"Entah kenapa aku membeli ini."
Sebuah tongkat sepanjang 42 inci, saat ini sedang digenggam oleh Tenza, terlihat sangat berkilau ketika Tenza menggenggamnya karena pantulan dari lampu yang terang meneranginya yang berada di ruang tamu.
"Apakah anda menyukai pertandingan olahraga Baseball tuan muda?"
Tarisa sedang menghidangkan makanan siang saat ini, ia menanyakan hal itu kepada majikannya yang sedang duduk di sofa ruang tamu sambil memegang sebuah tongkat baseball besi dengan tangan kanannya.
Tongkat base ball itu disejajarkan oleh matanya, pantulan wajahnya dapat terlihat dari tongkat besi itu. Tenza mengalihkan pandangannya, mengarah kepada perempuan yang sedang merendahkan badannya ketika sedang menghidangkan makan siang majikannya.
"Terimakasih. Aku tidak terlalu menyukainya hanya saja saat aku melihat tongkat ini, tiba tiba aku ingin memilikinya."
"Begitukah? Mungkin sebenarnya anda memiliki bakat terpendam." Kata Tanisa sambil menyuguhkan sebuah Teh hangat biasa kesukaan Tenza.
Mendengar tanggapan dari Tanisa, Tenza hanya dapat tersenyum lalu meletakan tongkat Baseball tersebut ke lantai, atau tepatnya ke atas karpet coklat dengan pola bastrak yang menghiasinya.
"Yah...semoga saja. Ngomong ngomong aku juga belum menentukan 'tujuan' ku, jadi jika aku memang memiliki bakat terpendam seperti demikian bukankah itu adalah sebuah kebetulan yang bagus?"
Tenza mengambil sepasang sendok dan garpu, bersiap untuk menyantap makanan yang telah dihidangkan oleh pembantunya tersebut. Menu makanan siang ini adalah salad buah dengan susu kental manis vanila, sebuah hidangan yang sangat cocok untuk musim panas saat ini. Sebelumnya Tenza meminta untuk membuatkannya suatu hidangan yang cocok untuk musim panas saat ini.
Tenza mengunyah makanan yang menyejukan badannya tersebut secara perlahan lahan menikmatinya dan menelannya...
"Oh ya!" Kelopak mata Tenza sedikat melebar ketika dia mengingat sesuatu.
Sontak Tenza membuat satu satunya orang yang berada dirumahnya tersebut tekejut dan bersiap mendengar segala perkataan yang akan dikatakan oleh majikannya itu.
"A.ada apa tuan muda?" Tanya pembantunya tersebut sedikit memajukan kepalanya.
"Bukankah aku sudah pernah mengatakannya, tolong jangan panggil aku dengan sebutan itu, 'Tuan muda'."
"Ahh! Maafkan saya, tolong lupakan yang tadi saya mohon."
Tanisa terkejut, lalu meminta maaf kepada Tenza sambil menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya yang selalu lupa itu.
"Ngomong ngomong Tu.Tenza, ada apa dengan wajah anda?" Sepertinya lidah Tanisa sedikit tergigit saat salah berbicara.
Tanisa mengangkat tangan kanannya, mengarahkan jari telunjuknya kearah wajah Tenza, yang dimana kelopak mata kirinya benar benar hitam memar akibat pukulan dari anak berkulit hitam itu.
"Itu adalah peringatan pertama dan terakhir."
Kata kata yang pernah diucapkan oleh Temannya itu terpampang jelas dalam ingatan Tenza.
"Jangan Pernah Berbicara Denganku Lagi. Diantara Mereka Semua, Kaulah Yang Paling Menggangguku. Jangan Pernah Berbicara Denganku Lagi Jika Kau Tidak Ingin Dibunuh Oleh Tanganku."
"Ahh...itu.." Tenza mencoba untuk menyentuh bagian kiri wajahnya tersebut, akan tetapi dengan cepat Terisa menahan tangan Tenza.
"Sebaiknya jangan terlalu sering menyentuh luka."
Tenza sedikit terkejut, dia mendengar apa yang dikatakan oleh perempuan yang lebih tua darinya, lalu mengangguk seakan mengatakan bahwa dirinya mengerti dan tidak akan pernah menyentuh lukanya itu.
"Apakah ini sangat parah?" Tanya Tenza, sejujurnya Tenza belum melihat wajahnya yang sebelumnya terkena pukulan keras pada wajahnya oleh Chad.
"Anda tidak tahu kalau wajah anda terluka separah ini?" Wajahnya tampak seperti sedang keheranan dengan Tenza. Tenza sedikit mengangkat wajahnya ke atas langit langit, mengingat kejadian baru baru ini.
"Sebelumnya, ketika aku membeli tongkat base ball ini, kasir menatapku dengan cara tatapan yang aneh." Mata Tenza sedikit meruncing ketika mengatakan kalimaat terakhir. "Mungkin karena wajahku lebam, apakah separah itu? apakah aku harus pergi ke dokter?" Tanya Tenza, ia kembali mengarahkan wajahnya kepada lawan bicaranya.
"Maafkan saya tu.Tenza, sebelumnya saya belum pernah menangani hal seperti ini. Tetapi saya akan mencoba untuk membasahi kain dengan air dingin lalu mengompresnya."
Tanisa bergerak, melangkah dengan secepatnya namun tetap berhati hati karena ini adalah rumah majikannya, mengambil beberapa batu es dalam Freezer lalu memasukannya kedalam mangkok. Kemudian Tanisa menuangkan air bersih kedalam mangkok berisi es tersebut lalu diredamnya sebuah kain bersih dan mengompresnya agar air tidak menetes dari kain tersebut.
"Ah..Terimakasih tapi biar aku yang mengompresnya sendiri."
Tenza mengambil kain kompresan tersebut lalu menempelkannya kepada matanya.
"Setelah ini saya akan pergi ke toko untuk membeli obat Paracetamol untuk anda sebentar."
"Ah yang itu juga terimakasih."
***
"Aku tidak yakin dengan cuaca malam ini, tetapi bukankah ini cukup dingin dan berangin?"
Tenza melihat keatas langit malam melalui jendelanya yang ia buka. Mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan dan kepalanya berada diluar jendela agar dia dapat melihat jelas keadaan langit malam saat ini. Tangannya memegang bawah frame jendela, berhati hati agar tidak jatuh dari lantai dua.
Tidak tampak bulan di atas sana yang ada hanyalah sebuah pemandangan hitam gelap layaknya langit malam berawan biasa.
Saat ini Tenza sedang berada dikamarnya. Udara yang dingin dari luar serta AC yang ada dikamar ini membuat kamar dari anak itu semakin dingin saja. Tenza mencoba untuk membesarkan suhu ACnya menggunakan remote AC sekitar 1 jam yang lalu.
Sebelumnya Tenza nerasa shock ketika dia melihat betapa buruk rupanya saat ini, Tenza telah mengganggu Chad sehingga wajahnya menjadi lebam seperti saat ini. Jika ia tidak mengganggunya, maka penglihatan mata kirinya tidak akan seburuk seperti sekarang.
Tenza menutup jendela kamarnya, lalu mengambil sebuah tongkat Baseball yang berada didekat lemari kecil tempat tidurnya, tongkat base ball tersebut Tenza buat agar dapat berdiri dengan cara menyandarkannya ke lemari kecil yang ada didekatnya.
Saat ini, Tenza sedang duduk di atas kasurnya yang sangat empuk, kedua tangannya menggenggam erat sebuah Tongkat Baseball yang lumayan panjang. Dirinya bersiap siap menerima tamu yang tidak diundang yang ingin membunuhnya tersebut.
'Memangnya kenapa kau ingin membunuhku haa?' Kata Tenza yang sejujurnya dirinya benar benar ketakutan ketika dia mengetahui dirinya akan dibunuh malam ini.
'Jika di ingat ingat lagi...'
Tenza menggerakan otaknya, melihat kembali ke rekaman kejadian yang sempat terputus sebelumnya.
'Entah kenapa aku berlari dari luar rumah dan masuk dengan tergesa gesa. Apakah saat itu aku dikejar?' Kata Tenza yang menanyakan hal tersebut kepada dirinya.
'Apakah aku terlibat masalah oleh orang lain diluar sana?'
Tenza mencoba untuk mencoba mencari jawaban dari segala permasalahan ini dengan intuisinya yang seadanya. Sekarang adalah pukul 11.03, yang artinya Tenza telah menyia nyiakan waktu tidurnya yang sangat berharga demi menyelamatkan dirinya dari pembunuhan yang tidak jelas alasannya.
Sebelumnya Tenza telah mengatakan kepada Tarisa tentang dirinya yang akan pergi jalan jalan bersama teman temannya ke ETP. yang artinya Tarisa tidak perlu menyiapkan makan malam untuk besok dan dia dapat pulang lebih cepat ke rumah.
Sekali lagi Tenza mencoba mengingat ngingat hal hal apa saja yang telah terjadi sebelumnya. Otak Tenza merekam dan mengingat hampir semua hal hal yang telah terjadi hari ini lalu memutarnya seperti sedang melihat rekaman video antik dari tahun 19an.
'....akan kubunuh kau dengan tangan ini.'
Seorang laki laki dengan kulit hitam tersebut terpampang jelas dalam ingatanya lagi. Tentu saja dapat terpampang jelas, karena dia telah memberikan kepada Tenza sebuah trauma dari benda tumpul yang melesat dengan cepat dan menghantam tepat pada wajahnya.
'Apakah Chad yang membunuhku?' Pikir Tenza ketika dia mengingat orang yang telah memberikan luka pada mata kirinya.
Tenza berusaha untuk menyatukan puzzle puzzle ini walaupun potongan potongan yang hilang masihlah cukup banyak dan belum bisa disimpulkan. Akan tetapi Tenza tidak memiliki waktu, mengingat dirinya yang akan dibunuh kira kira tengah malam ini.
Tenza sekali lagi menguatkan genggamannya sekuat tekadnya untuk bertahan hidup terhadap tongkat Baseball besi itu dan menyimpulkan segala hal yang mungkin dapat terjadi. Ketika dirinya mencari jawaban yang tepat tentang masalah ini, Tenza mendapatkan sebuah tanda tanya besar di kepalanya.
"Kenapa aku pergi keluar saat itu?"
Itulah pertanyaannya, Tenza berusaha memutar otaknya dengan lebih kuat, berharap dia dapat menyimpulkan segala kemungkinan kemungkinan. Tetapi pada akhirnya dia tidak dapat menemukan jawaban yang pasti.
'Seandainya ingatanku kembali berjalan tanpa menjadi samar samar ditengahnya, ditambah rekaman kejadian yang terakhir ini tidak terlalu jelas suaranya.'
Keluh Tenza terhadap keadaannya saat ini, Tenza mulai meyerah tentang keadaanya. Tenza mencoba untuk mencari alasan kenapa dia pergi keluar saat itu.
'Lagi pula kenapa ada seseorang yang masih terbangun dan berkeliaran ditengah malam seperti ini?' Pikir Tenza.
Tangan Tenza sudah mulai lelah menggenggap erat tongkat baseball besi itu. Tenza meletakan tongkat tersebut dan menyandarkannya pada lemari kecil yang ada didekatnya kembali.
Kaki Tenza yang sebelumnya menapaki lantai yang dingin sekarang sudah diangkat dan menyilangkannya diatas kasur empuk yang ia duduki. Tenza menyilangkan tangannya, menutup matanya lalu mencoba untuk berfikir lebih keras dari sebelumnya.
'Jika misalnya aku mempunyai masalah dengan seseorang yang ada diluar dan orang tersebut ingin membunuhku, maka....'
Tenza mencoba menyimpulkan apa yang dapat dia simpulkan dengan otak kecilnya.
'...bukankah artinya jika aku tidak pergi keluar maka aku tidak mendapatkan masalah dan aku tidak jadi untuk dibunuh?....jika seperti itu, bukankah posisiku saat ini adalah dalam keadaan yang aman?'
Itulah yang dapat disimpulkan oleh Tenza. Entah kenapa dirinya merasa puas dengan kesimpulan yang dia buat. Tenza tidak mengetahui alasan dia pergi keluar, tetapi jika saat ini dia pergi keluar lalu bertemu dengan seseorang dan mendapatkan masalah oleh orang tersebut...
'Mungkinkah orang yang membunuhku itu adalah Chad?'
Pikir Tenza yang mencoba untuk mencari tahu siapakah pelakunya.
'Mungkin saat aku pergi keluar dan bertemu dengan Chad... lalu tidak sengaja aku menyapanya dan dia tersinggung lalu membunuhku...kemungkinan itu sepertinya dapat dipertaruhkan.'
Akhirnya Tenza menyimpulkan kejadian yang pembunuhan tersebut secara demikian, meninggalkan sebuah pertanyaan lain seperti mengapa Chad pergi keluar tengah malam seperti ini dan mengapa dia membawa senjata tajam dan membunuh Tenza dengan cara merobek lehernya.
Tetapi Tenza mengabaikannya dan berpura pura bahwa dia tidak mengetahui akan dibunuh tengah malam ini dan tertidur dengan nyenyak.
Tenza mencoba untuk merebahkan badannya, mengambil selimut yang berada di dekat kakinya dan menyelimuti badan kurusnya.
Beberapa saat Tenza merebahkan badannya, tiba tiba ia membuka matnya dan mendecitkan lidahnya. Otak Tenza memerintahkan tubuhnya untuk bangun dan berdiri dari tempat tidurnya yang empuk. Kakinya melangkah sedikit demi sedikit keluar kamar dengan mata yang setengah tertutup, menuju ke kamar mandi yang ada di lantai bawah.
Setelah Tenza keluar dari kamar mandi untuk buang air, Tenza berjalan kembali kearah Kamar tidurnya. menaiki tangga untuk menuju lantai kedua dan berjalan dilorong lalu menuju kamar tidurnya yang berada di sebelah kirinya.
Rasa kantuk berat membebani kepalanya ditambah deengan efek jetlag yang belum kian hilang. Tenza berjalan dari pintu kamar tidur menuju ke tempat tidurnya.
"UGhh."
Tenza terkejut. Tongkat baseball yang dia sandarkan pada lemari kecil itu terjatuh. Kuku kaki kelingking kirinya tertendang lemari kecil yang terbuat dari kayu. Rasa sakit pada jari kelingking kakinya tersebut merambat hingga ke perut Tenza, memberikan Tenza rasa sakit yang amat terasa sakit.
Tenza mencoba untuk berjalan dengan melompat lompat dengan kaki kirinya yang dia angkat sedikit, berhati hati pada tongkat Baseball yang tergeletak di lantai yang dingin agar tidak tergelincir dan mencederai tubuhnya. Tenza mencoba untuk duduk lalu mengangkat kaki kirinya dan menjadikan paha kanannnya sebagai pangkuan untuk kaki kirinya. Tidak ada luka yang tampak pada kaki kirinya namunrasa sakitnya tidak membuat Tenza merasa legah.
"Ughh.."
Kepala Tenza tiba tiba mendengung. Tenza memegangi kepalanya dengan tangan kirinya lalu berhati hati menekannya karena mata kirinya yang hitam lebam.
'!!!'
Mulut Tenza terbuka, Tenza terkejut dengan apa yang sedang dialami kepalanya. Sebuah rekaman kejadian yang belum dia lihat sebelumnya muncul beserta dengan suara yang dapat dia dengar di dalam kepalanya membuat sakit pada jari kelingking di kaki kirinya tidak terasa lagi karena terabaikan.
'TOL..BZZZTTTT'
'Ren...a?'
'AG..HKK...'
Sebuah rekaman kejadian muncul di saat saat seperti ini, tidak terlalu jelas tetapi cukup bagi Tenza untu mengerti alur ceritanya. Badan Tenza merinding, Tenza memeluk badannya dengan kedua tangannya berharap kedua tangannya tersebut dapat menghentikan rasa merinding yang hebat tersebut.
'Rei..?BZZzzTTT..REINAAA!?'
"Ahhh!!!"
'REINAAA KAU tidak apa apa?...DIMA...AGGHHH!!!!!!!!!!!!'
Tenza terkejut matanya melotot, mulutnya ternganga dan wajahnya menegang setegang tegangnya. Tenza berusaha berdiri, hormon adrenalin mengabaikan rasa sakit pada kaki kirinya lalu mengambil tongkat Baseball yang dingin karena AC di ruangan ini yang tergeletak di atas lantai yang dingin pula. Menggenggam erat sekali lagi tongkat Baseball besi tersebut seerat eratnya.
"I..Ini bohong kan?"
"TOLONGGG!!!" Suara teriakan keras dengan nada tinggi khas perempuan terdengar dari arah samping rumah Tenza. Tenza dapat mendengarnya, menghadapkan wajahnya kearah sumber suara. Dari suaranya Tenza tahu siapa orang yang berteriak tersebut.
"Itu suara Reina bukan?"
Tenza mengangkat tongkatnya sejajar dengan tubuhnya yang menegang tidak menyangka dengan kebenaran yang sedang dia hadapi.
"AAAAAHGKKKKKKK"
Tenza membeku ditempatnya berdiri ketika dia mendengar suara jeritan itu.
"Ini bohong bukan?" Keringat bercucuran pada tubuh Tenza, mengalir melewati pipi Tenza dan dagunya lalu menetes. Tenza membeku sejenak, dengan sigap Tenza berlari keluar dari kamar tidurnya lalu melewati lorong pada lantai dua ini dan menuruni tangga. Tenza melewati dapur dan berlari menuju pintu putih yang dapat dia lihat.
"AGHH Pintu SIALAAN."
Tenza tertabrak oleh pintu putih yang dimana disanalah tempat dia biasanya keluar, Tenza lupa bahwa pintu keluar rumahnya itu terkunci, dengan cepat dia memutar kunci pintu putih tersebut agar terbuka dan berlari menuju pagar hitam yang ada didepannya.
Tentu saja pagar hitam tersebut terkunci juga. Tenza merasa menyesal karena dirinya tidak pernah ingat dengan kunci pagarnya yang ada pada tumpukan kunci yang sedang dia pegang. Kedua tangannya bergetar hebat, keringat muncul pada kulit kedua telapak tangannya. Tenza harus menahan getaran serta licinnya tangan akibat keringatnya itu agar dia dapat dengan cepat membuka pagar hitam yang ada di hadapannya ini.
"SIALLL..JIKA BEGIINI...REINA AKAN TERBUNUH!!!"
Keringat bercucuran, air mata Tenza mengalir berharap Teman pertamanya itu dapat ia selamatkan.