Chereads / My: Second Life / Chapter 3 - Keputusan Clareta

Chapter 3 - Keputusan Clareta

Namun begitu, Daniel tetap percaya dengan kesetiaan Clareta kepadanya.

"Jadi bagaimana, Sayang?" tanya Harris sambil menatap putrinya. "Kamu sudah dewasa, jadi semestinya kamu bisa mengambil keputusan dengan benar.

Clareta memandang Daniel sekali lagi dan untuk terakhir kalinya.

"Aku tetap percaya kalau kamu bisa sukses nantinya," kata Clareta sungguh-sungguh. "Saat itu kembalilah, aku selalu menunggu kamu."

Kedua tangan Daniel terkepal semakin erat, dia masih yakin jika Clareta akan setia kepadanya.

"Aku akan menunggu kamu," ucap Clareta lagi, setelah itu dengan sampai hati dia berbalik pergi dari hadapan Daniel dan meninggalkannya di hadapan para tamu sendirian.

Harris mengembangkan senyumnya ketika melihat Clareta mendatanginya dan Vico yang berada di sampingnya.

"Ayah senang kamu mengambil keputusan yang tepat," sambut Harris gembira, kemudian dia menoleh memandang Vico yang berdiri di sampingnya. "Apa kamu siap meminang putriku sekarang?"

Vico nampak terkejut mendengarnya.

"Secepat ini, Pak?" katanya sambil mengernyit.

"Kenapa tidak?" sahut Harris ringan, seringan dia menghina Daniel dan kehidupannya yang miskin. "Lebih cepat lebih baik."

Kemudian seakan tidak melihat keberadaan Daniel di sana, Harris memimpin sendiri acara pertunangan putri semata wayangnya dengan Vico yang tidak lain adalah sahabat dekat Daniel.

Sementara itu Clareta tidak mengira jika dia telah dijodohkan betulan oleh ayahnya, dia pikir itu hanyalah sebagai formalitas di hadapan seluruh para tamu undangan ayahnya yang merupakan relasi penting.

Setelah kejadian itu, Clareta tidak lagi melihat Daniel datang untuk mengembalikan mobil perusahaan ke rumahnya. Sudah berulang kali dia mencoba mengontak ponsel Daniel, tapi tidak pernah tersambung lagi.

"Yah, apa Daniel tidak masuk kerja?" tanya Clareta yang memberanikan diri bertanya kepada Harris di saat rasa ingin tahu mulai mengusik pikirannya.

"Menurut kamu?" tanya Harris balik. "Apa Daniel masih punya muka untuk tetap bekerja di kantor ayah?"

Clareta terdiam sebentar.

"Ayah keterlaluan," katanya kemudian.

"Sudahlah Clareta, lebih baik kamu persiapkan diri untuk segera menikah dengan Vico." Harris menatap tajam Clareta.

"Enggak Yah, malam itu aku mau-mau saja ditunangkan sama Vico hanya semata-mata karena aku menjaga nama baik Ayah." Clareta menjelaskan. "Bukan berarti aku benar-benar setuju untuk menikah sama Vico."

"Clareta!" tegur Harris tegas.

"Aku nggak mencintai Vico sama sekali," ungkap Clareta jujur. "Aku cuma mencintai Daniel, Yah ..."

"Cukup," potong Harris dengan nada tidak ingin dibantah. "Bukankah malam itu kamu sudah mengambil keputusan dan bersedia ayah jodohkan dengan Vico di hadapan para tamu ayah? Bahkan Daniel sendiri juga menjadi saksi atas pertunangan kamu dengan Vico."

Clareta sukses terdiam saat mendengar ucapan ayahnya. Dia tentu saja tidak akan pernah lupa bagaimana Harris memperlakukan orang yang dicintainya dengan cara yang sangat tidak manusiawi.

"Aku tetap nggak mau menikah sama Vico, Yah." Clareta memohon dengan sangat. "Yang Ayah inginkan hanyalah meminta Daniel sukses dulu sebelum melamarku, kan? Jadi tolong tunggulah sebentar saja ..."

"Omong kosong," sela Harris tidak percaya. "Saat ini saja kamu bahkan tidak tahu di mana Daniel berada, kan? Lalu bagaimana caranya kamu bisa yakin bahwa nantinya dia akan bisa sesukses yang kamu bayangkan?"

Clareta terdiam.

"Ayah tidak mau tahu," lanjut Harris. "Beberapa bulan lagi kamu harus menikah dengan Vico, kalau perlu ayah akan meminta keluarganya untuk melamar kamu secara resmi."

Clareta menatap ayahnya dengan tidak percaya.

"Apa begini cara Ayah mengatur hidup aku?" tanyanya dengan mata mengkristal bening. "Ayah tega menikahkanku dengan orang yang nggak aku cintai?"

Harris balas menatap mata putrinya dengan lebih tegas.

"Cinta akan datang dengan sendirinya setelah kamu menikah dengan Vico," katanya datar. "Ayah sudah tahu latar belakang keluarga Vico termasuk saudara-saudaranya, jadi ..."

"Terserah Ayah, yang pasti aku nggak peduli sama semua itu." Clareta memotong ucapan Harris dan memilih pergi dari hadapannya saat itu juga.

***

Beberapa bulan berlalu tanpa adanya kabar dari Daniel membuat hati Clareta merasa putus asa, seakan dia sedang mencari satu batang jarum kecil di antara tumpukan jerami.

"Apa kamu belum bisa menemukan di mana Daniel berada?" tanya Clareta kepada asisten pribadinya yang bernama Reyfa.

"Saya sudah berusaha mencari informasi tentang Daniel, bahkan sampai ke kampusnya." Reyfa menjelaskan. "Setelah wisuda itu, Daniel sudah tidak pernah muncul lagi di rumah kontrakannya."

"Nomor ponselnya bahkan sudah nggak aktif lagi," keluh Clareta. "Bagaimana ini, Rey ... aku bahkan mau dinikahkan paksa oleh ayahku, sedangkan aku belum juga bisa menemukan Daniel."

Reyfa tidak tahu harus menanggapi bagaimana.

"Jangan seperti ini," tegur Mervia, ibunda Clareta kepada Harris. "Anak kita itu juga berhak menentukan arah hidupnya sendiri, apalagi dia sudah dewasa."

Harris mengangkat secangkir teh yang disajikan Mervia untuknya.

"Kamu tidak akan mengerti," kata Harris tenang. "Keturunan yang baik harus dimulai sedini mungkin, dan itu bisa kita usahakan dengan mencarikan jodoh yang sepadan untuk anak kita."

Mervia menghela napas.

"Tapi anak kita adalah seorang wanita," ucapnya dengan wajah muram. "Kalau dia tidak bahagia dan bercerai, selanjutnya dia akan menyandang status janda. Apa itu yang kamu harapkan?"

Harris meminum sedikit teh hangatnya, setelah itu dia menoleh memandang sang istri.

"Tidak, kalau dia bisa belajar mencintai Vico seperti dia mencintai Daniel." Harris menegaskan. "Biarkan dia mencoba untuk belajar mencintai orang lain, terlebih kalau pria itu jauh lebih baik daripada Daniel."

"Itu kan menurutmu," sahut Mervia. "Bagi Clareta, jelas Daniel-lah yang paling baik. Masa depan anak kita jangan kamu buat percobaan, Harris."

Bukan Harris namanya kalau dia langsung menyerah kalah terhadap ucapan Mervia.

"Apa kamu tidak lihat Clareta terus mencari keberadaan Daniel seperti orang kebingungan?" tanya Mervia lagi.

"Sudahlah, kamu harus percaya padaku. Keputusan ini adalah yang terbaik untuk masa depan anak kita," pungkas Harris, dan Mervia tidak kuasa untuk membantahnya lagi.

Harris rupanya membuktikan ucapannya dengan menggelar acara lamaran resmi besar-besaran hingga beritanya tersebar ke seluruh negeri. Hal itu sangat membuat hati Clareta semakin dirundung mendung keputusasaan, hingga ingin sekali rasanya dia mengakhiri hidupnya detik itu juga.

"Ibu!" Clareta merangsek maju memeluk Mervia sebelum acara lamaran resmi itu dimulai. "Aku nggak mau menikah sama Vico ..."

Mervia mengusap kepala putrinya dengan penuh sayang, tapi dia tidak kuasa untuk membatalkan acara lamaran itu. Sama saja artinya dia membantah ucapan Harris dan hukuman berat bisa menantinya.

"Sayang, semua pasti akan baik-baik saja ..." ucap Mervia sepenuh hati. "Untuk saat ini, tidak ada yang bisa kamu lakukan selain menerima keadaan kamu sekarang."

Clareta mengerjabkan kedua matanya yang basah, dia benar-benar ingin melenyapkan diri saja kalau dia mampu.

Namun, rengekan seperti apa pun bentuknya tidak akan cukup mampu untuk membuat Harris menarik kembali ucapannya dan lamaran resmi itu akhirnya tetap dilangsungkan.

Bersambung –