangan pria itu menekan ke dadanya.

"ADA APA NAK? KENAPA KAU MELAWANKU? MELAWAN ORANG TUA ITU SALAH LHOO..KHAAHAHAHAAAHAAAA."

Perasaan ingin membunuh, marah, ketakutan, membenci segalanya tercampur aduk dalam pikiran Tenza. Menciptakan sebuah kekuatan untuk mempertahankan kehidupannya yang bergantung pada kedua tangannya saat ini.

"SIALANN..KAU KUAT JUGA...."

"IGGHHUGHHHHHH..." Rintih Tenza dengan nafas yang tertahan.

Pria itu menyeringai jahat, ia menarik nafas lalu membuka mulutnya. "Kalau begitu bagaimana dengan begini."

"!!??"

Pria itu dengan cepat mengangkat tangannya, membuat genggaman Tenza terhadap tangan kanan pria itu terlepas.

"Padahal aku ingin langsung membunuhmu lho!"

Dengan cepat pria itu sekali lagi melesatkan pisaunya ke arah Tenza dan Tenza berusaha untuk menahan tangannya tetapi karena licinnya tangan Tenza, tangannya gagal menggenggam tangan pria tersebut sehingga pisau tersebut menusuk tepat ditengah mata kanan Tenza.

"AAHHHHRGRGRGHRHHHHGRHGRHHKKKKKKKHHGGKK!!!" Suara jeritan yang sangat kuat, keluar dari tenggorokan tenza, Menggema dengan kuat hingga keluar. Pria itu semakin menyeringai, wajahnya tampak terlihat bergembira dengan nafas yang berat serta tak beratur.

"Ada yang berteriak!!" Ucap seseorang, terdengar oleh pria itu. terdengar samar samar, sepertinya ada orang lain yang memasuki rumah ini.

'Dug dug dug dug dug'

Suara langkah kaki mulai terdengar, bukan satu orang ataupun dua orang. Suara langkah orang lain, cukup banyak dan cepat, suaranya semakin membesar, sepertinya mereka sedang menaiki tangga. Keributan yang Tenza buat serta jeritan jeritan yang muncul telah memanggil orang lain yang tinggal di sekitar sini.

Wajahnya yang sebelumnya menyeringai, menjadi mimik wajah yang terlihat khawatir. ia memutar pandangannya ke arah tangga, dimana suara langkah kaki terdengar.

"Sial!!" Ia memalingkan wajahnya dari anak tangga menuju ke arah Tenza, mengangkat pisaunya dari mata Tenza, meninggalkan luka yang sangat dalam.

"AHRGGGKHHHHHH" Serontak teriakannya sekali lagi meninggi. Kedua tangan Tenza memegangi matanya. mata kirinya terpejam mengeluarkan air mata menahan betapa perihnya luka tusuk pisau tersebut.

Pria itu mengarahkan ujung pisaunya ke arah leher Tenza lalu menancapkannya begitu saja. Pisau itu menembus tenggorokan Tenza dan kerongkongannya, darah keluar dari sana dengan cepat.

"Selamat tinggal..."

Pria itu menghela nafas panjang, ia mengankat tubuhnya dan berdiri. Kemudian memutar tubuhnya ke belakang, dimana sudah ada sekitar 4 orang disana, sepertinya salah satu dari mereka memuntahkan makanannya. Semuanya laki laki, wajah mereka tampak menunjukan kengerian.

Pria itu melangkah pelan, mendekat kepada mereka.

"Baiklah kalian semua....MAJU DAN HADAPI AKUUU" Ia berlari lalu dengan tubuhnya yang besar menghantam mereka semua hingga jatuh dari tangga termasuk dirinya sendiri, ia tidak menggenggam pisau. pisau tersebut di biarkan begitu saja menanvap di leher Tenza.

Pria itu menginjak tubuh mereka, lalu berlari secepat cepatnya keluar dari rumah ini, kabur dari kenyataan bahwa ia telah melakukan pembunuhan. Jika tidak cepat ia akan tertangkap dan riwayatnya akan berakhir disini.

Meninggalkan Tenza dengan nafas yang sangat tipis keluar masuk ke tubuhnya. Ia sudah dalam ambang batas, hanya menunggu ajalnya tiba.

Apakah kau merasa bersalah ketika kau gagal menyelamatkan perempuan itu?

Tenza mendengar sebuah suara, entah dari mana asalnya. Dia merasa yakin bahwa suara itu berasal dari dalam kepalanya meskipun Tenza tidak tahu mengapa alasannya.

'Y..yaa.' Tenza menjawab suara yang muncul dikepalanya itu dengan pikirannya.

Memangnya siapa dia? mengapa kau sangat ingin menyelamatkannya.

'Karena..dia ad..alah tema..nk.u.' Tenza sudah hampir kehilangan kesadarannya.

Kenapa kau sangat ingin temanmu selamat?

kenapa kau sampai mempertaruhkan nyawa hanya untuk orang itu?

'T..dak....a..da.a..lasa....n.'

Kau itu benar benar aneh.

Jika diberi satu lagi kesempatan....Apakah kau ingin waktu dapat dimundurkan?

'Y..a.aa...aku berharap jika bisa memundurkan waktu...aku akan menyelamatkan temanku.'