"Putri Artha! Aku mohon berhenti! Aku mulai lelah!"
Seorang bocah perempuan berusia tujuh tahun berlarian diikuti bocah laki-laki yang tampak seumuran dengannya. Keduanya berasal dari kalangan keluarga bangsawan, terlihat dari setelan pakaian berkilauan yang dikenakan keduanya.
"Haha coba saja kejar aku kalau bisa!" Sang perempuan lari semakin cepat. Si laki-laki tampak kelelahan pun tak juga ingin kalah.
"Permisi Tuan Pangeran Josh dan Putri Artha, hamba diperintahkan untuk memberitahukan kepada Anda sekalian bahwa jamuan makan akan segera dimulai dan Yang Mulia diharapkan untuk segera bergabung." Seorang wanita paruh baya dengan pakaian khas emban berjalan tertunduk-tunduk sembari menghampiri dua anak itu. Keduanya berhenti berlari lalu salah satunya berdecak sebal.
"Aku benar-benar tidak menyukai acara ini, sangat membosankan. Apalagi saat para orang dewasa itu berbicara. Sebenarnya mereka membicarakan apa sih?" ucap Josh—si bocah laki-laki. Artha—si perempuan—hanya tertawa pelan.
"Ayo kita kesana, atau Ayahmu dan Ayahku akan murka."
Josh menghela napas berat lalu berjalan menghampiri Artha. Keduanya berjalan beriringan diikuti si emban.
"Setelah ini, apa kamu mau main denganku lagi? Kemarin Ayah membelikanku sepasang boneka pengantin dari Arab." Artha berucap sambil menatap ujung kakinya yang dibalut sepatu cantik. "Jika kamu mau, aku akan memberikan boneka laki-lakinya padamu."
"Apa kamu serius dengan perkataanmu? Mana mungkin laki-laki sejati sepertiku bermain boneka," cibir Josh.
"Tapi 'kan aku memberikan boneka laki-laki, bukan yang perempuan."
"Ya ya baiklah, aku akan menerimanya. Ayahku berkata sebaiknya aku mengiyakan saja apa yang dikatakan perempuan agar tidak terjadi masalah." Josh mendesah. Artha hanya memutar bola matanya, sama sekali tidak mengerti dengan perkataan Josh.
°°
Suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring-piring keramik bergema ke seluruh ruangan. Suaranya berbaur dengan obrolan-obrolan yang dilontarkan manusia-manusia yang ada di dalamnya. Sesekali tawa menyela menimpali lelucon yang diucapkan salah satunya.
Josh benar, acara jamuan ini benar-benar membosankan. Sedari tadi Artha bersusah-payah menahan diri untuk tidak menguap.
"Oh iya, bagaimana rencana perdaganganmu, Reitz?" tanya Kris—ayah Artha. Ia dan Reitz sudah menjadi sahabat sejak kecil, dan hubungannya terus berlanjut hingga keduanya sudah menjadi pemimpin kerajaan masing-masing—Kris memimpin Kerajaan Ales dan Reitz memimpin Kerajaan Terra. Kedua kerajaan ini juga berdiplomasi dan bekerjasama di berbagai bidang, yang membuat wilayah keduanya sama-sama makmur.
"Rencananya aku akan berlayar ke daerah Asia terlebih dahulu. Aku dengar di sana terdapat banyak rempah-rempah."
"Kamu benar. Salah satu pedagang dari kerajaanku juga berkata demikian. Komoditi perdagangan di sana cukup banyak dan cukup mahal, terlebih orang-orang di sana sangat ramah."
"Kak, aku sangat mengantuk. Kapan ini akan berakhir?" keluh Artha kepada kakaknya—Mendes. Laki-laki itu hanya mendengus lalu membelai surai gadis itu dengan lembut.
"Mungkin masih lama."
"Astaga, aku bosan Kak!" protesnya dengan suara rendah. Mendes menaruh telunjuknya di depan bibirnya, mengisyaratkan Artha untuk diam.
"Ah iya, bagaimana dengan rencana perjodohan Artha dan Josh?" Suara Kris yang sedikit dibuat nyaring menginterupsi kedua bersaudara itu. Mata tajamnya menyoroti keduanya, mencoba berbicara lewat isyarat mata. "Aku ingin tahu kelanjutan dari rencana ini."
"Itu rencana yang bagus, kita akan melanjutkannya. Kalau Artha dan Josh menikah nanti, kekuatan masing-masing dari kerajaan kita akan bertambah. Itu akan bagus."
Artha terdiam mendengar percakapan dua pria dewasa itu. Mereka membicarakan tentang pernikahan; sesuatu yang tidak dimengerti olehnya
"Wah, jika nanti Artha dan Josh menikah, aku akan sangat senang. Aku akan memberikan pakaian-pakaian cantik dan bagus untuk Artha," timpal Xenna—istri Reitz. Semenjak pembicaraan tentang pernikahan kedua bocah itu, wajahnya tampak antusias.
"Pakaian cantik? Apakah seperti yang pakaian boneka ini?" tanya Artha sambil menunjuk sepasang boneka pengantin yang sedari tadi dipeluknya. "Apa nanti Josh juga memakai pakaian seperti ini?"
"Iya, Sayang. Bahkan jauh lebih bagus."
Mata bulat Artha berbinar-binar saking senangnya. Ia membayangkan pesta pernikahan yang super megah dengan dirinya yang dibalut gaun pengantin yang indah, dan juga Josh yang tampil gagah dengan jas hitam mengkilap. Pasti rasanya sangat menyenangkan.
"Lalu, kapan pernikahannya?" tanyanya lagi. "Apa besok?"
Tawa menggema setelah Artha melontarkan pertanyaannya. Satu-satunya yang tidak tertawa hanya Josh yang juga tidak mengerti apapun dan hanya menyimak. Artha menatap Josh, mengisyaratkan pertanyaan. Josh hanya mengangkat bahu sebagai jawaban.
"Tidak sekarang, Artha. Kalian masih terlalu kecil. Pernikahan di bawah umur itu sangat dilarang. Kalian akan menikah saat umur kalian sudah tujuh belas tahun nanti," jelas Solar—ibunya.
"Masih lama dong?"
"Kamu ini terburu-buru sekali. Pernikahan itu—ah sudahlah nanti kamu juga mengerti." Mendes tidak jadi menjelaskan arti pernikahan pada Artha. Percuma saja ia menjelaskan panjang lebar, gadis itu tidak akan mengerti.
"Ya sudah, nanti saat Josh menginjak umur dua puluh tahun dan Artha tujuh belas tahun, kita akan menikahkan mereka berdua. Sementara ini, biarkan mereka menjadi dekat," ucap Kris kemudian dan mengakhiri pembicaraan mereka.
°°
Langit malam begitu pekat, tidak begitu menyeramkan karena taburan bintang menghiasinya. Langitnya terlihat indah, membuat siapapun betah menatapnya berlama-lama sambil merenungkan banyak hal.
Suara nyanyian lembut mengalir indah dari bibir Solar. Tangannya membelai rambut legam milik Artha. Seulas senyum terbit di bibir mungilnya sambil menatap langit malam berbintang kesukaannya. Ditambah nyanyian indah dari sang Ibu yang membuat kantuknya tiba. Jika saja ia tidak teringat dengan satu hal, mungkin Artha sudah terlelap di pangkuannya.
"Ibu, apa itu pernikahan?" tanyanya menginterupsi nyanyian Solar. Gerakan Solar sempat terhenti sesaat.
"Pernikahan itu proses pengikatan janji di antara kedua belah pihak—laki-laki dan perempuan—yang saling mencintai. Mereka berjanji untuk setia satu sama lain, tidak pernah meninggalkan entah di kedaan senang maupun susah, saling mendukung satu sama lain."
"Apa harus karena saling mencintai?"
Solar mengulas senyum tipis. "Tidak juga, ada pernikahan yang di dasarkan pada beberapa kepentingan. Entah karena politik, atau tuntutan ekonomi. Seperti Ayah dan Ibu; awalnya kami menikah karena alasan politik."
"Jadi Ibu tidak mencintai Ayah?" Artha merubah posisinya menjadi berhadapan dengan sang Ibu. Ekspresi terkejutnya membuat Solar tertawa.
"Ibu dan Ayah di jodohkan sejak kecil, sama seperti kamu dengan Josh. Yah, tapi Ibu tetap tidak bisa mencintai Ayah. Tapi lama-kelamaan, perasaan itu tumbuh dengan sendirinya," jelasnya.
Artha mengangguk-angguk kemudian kembali teringat sesuatu. "Oh iya Bu, kalau aku menikah dengan Josh nanti, apa aku bisa bermain dengannya setiap hari?"
Lagi-lagi, Solar tertawa karena pertanyaan kelewat polos yang dilontarkan Artha. Ia menyentuh pipi bulat Artha lalu mengelusnya dengan lembut. Sorot matanya yang teduh mengunci tatapan keduanya.
"Artha, sebenarnya Ibu belum bisa menjelaskannya ini padamu karena percuma saja, kamu tidak akan mengerti meskipun Ibu sudah menjelaskannya berkali-kali. Tapi Ibu akan menjelaskannya sedikit padamu.
Setelah menikah nanti, hubunganmu dengan Josh bukan lagi sebagai teman, melainkan sebagai sepasang suami dan istri. Josh, atau yang nanti berperan sebagai suami memiliki kewajiban untuk menafkahimu secara lahir dan batin, membahagiakanmu, dan juga menjaga nama baikmu. Begitu juga denganmu yang akan menjadi istrinya. Kewajibanmu adalah menaati perintahnya, melayaninya, selalu patuh, membahagiakannya dan juga menjaga nama baiknya."
Sesuai dugaannya, Artha hanya merespon dengan ekspresi bingung. Solar menghela napasnya lalu menepuk puncak kepalanya.
"Tidak apa-apa, nanti kamu akan mengerti. Ingat saja perkataan Ibu hingga kamu dewasa nanti," ucapnya kemudian.
"Tapi Bu, kalau aku tidak memenuhi kewajibanku atau Josh yang tidak memenuhi kewajibannya bagaimana?"
"Itu adalah sebuah dosa, sama seperti ketika kamu berani melawan orang tua."
Artha terdiam, memikirkan berbagai kalimat yang diucapkan Solar padanya. Segalanya begitu rumit dan Artha sama sekali tidak mengerti. Dari semua hal yang dikatakan Solar, Artha berfirasat bahwa masa depannya nanti sama sekali tidak seindah novel-novel yang sering dibaca pelayannya.
"Kalian sedang apa di sini?"
Kedua manusia itu mengalihkan perhatiannya ke arah sumber suara yang menginterupsinya. Kris tersenyum tipis lalu menghampiri anak beserta istrinya itu. Ia ikut duduk di sampingnya.
"Sepertinya pembicaraan kalian seru. Apa yang kalian bicarakan?" tanyanya lagi.
"Hanya pembicaraan biasa. Tumben sekali Ayah ke sini?" Artha menghampiri Kris lalu berbaring di atas pangkuannya.
"Ayah mengganggu, ya?"
Suara tawa Solar menimpali ucapannya. "Tidak kok, hanya saja tumben sekali kamu kemari. Biasanya 'kan kamu sibuk dengan ini dan itu."
"Benar tuh kata Ibu."
"Aku hanya ingin ikut bergabung saja," balas Kris. "Oh iya, dari tadi aku tidak melihat Mendes. Di mana dia?"
"Kakak sibuk berlatih bernyanyi. Sepertinya dia terobsesi bernyanyi, bahkan dia tidak mau menemaniku bermain lagi," gerutu Artha sambil mengerucutkan bibirnya. Kris mencubit pipinya karena gemas.
"Aku 'kan sangat suka bernyanyi, Artha. Aku hanya berlatih sesekali, nanti juga aku akan bermain denganmu." Mendes tiba-tiba muncul dari balik pintu yang setengah terbuka. Artha terbangun lalu melongok dan melihat Mendes tengah berjalan ke arahnya. Artha mendengus lalu kebali ke posisi semula.
"Aku tak peduli."
"Artha, tidak sopan mengabaikan kakakmu," ucap Solar, namun tidak dihiraukan oleh Artha. Mendes tertawa pelan lalu menjawil pipi bulatnya yang membuat Artha menggerutu.
"Lihat, ada yang merajuk," gumam Mendes. "Artha, aku berlatih bernyanyi karena sebentar lagi akan ada acara besar."
Artha meliriknya, tampak tertarik dengan ucapannya. "Acara apa?"
"Masa kamu lupa? Sebentar lagi 'kan Ibu ulang tahun dan kita harus merayakannya."
Artha bangkit dari pembaringannya. Dengan ekspresi terkejutnya, Artha menepuk dahinya.
"Ih, aku benar-benar lupa! Kapan itu?" tanyanya histeris.
"Lima hari lagi."
"Kakak kenapa tidak memberitahuku?!" omelnya.
"Aku pikir kamu mengingatnya. Wah, parah nih. Masa Artha melupakan hari ulang tahun Ibu? Kamu bukan anak Ibu, ya?"
"KAKAK!"
°°
Suara langkah yang terburu-buru memecah keheningan yang mencekam. Entah siapa pemilik langkah itu, rupanya tersembunyi di balik gelapnya malam yang larut. Kaki-kaki itu terus berjalan menuju gubuk reyot yang berada cukup jauh dari istana Kerajaan Ales.
"Permisi, Tuan Pangeran Marvin," ucapnya setelah memasuki gubuk. Ia berdiri di hadapan seorang pria yang tengah membaca sebuah buku. "Saya membawa berita penting untuk Anda."
Pria itu mengalihkan atensinya dari halaman buku ke arah si penjaga istana yang berafiliasi dengannya. Ia menutup buku itu lalu meletakkannya, bersiap untuk mendengarkan kabar baik yang akan diberikan si penjaga.
"Cepat katakan padaku."
"Raja Kris akan mengadakan perayaan ulang tahun istrinya lima hari lagi. Saat hari itu tiba, para pengawal dan penjaga yang biasanya selalu bersiaga di sisinya pergi berpencar untuk mengamankan istana dan juga acara perayaan," jelasnya. "Itu kesempatan yang bagus untuk Anda melancarkan rencana Anda."
Sebuah senyum terbit di wajahnya. Marvin tampak senang dengan pernyataan penjaga itu. Ia mengambil segenggam koin emas dari tasnya lalu memberikannya pada penjaga itu.
"Ini upahmu, terima kasih sudah menyampaikan berita bagus ini," ucapnya.
"Justru saya yang harus berterimakasih pada Tuan, ini banyak sekali."
"Tidak apa-apa, aku sedang senang. Terimalah."
"Terima kasih, Tuan Pangeran." Penjaga itu membungkukkan badannya penuh hormat. "Tapi, apa Anda yakin hendak melakukannya sendiri? Apa Anda tidak butuh bantuan saya?"
"Tidak perlu, aku bisa melakukannya. Lagipula, aku sudah lama menantikan ini," ujarnya sambil mengambil busur panahnya yang tergeletak di sampingnya. Ia mengelusnya penuh perhatian seolah-olah benda itu adalah anaknya. "Aku akan membunuh Kris dengan tanganku sendiri, aku tak akan membiarkan adikku itu mati di tangan orang lain selain diriku."