Clareta terdiam saat gelak tawa merambat ke seluruh ruangan. Dia menoleh menatap Daniel yang wajahnya sudah berubah drastis.
"Ayah, jangan membuat Daniel malu!" desis Clareta kepada Harris yang terlihat tidak terganggu dengan respons para relasinya terhadap apa yang Daniel ucapkan.
"Ayah kan cuma bertanya dan Daniel menjawab," kilah Harris. "Di mana salahnya?"
Clareta tidak menanggapi, sebagai gantinya dia menoleh memandang Daniel lagi untuk meyakinkannya bahwa semua baik-baik saja.
"Dan, aku sangat menghargai kesetiaan dan cinta kamu," kata Clareta yang berusaha membesarkan hati Daniel di tengah puluhan pasang mata yang menatapnya dengan menghujam.
"Aku tahu," angguk Daniel pelan.
Harris menatap putri dan karyawannya bergantian.
"Clareta, ayah rasa inilah saatnya kamu membuka mata. Seharusnya kamu bisa menilai mana yang nampak dan yang tidak," kata Harris. "Kalau Daniel hanya mampu memberi kamu cinta dan kesetiaan, maka laki-laki yang ayah pilih ini bisa memberimu segalanya."
Clareta menggelengkan kepalanya dan segera merapat ke samping Daniel.
"Aku cuma menyukai Daniel, Yah." Dia berkata terus terang. "Tolong restui kami ..."
"Tidak," sahut Harris tegas. "Ayah harus membuka mata kamu yang mulai dibutakan cinta."
Daniel menunggu dengan kedua tangan terkepal sementara Harris nampak menyuruh tangan kanannya untuk memanggil seseorang.
Lalu, muncullah pria itu. Seorang pria dewasa muda dengan setelas jas mahal dan sepatu pantofel yang seolah mampu menggetarkan lantai di mana Daniel sedang berpijak.
"Nah Clareta, kenalkan. Dia adalah salah satu putra dari rekan bisnis ayah dan sudah menjabat sebagai CEO cerdas di perusahaan paling bergengsi di negeri ini." Harris menyambut laki-laki di depannya dengan sikap kebapakan, sangat berbanding terbalik ketika dia memperlakukan Daniel yang hanya karyawan bawahannya.
"Halo, Clareta?" sapa pria muda itu.
Daniel menoleh dan membelalakkan matanya ketika melihat siapa pria yang begitu dibangga-banggakan oleh Harris.
"Kamu ..." ucapan Daniel terhenti di kerongkongan ketika mendapati sahabatnya yang bernama Vico kini tengah berdiri di samping Harris dan wajahnya begitu bersinar.
Seakan dia adalah seorang bintang yang paling memukau malam ini.
"Hai Dan?" sapa Vico seperti tidak sedang terjadi apa-apa.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Daniel ingin tahu.
"Tentu saja dia di sini untung memenuhi undangan saya," jawab Harris sebelum Vico membuka mulutnya.
"Ayah, lalu untuk apa Ayah memanggilnya sampai ke sini?" tuntut Clareta. "Ini hanya tentang aku dan Daniel, Yah."
Tanpa Harris menjawab pertanyaan putrinya pun Daniel sudah bisa menduga apa tujuan sang bos mengundangnya ikut perjamuan makan malam.
"Clareta, malam ini dengan disaksikan banyak orang, kamu akan ayah jodohkan dengan Vico." Harris menjelaskan dengan nada kalem.
Namun, efeknya begitu sangat dahsyat untuk Clareta maupun Daniel sendiri.
"Dijodohkan?" ulang Clareta tidak percaya. "Tapi aku hanya mencintai Daniel, Yah ... Aku nggak mau dijodohkan sama pria lain."
Daniel melirik Vico dengan nada meminta pertanggungjawaban. Wajar saja Daniel merasa ditikam dari belakang, Vico adalah sahabat baiknya dan dia tega masuk di tengah-tengah dirinya dan Clareta.
"Vico lebih baik daripada Daniel," tegas Harris, sementara tatapan seluruh tamu mulai terfokus dengan kejadian di depan mata mereka.
"Tapi, Yah ..."
Clareta berusaha mencari alasan untuk menemukan pebandingan antara Daniel dan Vico yang sayangnya memang begitu jauh layaknya langit dan bumi.
"Vico ini sudah mapan," ujar Harris. "Kamu tidak akan kekurangan apa pun kalau menikah sama dia. Ayah tentunya tidak ingin kamu melepas status lajangmu kepada sembarang pria yang tidak punya masa depan jelas."
"Maaf Tuan," sela Daniel, langsung bereaksi. "Saya rasa tidak ada seorangpun yang bisa menebak dengan pasti masa depan dirinya sendiri, apalagi masa depan orang lain."
Harris menoleh memandang Daniel, dia tentu tidak ingin kehilangan muka di hadapan semua relasi bisnisnya yang berdatangan.
"Mungkin kamu benar, anak muda. Tapi hanya saya yang tahu bagaimana masa depan putri saya" kata Harris dingin. "kalau dia sampai memilihmu untuk menjadi pendamping hidupnya."
Daniel semakin mengeratkan kepalan tangannya.
"Pikirkan ini, Clareta. Ayah percaya kalau kamu tidak keberatan untuk hidup susah bersama orang kamu cintai," ujar Harris sambil memandang putri semata wayangnya. "Tapi apa anak kamu sanggup? Kamu tega saat dia menjerit kelaparan, sementara kamu hanya bisa memberinya makan dengan cinta dan kesetiaan?" tanya Harris menantang.
Clareta terdiam bisu, kemudian memandang Daniel yang tidak bicara sepatah katapun.
"Kamu pikir anak kamu akan kenyang hanya dengan makan cinta?" cecar Harris lagi. "Bagaimana dengan sekolahnya? Kebutuhannya?"
Ini sudah keterlaluan, batin Daniel berang.
"Maaf Tuan, serendah-rendahnya, saya juga bekerja." Dia menepis hinaan Harris. "Saya bukanlah pemuda pengangguran. Jika Nona Clareta memilih saya sebagai pendamping hidupnya, bukan berarti kami akan melangsungkan pernikahan esok hari tanpa persiapan apa pun ...."
"Jangan lancang kamu," potong Harris sambil memandang tajam Daniel tajam. "Memangnya saya akan mengizinkan putri saya menikah sama kamu?"
Gumaman mulai merambat dari para tamu yang kasak-kusuk mengomentari apa yang sedang terjadi di depan mereka.
"Vico, apa kamu bersedia saya jodohkan dengan putri saya Clareta?" tanya Harris, seolah tidak memedulikan Daniel yang masih berdiri di tempat yang sama dengan mereka.
Sementara itu Daniel memandang Vico dengan tajam, berharap dia menunjukkan kesetiaannya sebagai seorang sahabat di saat seperti ini.
Namun, harapannya sia-sia belaka. Vico bahkan dengan terang-terangan menganggukkan kepalanya dengan sadar dan bangga menerima perjodohan ini.
Sekarang harapan satu-satunya Daniel ada di tangan Clareta.
"Pikirkan ini, Sayang." Harris memandang putrinya dengan pandangan melunak. "Jangan egois, ini juga demi anak kamu kelak agar hidupnya tidak kekurangan."
Clareta tidak segera menjawab pertanyaan ayahnya, melainkan dia melangkah mendekati Daniel dan berdiri di hadapannya.
"Dan?" panggilnya dengan suara bergetar. "Berjanjilah sama aku, kamu akan segera sukses dan akan datang melamarku."
Daniel berdiri diam dan balas memandang Clareta dengan tak berdaya.
"Kamu minta aku untuk sukses demi kamu?" kata Daniel setelah beberapa saat terdiam. "Lalu apa yang akan kamu berikan untuk aku?"
Clareta tidak segera menjawab.
Tidak ingin putrinya semakin bingung, Harris memutuskan untuk mengambil tindakan tegas.
"Clareta, ayah tunggu jawaban kamu sekarang." Dia memberikan titahnya.
Clareta memandang Daniel sekali lagi sambil menggigit bibir bawahnya dengan kalut.
"Untuk sementara aku ... aku akan ikut ayahku," ucap Clareta dengan berat hati.
"Apa? Jadi kamu memilih Vico?" tanya Daniel tidak percaya. "Dia itu sahabatku sendiri, dia bahkan yang meminjamkan setelan jas ini untuk aku. Tapi ... ternyata begini cara kalian mengkhianatiku?"
Daniel memandang Clareta dan Vico bergantian.
"Maaf Dan, hidup ini memang keras." Vico beralasan sambil membalas pandangan Daniel. "Aku juga sudah kerja keras untuk momen ini."
Harris kelihatan senang dengan apa yang dia saksikan di depannya, meskipun di saat yang sama hati Daniel tercabik-cabik karenanya.
Bersambung –